Jagad sosial media pasti sudah tidak asing dengan tiga istilah tersebut, pasalnya tiga istilah tersebut selalu memenuhi kolom komentar media sosial, puncaknya adalah ketika perhelatan pesta demokrasi pemilu 2024 kemarin. Meskipun sudah tidak seramai pada saat momen pemilu kemarin, akan tetapi tiga istilah itu terkadang masih kita jumpai di kolom komentar postingan-postingan yang berbau politik maupun postingan random biasa.
Wajah sosial media kita...
Sebagai negara dengan pengguna sosial media terbanyak nomor empat di Dunia, dengan jumlah pengguna mencapai 167 juta, dengan populasi sekitar 281 juta jiwa, hampir separuh dari populasi manusia Indonesia pengguna sosial media. Persoalanya dengan kemajuan teknologi di era globalisasi dengan semua kecanggihan dan kemudahan akses ini justru tidak membuat pengguna sosial media di Indonesia menjadi "Bijak" dan "Kritis" dalam membaca, mengamati, menanggapi, serta mengomentari.
Alih-alih berpikir kritis dan bijak dalam bersosial media terkadang kita justru malah larut dalam perdebatan yang tak ada ujungnya "debat kusir" di kolom komentar, tak jarang dalam perdebatan itu kita akan menjumpai atau kedapatan istilah SDM Rendah, Anak Abah, atau Buzzer Istana sebagai olok-olok an atau bumbu dalam perdebatan.
Kalau kita kilas balik dari tiga istilah tersebut Buzzer misalnya disematkan kepada akun media sosial yang dibayar untuk mendukung agenda tertentu, seperti agenda politik, tak jarang kita menemukan opini yang pro terhadap kebijakan pemerintah, dan berusaha semaksimal mungkin untuk membela kebijakan tersebut meskipun terdapat cacat dalam kebijakan tersebut. Tak jarang kita juga akan menemukan istilah Anak Abah, isitilah ini muncul dan ramai sebagai julukan yang disematkan kepada akun media sosial yang pada saat pemilu mendukung salah satu paslon yakni Anies Baswedan, nama Abah sendiri diberikan kepada Anies baswedan oleh pendukungya sebagai sapaan akrab, meskipun pemilu sudah berlalu tetapi julukan ini melekat, dan seringkali istilah ini masih muncul di kolom komentar untuk mengolok akun media sosial yang kontra terhadap kebijakan pemerintah karena di anggap menyimpan dendam karena paslon yang didukung pada pemilu kalah, hal ini tentu tak masuk akal tak jarang orang-orang yang berkomentar kritis terhadap kebijakan pun mendapatkan olokan yang sama, meskipun orang tersebut tidak bagian dari pendukung Anies Baswedan ketika pemilu dan hanya sekedar mencoba mengkritik sebuah kebijakan yang dinilainya cacat, Selain dari dua istilah di atas, ada satu lagi istilah yang sering kali mewarnai kolom komentar yakni SDM Rendah, istilah ini disematkan kepada komentar-komentar yang dianggap tidak relevan dengan postingan, atau postingan yang menampilkan kekonyolan dan kebodohan.
Sosial media dewasa ini
Orang Indonesia minat bacanya rendah tapi minat mengomentarinya tinggi, Data dari UNISCO, tercatat masyarakat Indonesia minat bacanya hanya 0,0001% atau 1dari 1000 orang yang gemar membaca, dan dilansir dari World Population Review, rata-rata IQ orang Indonesia 78,49, angka ini dibawah rata-rata kecerdasan IQ global antara 85-115, dengan rata-rata tersebut Indonesia menduduki peringkat 127sari 197 negara yang di uji pada tahun 2024.
Seringkali kita jumpai disebuah postingan berita, orang-orang bukanya membaca dulu isi dari berita tersebut dan memahaminya malah seringkali hanya membaca judul dari berita dan sudah menyimpulakn dan berkomentar seakan-akan paham dengan memberikan komentar bijak, ini yang kemudian oleh Tom Nichols disebut Matinya Kepakaran dimana orang-orang yang tidak paham dan tidak berkompeten berkomentar seakan-akan paham, dan tidak pernah meng "cross-check" kebenaran dari berita yang diposting. maka jangan heran kalau hoax bersebaran di jagad sosial media kita. Maka tidak bijak juga kalau kita berkometar dengan mengatakan SDM Rendah kepada orang lain, pasalnya kita semua juga masih SDM Rendah kalau merujuk dari data-data di atas.
Sudah saatnya merubah pola pikir kita dan lebih bijak dalam bersosial media, kalau kita mengenal istilah mulut mu harimau mu maka istilah itu berganti menjadi jempol mu harimau mu, perlunya kita  menanamkan sifat kitis terhadap sosial media dan bukan larut didalamnya, bila perlu mengurangi keinginan berkomentar kalau memang tidak paham atau mengurangi konsumsi media sosial bahkan. Harusnya pengampu kebijakan juga perlu adanya komitmen mengurangi jumlah pengguna sosial media, pasalnya pengguna sosial media yang hampir mencapai setengah populasi manusia Indonesia masih campur aduk tidak diketahui mana yang memang sudah diperbolehkan mempunyai akun sosial media mana yang belum diperbolehkan, pemerintah harus punya komitmen seperti Australia yang membikin kebijakan tidak diperbolehkanya anak dibawah enambelas tahun mempunyai akun sosial media, mengingat kenyataan wajah sosial media kita yang carut-marut dan minimnya orang-orang punya kemampuan memfilter segala informasi yang bersileweran di sosial media justru akan membuat orang-orang semakin bodoh dan terbodohkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H