“Pah, tahun ini kita kurban, ya. Malu kita, Pah sama tetangga sudah bertahun-tahun tinggal di komplek perumahan elit ini tidak pernah kurban. Padahal penghuni komplek, banyak yang tahu, Bapak sebagai pejabat tinggi di perusahaan telekomunikasi dengan gaji besar,” rengek istrinya menjelang Idul Adha tahun lalu.
“Ya, ya Mah. Oke, deh, besok Papah beli, ya. Besok, kan hari Sabtu, pas libur,” jawabnya singkat, karena masih lelah sepulang dari kantor.
Keesokan harinya sang pejabat ini pergi ke sebuah tempat penjualan hewan kurban musiman di dekat jalan besar, tidak jauh dari komplek perumahannya. Ia melihat ada sejumlah sapi dan kambing. Jumlah kambing yang ada lebih banyak daripada sapi. Setelah menghentikan kendaraan sedan mewahnya, ia turun dan langsung dihampiri seorang pedagang hewan kurban.
“Bapak mau kurban sapi? Bagus-bagus dan sehat sapinya. Murah lagi. Mari, Pak lihat-lihat dulu,” tawar sang pedagang dengan ramah begitu melihat tampilan dan mobil sang pejabat.
“Tidak, saya cari kambing saja. Kalau yang itu berapa, Bang,” sambil tangannya menunjuk kambing yang paling kecil.
“Oh, itu murah, Pak. Kelas C itu, Pak cuma satu juta limaratus. Yang kelas A saja, Pak kelas super. Besar, dagingnya berlimpah, juga tanduknya mantap, Pak. Saya jamin, gak mengecewakan, Pak,” kata sang pedagang, merayu calon pembelinya.
“Gak apa-apa, saya yang itu saja. Kurangi, Bang, ya, satu juta dua ratus deh, ya. Nanti tolong diantarkan ke masjid di komplek perumahan sebelah, dekat sini,” kata si pejabat itu sambil menyebutkan komplek perumahan elitnya.
“Satu juta tiga ratus saja, ya, Pak. Sudah plus diantar.”
“Oke, deh,” jawab sang pejabat.
Namun ketika si pejabat kaya itu hendak kembali ke mobilnya untuk mengambil uang, ia melihat tidak jauh dari tempatnya berdiri, ada seorang ibu tua tengah memandang dengan ceria sambil mengelus-elus lembut seekor kambing besar. Ia melihat… dan berkesimpulan dalam hatinya.
“Ah, itu punya majikannya. Atau ibu itu tidak beli, hanya melihat-lihat saja. Sebatas keinginan untuk berkurban.”