Sungguh tidak menarik dan berbahaya! Beberapa kalangan masyarakat sudah mulai muak dengan politisasi isu agama ini! Itulah kata yang paling tepat menyikapi kondisi perpolitikan di DKI Jakarta yang kian hari kian memprihatinkan. Politisasi isu agama dimaksud adalah penggunaan isu-isu agama untuk kentingan politis semata. Termasuk di dalamnya adanya dugaan pelecehan terhadap ayat-ayat suci Al-Qur’an surat Al Maidah ayat 51 yang dilakukan Ahok di saat berpidato dihadapan masyarakat kepulauan Seribu. Ahok dianggap melecehkan sakralitas Ayat-ayat suci Al-Qur’an.
Walau Ahok secara resmi telah meminta maaf karena tidak bermaksud sama sekali melecehkan nilai-nilai Al-Quran namun beberapa elemen masyarakat tetap melakukan gugatan atas kasus ini dan meneruskan kasus ini ke jalur hukum. Saya yakin gugatan ini memiliki irisan kuat dengan kepentingan politis pemenangan kandidat dalam Pilkada DKI.
Kasus ini sepertinya menjadi amunisi paling menarik terutama bagi kalangan anti Ahok yang memang terus berusaha mencari celah kekurangan yang dimilikinya. Padahal isu ini terlalu sensitif dan berbahaya untuk dimainkan sebagai amunisi politik. Apalagi bila dimanfaatkan pihak-pihak tak bertanggungjawab untuk mengeruk di air keruh.
Harus diakui bahwa menjual simbol-simbol agama dianggap cara yang paling mudah dan cepat dalam meraup suara rakyat. Apalagi hampir 80% penduduk negeri ini beragama Islam. Hampir bisa dipastikan dalam kampanye partai politik, semuanya menjual simbol agama untuk meraih simpati publik. Pilkada itu sesungguhnya memilih pemimpin yang bisa membawa DKI ke arah yang lebih baik, maju dan mensejahterakan rakyatnya. Bukan hanya persoalan isu agama yang dianutnya.
Menurut pengalamatan penulis, Semuanya berjalan dengan logika pembenaran absolut versi masing-masing. Tak peduli mana yang benar dan etis. Peta persaingan antar-politisi dan pendukungnya ini tak ubahnya seperti Taktik Machiavelli yang menghalalkan segala cara untuk meraih tujuan. Hal ini terjadi karena masih lemahnya moral mereka dalam rangka merebut simpati rakyat.
Sejatinya, pertarungan menuju kursi orang nomer 1 di DKI ini dapat dilakukan dengan cara-cara yang lebih berkualitas. Alangkah elegannya jika seluruh kandidat mereka benar-benar menjalankan misi politik dengan cara-cara yang lebih bertanggungjawab. Masih banyak topik dan permasalahan penting lainnya yang bisa dijadikan materi kampanye untuk memikat hati masyarakat daripada hanya sekedar isu yang penuh kontroversi.
Usulan cerdas mengatasi problem kemiskinan, peningkatan mutu SDM dan pendidikan, strategi penyejahteraan rakyat, dan reformasi mental korup misalnya dapat dijadikan ”jualan” bermutu. Yang pasti seluruh warga DKI sudah memiliki kecerdasan politik yang lebih baik untuk menentukan siapa sesungguhnya calon Gubernur yang bisa dipercaya memimpin DKI 5 tahun mendatang.
Maka dari itu, mulai hari ini STOP politisasi isu agama karena benar-benar tidak mencerdaskan. Penulis berharap, seluruh kandidat calon Gubernur DKI dan para simpatisannya tetap berfikir elegan untuk memilih isu krusial dan penting demi meraih simpati publik. Isu agama seharusnya sudah kita tinggalkan karena memang bisa menimbulkan konflik dan kekerasan. Kita harus senantiasa sadar bahwa sesungguhnya agama telah dijadikan alat politik untuk sekedar mencari simpati masyarakat demi meraih kemenangan dalam Pilkada nanti.
STOP POLITISASI ISU AGAMA DI PILKADA DKI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H