Mohon tunggu...
Muhammad Shoma
Muhammad Shoma Mohon Tunggu... Jurnalis - Wasis Solopos Angkatan XX

cogito ergo sum.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Marxisme di Antara Hamka dan Wahid Hasyim

30 September 2017   08:32 Diperbarui: 30 September 2017   08:57 744
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Oleh: Muhammad Shoma.

Kuntowijoyo, dalam bukunya yang berjudul 'Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia' pernah berkata.

"Jika kita tidak siap dengan konsepsi mengenai hal-hal seperti itu (menciptakan tradisi baru, semangat baru dan lanskap pemikiran yang juga baru), bukan tidak mungkin kita akan terseret oleh arus pemikiran yang di dalam filsafat dikenal dengan istilah radikalisme, seperti gerakan 'New Left', pemikiran-pemikiran Neo Marxis, dan lain-lain."

Dalam esai itu pula, ia juga mengkhawatirkan kaum muda Islam yang cukup terpengaruh dengan pemikiran-pemikiran seperti Marxisme gaya baru dan sejenisnya. Ia juga menganjurkan akan adanya konsepsi baru mengenai semua hal, yang ia sebut sebagai perubahan kondisi baru atas kondisi terkini yang 'cair'.

Secara eksplisit saya setuju. Bahkan esai yang ia tulis sejak 'zaman dahulu kala' itu terdapat benarnya juga. Generasi muda Islam kini banyak yang terpengaruh dengan ide-ide luar mulai dari pemikiran Karl Marx, Freud, Sartre dan sejumlah tokoh lainnya. Di antaranya ada yang hanyut dan tenggelam di dalamnya. Namun ada juga yang tetap moderat dan selektif dalam melangkah.

Seperti yang Kuntowijoyo bilang, jangan sampai pemuda Islam kehilangan identitasnya dengan 'membebek' ajaran-ajaran tokoh Barat itu. Namun, bukan berarti kita tak boleh mempelajari pemikiran-pemikiran tokoh Barat maupun yang secara gagasan bertentangan dengan ajaran Islam. Prof. Komaruddin Hidayat sendiri pernah berujar, "Orang akan merasa 'secure' dengan agamanya kalau ia luas pengetahuannya, teguh dalam iman, dan serta bahagia dalam menjalankan ajaran agamanya." Secara tak sadar, ketika kita membaca lembaran-lembaran gagasan dari Marx, Freud, Trotsky dan sebagainya, kita akan mendapatkan pengetahuan tambahan yang nantinya akan memperluas wawasan kita sendiri. Dari membuka lembaran itu, akan dipadukan antara hipotesis satu dengan hipotesis selanjutnya yang akan berjalan secara dialektis.

Jika kita mau menengok pada kehidupan Bapak Bangsa, maka kita akan mendapatkan pemandangan yang menyejukkan. KH Wahid Hasyim, anak dari KH Hasyim Asy'ari sang pendiri jamiyyah NU itu sudah membaca Das Kapital pada usia remaja. Ketika Wahid Hasyim muda sedang larut dalam bacaannya itu dengan serius, datanglah sang ayah dari belakang sembari menanyakan apa yang ia baca. Wahid pun menjawabnya dan sang ayah tak mempersoalkannya.

Setelah ia berkarier dan pindah ke Jakarta bersama anaknya, yang kini lebih dikenal dengan Gus Dur, ia sering mengadakan diskusi bersama Tan Malaka. Tan selalu menyamar saat bertandang ke rumah Menteri Agama RI yang pertama itu dengan mengenakan pakaian hitam-hitam ala petani dan menggunakan nama samaran 'Paman Hussein', seperti yang Gus Dur kenang. Tan Malaka sendiri adalah seorang komunis yang hafal Al Quran dan hidup di lingkungan Islam Minangkabau pada masa kecilnya.

Tokoh lain seperti Buya Hamka, yang juga membaca buku-buku kiri gubahan Marx pun tak merasa jijik untuk membacanya. Buku itu ia beli di Mesir dan seluruhnya berbahasa Arab. Seperti yang dituturkan dalam buku 'Pribadi dan Martabat Buya Hamka' karya anaknya, Rusydi Hamka. Dalam buku-buku yang Buya karang pun ia juga tak sedikit mengutip pemikiran dan kata-kata tokoh dari Barat maupun yang tak sepemikiran dengannya. Seperti dalam 'Tasawuf Modern', ia menutip nama seperti Aristoteles, Bertrand Russel (penulis buku 'Bertuhan Tanpa Agama') serta tokoh lainnya untuk mencari definisi 'apa itu bahagia?' tanpa disertai rasa antipati terhadap orang maupun golongan tertentu.

Jika kita ingin menciptakan tradisi baru, semangat baru dan lanskap pemikiran yang juga baru, seperti yang dipaparkan Kuntowijoyo, bagaimana pun, kita harus tetap mempelajari karya-karya yang dianggap 'radikal' dalam ilmu filsafat itu. Kita benar-benar takkan menang kalau kita tak mempelajari isi dan taktik perang dari lawan. Ada beberapa disiplin dari lawan yang bisa kita ambil, dan ada berapa disipiln dari kita yang harus kita buang. Dengan begitu, dengan menguasai taktik, kita baru bisa dikatakan menang dengan mengusir kondisi yang 'cair'.

Apakah generasi kini mau mempelajari apa yang tak sependapat dengannya?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun