Orang yang meninggal dalam keadaan muslim, dipastikan akan masuk surga. Dalam hadis disebutkan, “Orang yang di dalam hatinya ada iman seberat dzarrah, maka dipastikan dia dimasukkan ke dalam surga.” Di sisi lain Nabi juga bersabda, “Seluruh umatku pasti masuk surga, kecuali yang tidak mau.”
[caption id="attachment_411116" align="aligncenter" width="300" caption="K.H. Ahmad Sarwat"][/caption]
Menurut K.H. Ahmad Sarwat, seluruh umat Islam tidak perlu khawatir, pasti masuk surga. Hanya jalan menuju surga ada dua. Ada yang langsung masuk surga dan ada yang mampir dulu ke neraka. Mampirnya ada yang sebentar dan ada pula yang lama.Tapi urusan mampir dan tidak mampir ke neraka, tidak ada jaminan. Kalau jaminan masuk surga, ya.
Ada juga orang Islam yang dalam hatinya beriman kepada Allah, tapi orang ini meskipun mati dalam keadaan Islam, nasibnya mirip dengan orang kafir.Masuk neraka tidak keluar-keluar lagi. Allah berfirman dalam Surat Annisa’ ayat 14, “ Dan barang siapa yang mendurhakai Allah, Rasul-Nya, dan melanggar batas-batas hukumnya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka, dia kekal di dalamnya dan dia akan mendapat adzab yang menghinakan.”
Ini bukan cerita orang kafir melainkan orang islam. Dia rajin shalat, baca Al-Qur’an, puasa Senin Kamis, bolak balik ke Tanah Suci, tidak pernah putus bayar zakat, infak, dan sedekah. Tapi karena dia menentang satu dari ketentuan Allah, maka dia masuk neraka, tidak keluar-keluar lagi.
Ayat sebelumnya, 11, 12, dan 13 Allah membuat ketentuan agar jangan diotak atik, ditinggalkan, apalagi diinjak-injak. Isinya, Allah berwasiat dalam masalah anak-anakmu, pembagian harta warisnya, anak laki-laki mendapat seperti dua perempuan. “Kalau macam-macam dengan ketentuan ini, masuk neraka gak keluar lagi,” ujarnya memperingatkan.
Bagaimana agar terhindari dari ancaman ini, mau tidak mau harus menghindari membagi waris dengan ketentuan di luar yang sudah ditetapkan oleh Allah. Tapi dalam kenyataannya harus diakui, banyak dalam keluarga muslim yang sholih dan sholihah yang tidak sesuai dengan ketentuan islam. “Menjadi kewajiban kita pelan-pelan memberikan pencerahan dan penerangan agar tidak terkenaancaman Allah,” tambahnya.
Suami Meninggal, Istri Merasa Menjadi Pewaris Tunggal
Sudah menjadi kebiasaan di tengah masyarakat Islam, kalau ada suami meninggal dunia, istrinya tiba-tiba merasa menjadi pewaris tunggal dari harta suaminya. Anak-anakanya tidak ada yang berani minta bagian. Anak-anak juga berpikir, “Kan ibu kita masih ada. Kenapa kita meributkan warisan? Seolah-seolah warisan itu dibagi menunggu kedua orangtua kita meninggal dulu. Ini sudah berlaku di mana-mana. Bahkan kta juga mengalaminya. Bapak kita meninggal, kita tidak berani ngomongin warisan.Setelah ibu meninggal, baru kita berani ngomongin warisan,” kata Sarwat.
Seolah-olah seorang istri berhak memiliki harta almarhum suami seluruhnya.Kalau istrinya (ibunya) meninggal, baru dibagikan warisan tersebut. Padahal hal itu bertentangan dengan firman Allah, “Buat mereka (istri) mendapat hak waris hanya sebesar seperempat kalau almarhum suaminya tidakpunya anak. Tapi kalau suaminya punya anak, bagi istrinya hanya mendapat seperdelapan.”
Kalau suaminya meninggalkan harta Rp 8 miliar, maka bagian istrinya hanya Rp 1 miliar. Sisanya yang Rp 7 miliar haknya anak. Tapi bagaimana prakteknya di tengah masyarakat sekarang? Suami meninggal, istri langsung mengangkangi harta suami selurunya, tidak langsung dibagi. Pemahaman kebanyakan umat Islam, tunggu dulu istri meninggal, baru sang anak bagi waris. Ini sudah terlanjur dianggap kebenaran mutlak.
Kebiasaan seperti Ini berlakunya bukan hanya bagi masyarakat awam yang tidak mengerti agama, justru di tengah masyarakat Islam yang bapak dan ibunya ahli ibadah dan sudah ke Tanah Suci tiap tahun dan kalau nikah, tempatnya di masjid. Rajin ibadah, tapi dalam pembagian waris, nunggu ibu meninggal, baru bagi waris.
Kalau ditunggu ibunya tidak meninggal juga, malah anaknya meninggal duluan semua, maka kacau pembagian warisnya. Oleh karena itu yang perlu diluruskan, harus disadarkan ketika suami meninggal dan punya anak, maka anaknya berhak langsung mendapat waris. Istri dapat juga tapi hanya seperdelapan. Tujuh perdelapannya buat anak-anak.
Kalau anaknya masih kecil-kecil, apakah perlu langsung dibagi juga? “Ya, wajib langsung dibagi. Cuma kalau anak kecil belum bisa menyimpan uang, ya ibunya wajib menjaga dan melindungi harta milik anaknya. Ingat, menjaga bukan menghabiskan. Yang banyak terjadi, anaknya masih kecil-kecil, harta suaminya dikeruk semuanya, terus kawin lagi dengan brondong muda. Ini ngawur, “ tuturnya mengingatkan.
Sekali lagi ia mengingatkan, harta yang menjadi hak seorang istri hanya seperdelapan. Para suami harus menginformasikan pada istrinya, nanti kalau dirinya mati, istri bagiannya hanya seperdelapan. Tujuh perdelapannya milik anak. Kalau suaminya meninggalkan Rp 8 miliar, maka istri hanya mendapat Rp 1 miliar. Sisanya Rp 7 miliar buat anaknya. Kalau anaknya 2, maka Rp 7 miliar dibagi dua. Kalau punya anak satu laki-laki dan satunya lagi perempuan, maka sama dengan punya anak 3. Yang laki-laki mendapat dua bagian, yang perempuan hanya 1 bagian.
Kalau suami meninggal dunia punya warisan Rp 8 miliar. istri punya anak dua, yang satu laki-laki dan satunya lagi perempuan. Cara menghitungnya begini, istri mendapat bagian Rp 1 miliar. Sisanya Rp 7 miliar untuk dua anaknya. Meskipun anaknya hanya dua, tapi penghitungannya menjadi tiga. Yang dua bagian untuk anak laki-laki, yang satu bagian untuk anak perempuan.
Pembagiannya begitu suami meninggal. Tidak menunggu anak-anaknya besar dulu baru dibagi. “Kalau anak-anaknya sampai gede. Kalau pada mati, mereka nggak dapat apa-apa. Karena itu, istri harus tahu, begitu suami meninmggal, harus dibagikan harta warisannya itu kepada anak-anaknya,” tambahnya lagi.
Kalau anak-anaknya butuh biaya hidup, seperti sekolah, pakaian, makan, dan sebagainya, ibunya bisa mengambilkan dari harta anaknya itu. Harus ada bonnya, agar jika anaknyatumbuh besar, dia akan bertanya, “Dulu bapak punya harta banyak banget. Tenang, hartamu jelas catatan pengeluarannya. Dulu kamu menerima harta sekian. Ibu lalu menggunakan harta itu untuk membesarkanmu. Ini bon catatannya masih tersimpan rapi. Sisanya, tinggal Rp 200 ribu. Kan jelas, nih.”
Seorang ibu menurutnya, tidak wajib membiayai kehidupan si anak. Yang wajib memberi nafkah kepada anaknya, bapaknya. Kalau bapaknya meninggal, punya warisan. Bagian warisan anaknya diatur oleh ibunya. Anak yang ditinggal bapaknya menjadi anak yatim. Harta yang menjadi anaknya, jangan diapa-apakan.“Sesungguhnya orang-orang yang makan harta anak yatim secara dholim, sebenarnya mereka itu menelan api ke dalam perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka),” (Surat Annisa’ ayat 10).
Ternyata yang suka makan harta anak yatim bukan orang jauh melainkan ibunya sendiri dengan cara dholim tentunya, ini tidak boleh. Tapi kalau dengan cara yang ma’ruf (benar), bisa dipertanggungjawabkan, tentu saja boleh.
“Itulah budaya kita, saat bapak kita meninggal, kita tidak berani mengutak atik harta warisan terhadapp ibu. Karena ibunya masih hidup dianggap “pamali” (tidak etis). Malah ibu kita mengomel, Kuburan bapakmu masih belum kering sudah menanyakan warisan, karena format berpikir masyarakat kita, memang arahnya sudah salah kaprah dari awal. Kita harus ngasih tahu pelan-pelan.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H