Baru-baru ini saya dan kawan-kawan seperjuangan seperti mendapat angin segar. Generasi perjuangan sudah berani naik gelanggang. Memang benar, sudah saatnya yang muda yang berbicara dan menyampaikan kegelisahan mereka kepada khalayak. Sehingga kegelisahan ini, yang awalnya terdiri dari barisan-barisan pertanyaan, akan berakhir dengan jawaban. Jawaban atas masalah yang terjadi. Afi Nihaya, gadis berumur 18 tahun yang lahir di Banyuwangi ini adalah salah satu bukti, dari sekian banyaknya pemuda-pemudi di Indonesia, masih ada harapan dan keberanian untuk menyuarakan kebenaran. Walaupun kebenaran dibungkam, tiada yang kuasa menahan kebenaran. Afi menyuarakan pendapatnya melalui Facebook.
Sudah banyak fitnah yang dilayangkan kepada Afi, sebut saja kabar hoaks yang mengatakan ada ‘orang’ yang berada di belakangnya. Ini adalah sebuah pelecehan. Sebuah penistaan, yang sungguh, saya tidak akan terima dengan ucapan seperti itu. Semalam saya baru saja membuka Facebook dan saya sontak dikejutkan dengan status seseorang yang berinisial Y.A yang menuliskan,
“Dulu sempet heboh ada anak kecil umur 11 tahun asal Pakistan yang sempat dinominasikan sebagai peraih Nobel Perdamaian karena tulisan-tulisannya yang tajam, keren, menggugah, mengundang simpati, dan lain sebagainya. Eh, terntaya itu bukan 100% tulisan dia, ada orang-orang yang berkepentingan di balik dia yang menggunakan sosok anak kecil agar tulisannya ini lebih menarik perhatian ketimbang kalau yang menulis orang dewasa. Jangan tertipu lagi ya, model pembohongan publik kayak gini dari dulu sudah ada,”.
Kata-kata itu tak ia pertanggungjawabkan secara penuh. Itulah yang membuat saya berang.
Sudah seharusnya pemuda-pemudi Indonesia mampu berpikir kritis layaknya Afi. Bagaimanapun, sikap kritis itulah yang menyediakan pelbagai pertanyaan-pertanyaan yang nantinya akan membawa sederetan jawaban atas kegelisahan. Pemudi seperti Afi ini, harus terus-menerus ada, harus terus menerus diperbanyak untuk kepentingan bersama. Pemikiran Afi yang kritis, dengan pembawaan seorang perempuan yang lemah-lembut, bisa menjadi daya tarik tersendiri pada Afi. Dan ini harus dipertahankan serta dikembangkan kepada muda-mudi lain. Sikap Afi layak diapresiasi, bukan dicaci, dimaki, difitnah, dan lain sebagainya.
Di tengah gejolak panasnya kerukunan bangsa, Afi seolah-olah menjadi oase di tengah panasnya gurun. Ia layaknya pahlawan bagi pegiat sosial media yang menawarkan kebhinnekaan sebagai pemersatu, bukannya pemecah. Dan ini yang harus diperhatikan, bisakah bangsa ini mencetak muda-mudi yang kritis?
Masalahnya adalah ketika kita berpikir kritis, acap kali kita dicap sebagai ‘liberal’, ‘komunis’, atau yang paling parah ‘ateis’. Semua itu adalah kurangnya edukasi dalam masyarakat kita. Ini adalah masalah pendidikan yang harus kita selesaikan, yang nantinya juga akan menentukan nasib bangsa ini. Karena saya yakin, nasib suatu bangsa bukan ditentukan oleh seberapa besar Sumber Daya Alamnya, namun pada Sumber Daya Manusianya. Apakah SDM-nya unggul atau jeblok, itulah yang akan menentukan nasib bangsa kita ke depan.
Menyinggung status Facebookyang diunggah oleh seseorang yang berinisal Y.A seperti yang dikutip di atas, secara tak langsung telah merepresentasikan ‘antipati’ sebagian masyarakat dan syak wasangka terhadap sikap kritis yang seharusnya difasilitasi dengan baik. Afi dicaci namun juga dipuji. Dan ia harus tetap berjalan sesuai idealismenya, agar apa yang ia tulis, bisa menjadi saksi sejarah bahwa ia pernah bermimpi dan nantinya akan realisasikan.
Seperti kisah yang saya kutip di atas, jika Afi salah menurut seseorang, jangan pernah larang ia untuk menyuarakan pendapatnya. Namun berilah ia ruang untuk lebih mengeksplorasi gagasan-gagasannya dengan baik. Melarang seseorang untuk menyuarakan pendapat dengan cara-cara kampungan adalah sikap yang primitif dan tak layak ia si pelaku disebut benar-benar hidup pada era keterbukaan informasi seperti sekarang ini. Dengan menghujat Afi, dengan menista Afi, semakin terlihat mana pihak yang sedang dilanda ketakutan dan mana yang sedang menyuarakan kebenaran. Dan saya tahu Afi hanya menyampaikan apa adanya yang sebenarnya terjadi.
Afi adalah potret muda-mudi yang berpikiran Avant—grade, yang harus kita contoh. Kita jangan kita disibukkan dengan buku-buku pelajaran, diktat-diktat, kisi-kisi, pelajaran-pelajaran saja, namun kita harus turun gelanggang. Pelajar harus menyambut realitas sosial yang ada pada masyarakatnya dengan hal yang ia minati, setidaknya yang ia bisa. Karena sekecil apa pun kontribusi itu, anak-cucu kita lah yang akan merasakannya. Kisah saya yang telah saya tulis di atas bisa jadi sama dengan apa yang dirasakan Afi, karena menjadi kritis adalah masalah bagaimana lingkungan dan apa bacaannya yang nantinya mendukung ia untuk bergerak.
Tugas pendidikan tak selesai ketika para peserta didiknya lulus dan memberikan selembar ijazah pada setiap muridnya yang lulus, namun fungsi pendidikan akan tetap berlaku saat ia hidup dalam masyarakat. Kunci dari kesuksesan pendidikan adalah implementasi, bukan teori. Ketika sebuah pendidikan dapat membentuk seseorang menjadi kritis dan berani menyuarakan kebenaran, di situlah pendidikan dapat dikatakan sukses.