barangkali diantara kita masih ingat pelajaran dimasa sekolah dasar, terutama pengetahuan sosial tentang identitas budaya tiap provinsi, seperti RIAU diasosiakan sebagai wilayah budaya Melayu, SUMUT diasosiakan sebagai wilayah budaya batak, JABAR diasosiakan sebagai wilayah budaya Sunda, dsb. saat itu mungkin kita berpikir pengetahuan seperti itu adalah pengantar dasar dalam memaknai keberagaman. ingatan tersebut membekas dibenak kita masing-masing bahwa, jika SUMBAR contohnya sudah pasti Minangkabau, padahal sejatinya tidak melulu begitu.
penulis terkadang berpikir bahwa justru yang terjadi sebaliknya, kita jadi kurang respek dengan keberagaman. bahkan pemahaman itu justru dimaknai negatif sehingga kadang muncul sentimen etnik sehingga kelak memunculkan dikotomi "pribumi dan pendatang" padahal kalau merujuk pada beberapa hasil penelitian arkeolog dan sejarawan, kita semua ini ( di Indonesia) adalah pendatang dari Tiongkok Selatan.
ambil saja contohnya pulau Sumatera, penulis ingin sedikit mengkomposisikan etnik dibeberapa provinsi :
SUMUT, selama ini kita mengenal provinsi tersebut sebagai provinsinya orang Batak, karena di buku-buku pelajaran rumah khas SUMUT dan pakaian khasnya merujuk pada budaya etnik Batak , sehingga sebagian kita menganggap bahwa etnik batak adalah Pribumi SUMUT dan yang lain pendatang. ini berimbas pada sikap sebagian kita kepada mereka yang bukan beretnik batak yang terkadang beranggapan bahwa mereka pendatang yang numpang lahir di SUMUT,ini tentu menyakitkan! komposisi etnik di SUMUT yang bisa dikatakan sebagai Pribumi SUMUT selain Batak adalah melayu Deli yang bermukim disepanjang pantai timur dan melayu pesisisr yang berada disepanjang pantai barat, selain itu pemukiman etnik batak tidak hanya terbatas di provinsi ini saja namun komunitas batak juga banyak di temui di Rokan Hulu dan Hilir yang berbatasan dengan SUMUT serta didaerah Aceh selatan.
RIAU, sebenarnya provinsi ini bisa dikatakan beragam, dibagian hulu yang berbatasan dengan provinsi SUMBAR seperti Kab. Kampar, Pelalawan, Kuantan, sebgaian Rokan Hulu adalah masyarakat pribumi Riau yang beradat dan berbudaya minangkabau, agak ketengah berbudaya melayu sampai pesisisr pantai timur yang diselingi oleh pemukiman Bugis, banjar dan Tionghoa. Riau menurut saya cukup pelik kalau urusan politik, pemahaman soal Riau adalah melayu membuat sentimen etnik cukup tinggi, anggapan soal selain Melayu adalah pendatang membuat budaya yang ada selain melayu menjadi "inferior" bahkan "minder" sehingga daerah-daerah yang berbudaya selain melayu terkadang malu (takut dianggap pendatang) dan menariknya ini terjadi di daerah yang menganut kebudayaan minangkabau. sehingga ketika bertemu dengan orang Minangkabau dari Sumatera barat mereka mengaku "anak jati melayu" aneh bin ajaib padahal adat dan budaya mereka kontras dengan orang melayu Riau.
JAMBI, pada dasarnya Jambi adalah daerah yang beragam, namun dalam beberapa literatur menunjukan Melayu Jambi adalah pribumi asli Jambi tanpa menghiraukan keberagaman yang ada di provinsi, seperti ketika penulis melihat profil Kab, Bungo disitu tertulis melayu jambi sebagai pribumi etnik lainnya sebgai pendatang, padahal didesa-desa dipedalaman jambi barat daya itu berselang-selingan antara desa berbudaya Kerinci dan berbudaya MinangKabau, begitu juga didaerah jambi bagian timur yang dihuni mayoritas bugis dan semua itu diasosiakan saja kedalam lingkup melayu jambi, padahal faktanya ada keberagaman disana. Namun hanya saja Jambi lebih baik, disini tidak ada sentimen politik, bahkan saya pernah bertemu dengan sekjen lembaga adat melayu provinsi yang berdarah minangkabau, begitu juga dengan seorang ketua lembaga adat melayu kabupaten yang ternyata berdarah jawa.
mungkin kondisi dibeberapa provinsi tersebut menjadi bahan renungan bagi kita, apakah logika keberagaman yang diajarkan sejak masa orde baru itu sudah tepat? karena ini semua menyangkut masa depan indonesia. jika negara lain sudah maju kemana2, kita masih saja sibuk dengan sentimen etnik, agama, ras, dan ideologi yang tidak berkesudahan. dan ketahuilah bahwa kecurigaan-kecurigaan etnik dan agama hanyalah semata-mata mainan politik, makanannya sehari-hari politisi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H