Manusia tidak boleh pelit. Ajaran agama melarang bersikap pelit. Bukan hanya pelit terhadap harta yang dimiliki tetapi juga pelit dalam memberikan pujian. Kalau dihidangkan makanan dan suka, Ust. H.Syahroni Mardani,Lc menekankan perlunya diekspresikan dengan pujian. Kalau teman mengajak makan di rumahnya, ekspresikan dengan pujian kalau memang makanannya itu enak.
Demikian pula kalau istri tercinta menghidangkan makanan, jangan lupa harus senantiasa diberikan pujian kalau memang makanannya enak dan lezat. Kita jangan pelit dengan pujian. Kita harus royal terhadap pemberian pujian. Orang yang memberi makanan, termasuk istri merasa senang kalau makanan yang dihidangkan mendapat pujian dari sang suami.
[caption id="attachment_389428" align="aligncenter" width="420" caption="Ust. Syahroni Mardani, Lc."][/caption]
Dalam hal mengekspresikan pujian, ada Hadis Nabi yang mengatakan, Sesungguhnya Nabi Muhammad meminta pada keluarganya agar dihidangkan lauk pauk. Keluarganya menjawab, “Lauk yang ada hanya cuka.” Kemudian Nabi Muhammad minta dihidangkan, lalu memakannya dan terus memujinya,” Lauk yang paling enak adalah cuka, lauk yang paling enak adalah cuka.” (H.R Muslim).
Kalau kedatangan tamu, tampakkan perasaan bergembira. Ekspresikan dengan tersenyum dan mengucapkan ahlan wa sahlan (selamat datang). Demikian pula jika bertemu dengan seseorang di jalan, jangan diam saja. Hendaknya ekspresikan dengan tersenyum sebagai pertanda gembira berjumpa dengan dia.
Dari Abu Dzar,berkata : Rasulullah bersabda padaku, “Janganlah meremehkan perbuatan baik, meskipun kecil, walaupun hanya sekadar bermuka manis saat berjumpa dengan saudaramu.”
Kalau seseorang memperoleh nikmat berupa karunia dan anugerah dari Allah SWT seperti mendapat rizki yang tidak diduga-duga, suami mendapat jabatan baru yang lebih baik, anak lulus ujian, diterima menjadi pegawai di perusahaan yang punya reputasi tinggi, maka ekspresikan dengan ungkapan seperti yang dilakukan Nabi Sulaiman, “Ini adalah Karunia Tuhanku.”
Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman, maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, ia pun berkata, “Ini termasuk karunia Tuhanku untuk menguji aku, apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya). Dan barang siapa yang bersyukur, maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barang siapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia.” (An-Naml 27 : 40).
Bisa juga mengekspresikannya dengan sujud syukur saat mendapat nikmat dari Allah SWT. Nikmat sekecil apa pun perlu diekspresikan dengan sujud syukur. Syahroni kagum terhadap para pemain sepak bola, baik pemain Indonesia maupun pemain asing yang bermain diluar negeri, yang langsung sujud syukur setelah mencetak gol.
Abdurrahman bin Auf bercerita, “Suatu ketika Rasulullah saw pergi keluar dan aku mengikutinya. Begitu sampai di kebun kurma, Rasulullah bersujud dan panjang sekali sujudnya, sehingga aku khawatir jangan-jangan Allah SWT telah mewafatkannya atau mengambil nyawanya. Lalu aku lihat dan perhatikan, tiba-tiba Rasulullah mengangkat kepalanya dan bertanya padaku, “Ada apa kamu wahai Abdurrahman?” Aku jelaskan bahwa aku takut dan khawatir akan keadaanmu. Kemudian ia menjelaskan, “Sesungguhnya Jibril datang padaku dan menyampaikan berita gembira bahwa Allah SWT berfirman, Siapa yang menyampaikan shalawat dan salam padaku, maka Allah akian membalasnya bershalawat dan salam juga.” Mendengar itu aku langsung sujud (bersyukur) pada Allah SWT. (H.R Ahmad).
Firman Allah yang lain dalam kaitannya dengan sujud syukur, “Ya Tuhanku berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada kedua ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhai. Dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh.” (An-Naml 27 : 19).
Dalam berinteraksi, manusia tidak pernah luput dari yang namanya berjanji, baik berjanji dengan istri,suami, anak, ponakan, teman, dan rekan bisnis, maka jangan lupa ekspresikan dengan mengucapkan, Insya Allah(jika Allah menghendaki). Kalau berjanji, ekspresikan dengan menyebut kata-kata, Insya Allah.
Menurut riwayat, ada beberapa orang Quraisy bertanya kepada Nabi Muhammad saw tentang masalah ruh, kisah ashhaful kahfi, dan Dzulqarnain. Lalu Nabi menjawab, datanglah besok pagi kepadaku agar aku ceritakan. Dan pada saat itu Rasulullah tidak mengucapkan Insya Allah.
Sampai esok harinya, wahyu terlambat datang untuk menceritakan hal-hal tersebut dan Nabi tidak bisa menjawabnya. Maka turunlah ayat 23 – 24 dari surat Al-Kahfi. Ini sebagai pelajaran kepada Nabi Muhammad saw agar kalau berjanji mengucapkan Insya Allah. Sementara jawaban atas pertanyaan mereka, baru datang 15 hari kemudian. Tentang 3 perkara tersebut, jawaban ada dalam Al-Qur’an. Tentang perkara ruh (17 : 85), kisah ashhaful kahfi (18 : 13 – 14), dan kisah Dzulqurnain (18 : 13 – 14 ).
“Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan tentang sesuatu: Sesungguhnya aku akan mengerjakannya esok pagi kecuali (dengan menyebut) Insya Allah.” (Al-Kahfi : 23 – 24).
Manusia tidak bisa mengelak dengan datangnya musibah. Jika musibah datang, ucapkan kata istirja’. “Dan sungguh aka Kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelapran, kekeurangan harta, jiwa, dan buah-buah. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, “Inna lillaahi wa innaa ilaihi raajiuun.” (Al-Baqarah 2 : : 155 – 156).
Manusia seringkali berbuat khilaf, salah, dan dosa. Saat tersadar dari kesalahan dan dosa, segera ingat Allah dan ucapkn isighfar. “Dan orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka. Dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selainAllah? Dan mereka tidak meneruskn perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.” Ali Imron 3 : 135).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H