Saat ini, siapa tak kenal istilah BPJS? Saya kira hampir mayoritas masyarakat Indonesia mengenalnya. Berdasarkan Undang-undang No. 24 Tahun 2011, BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan) merupakan Badan Usaha Milik Negara yang ditugaskan khusus oleh pemerintah untuk menyelenggarakan jaminan pemeliharaan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia.
BPJS sebagai bagian dari Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) diselenggarakan dengan menggunakan mekanisme asuransi kesehatan sosial yang bersifat wajib dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar kesehatan masyarakat yang layak diberikan kepada setiap orang yang membayar iuran atau iurannya dibayar oleh pemerintah.
Dalam perkembangannya, untuk memaksimalkan kualitas pelayanan maka mulai tanggal 1 April 2016 lalu, iuran JKN yang dikelola BPJS Kesehatan mengalami kenaikan. Kenaikan iuran ini diresmikan melalui Peraturan Presiden Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan. Kenaikan iuran ini diperlukan karena iuran bulanan merupakan modal terjadinya prinsip gotong-royong pada lingkup kesehatan.
Selain itu, dalam rangka mengoptimalkan kualitas layanan dan hasil, maka BPJS menerapkan 9 prinsip penyelenggaraan BPJS Kesehatan (UU No. 24 Tahun 2011 Pasal 4) yang harus dipatuhi yaitu:
- Kegotong-royongan. Prinsip kegotongroyongan adalah prinsip kebersamaan antar peserta dalam menanggung beban biaya Jaminan Sosial, yang diwujudkan dengan kewajiban setiap peserta membayar iuran sesuai dengan tingkat gaji, upah, atau penghasilannya.
- Nirlaba. Prinsip nirlaba adalah prinsip pengelolaan usaha yang mengutamakan penggunaan hasil pengembangan dana untuk memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi seluruh peserta.
- Keterbukaan. Prinsip keterbukaan adalah prinsip mempermudah akses informasi yang lengkap, benar, dan jelas bagi setiap peserta.
- Kehati-hatian. Prinsip kehati-hatian adalah prinsip pengelolaan dana secara cermat, teliti, aman, dan tertib.
- Akuntabilitas. Prinsip akuntabilitas adalah prinsip pelaksanaan program dan pengelolaan keuangan yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan.
- Portabilitas. Prinsip portabilitas adalah prinsip memberikan jaminan yang berkelanjutan meskipun peserta berpindah pekerjaan atau tempat tinggal dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
- Kepesertaan bersifat wajib. Prinsip kepesertaan bersifat wajib adalah prinsip yang mengharuskan seluruh penduduk menjadi peserta Jaminan Sosial, yang dilaksanakan secara bertahap.
- Dana dan amanat. Prinsip dana amanat adalah bahwa iuran dan hasil pengembangannya merupakan dana titipan dari peserta untuk digunakan sebesar-besarnya bagi kepentingan peserta Jaminan Sosial.
- Hasil pengelolaan dana jaminan kesehatan dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk sebesar-besar kepentingan peserta.
Bila tidak ada aral melintang maka diharapkan, paling lambat 1 Januari 2019, seluruh penduduk Indonesia sudah memiliki jaminan kesehatan nasional untuk memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatannya.
Di awal kemunculannya, kehadiran BPJS ini banyak diragukan oleh banyak pihak terkait status kelembagaannya, mekanisme dan prosedur untuk mengikutinya serta manfaatnya bagi masyarakat. Namun seiring berjalannya waktu, persepsi negatif tersebut perlahan mulai hilang dan digantikan dengan persepsi positif yang cukup membanggakan.
Kini, BPJS mulai banyak di lirik, diikuti dan di sayang masyarakat karena manfaat yang dihadirkannya sangat besar. Saya pribadi dan seluruh keluarga sebagai pemegang kartu BPJS telah membuktikannya. BPJS seolah bisa menjadi Pahlawan bagi warga masyarakat terutama kelas ekonomi menengah ke bawah di tengah kesulitan ekonomi dan ketidakberdayaan atas tingginya biaya pemeliharaan kesehatan dan pengobatan.
Berikut ini beberapa hasil testimony dari beberapa peserta BPJS Kesehatan yang berhasil dirangkum dari berbagai pelosok negeri. Testimoni ini sangat penting sebagai media utama pengukuran tingkat kepuasan peserta terhadap kualitas pelayanan yang diberikan oleh Pelaksana BPJS.
- Ribut Anshori, warga asal Kabupaten Semarang. “Awalnya, ibu mertua saya didiagnosa dokter ada masalah dengan sarafnya, semacam kejepit. Setelah menjalani serangkaian pemeriksaan, dokter memvonis ibu mertua Ribut mengidap kanker paru-paru stadium IV. Dokter pun menyarankan agar ibu mertua Ribut menjalani opname dan fisioterapi. Biaya yang dibutuhkan untuk sekali terapi adalah sekitar Rp 300.000,- dan terapi tersebut harus dilakukan dua kali seminggu. Ibu mertua saya hampir 2 bulan menjalani terapi, sebelum akhirnya berpulang. Kalau dihitung habisnya sekitar Rp 4.800.000,-. Itu pun belum termasuk biaya lain-lain seperti administrasi, obat, opname, dan sebagainya. Di rumah sakit saya cuma dimintai Kartu BPJS Kesehatan dan KTP saja tanpa membayar biaya lagi. Semuanya ditanggung oleh BPJS.”
- Supriana, Warga Labuhan Maringgai, Lampung Timur. “Saya merasa terbantu dengan kehadiran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Sebab, saya tidak perlu mengeluarkan biaya selama bayinya yang mengidap penyakit hydrocepallus (kepala membesar akibat cairan) dirawat di Rumah Sakit Umum Abdul Moeloek (RSUAM)”.
- Fajrin Deswita Sari, Tegalsari, Surabaya. “Saya menderita penyakit Thalassemia yaitu penyakit dimana tubuh penderitanya tidak dapat membuat sel darah merah dan hemoglobin secara normal, sehingga si penderita membutuhkan transfusi darah setiap bulan untuk bertahan hidup. Setiap bulannya harus mengeluarkan uang sebanyak Rp 5 juta untuk biaya transfusi darah. Jika hemoglobinnya turun drastis, ia membutuhkan empat kantung darah untuk ditransfusi ke tubuhnya. Beruntung sekali saya telah terdaftar sebagai Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) BPJS Kesehatan sejak 1 Januari 2014 lalu. Sehingga, otomatis semua biaya pengobatan penyakit Ririn pun dapat dicover oleh BPJS Kesehatan”.
- HA, Pulo Gadung, Jakarta Timur. “Saya menderita Tumor yang membutuhkan penanganan dokter spesialis. Di sana saya dirujuk ke dokter spesialis saraf. Penanganannya juga baik dan cepat. Mulai dari cek laboratorium, MRI, sampai kemoterapi, semuanya nggak dikenai biaya sama sekali”.
- Tasrini, Eretankulon, Kecamatan Kandanghaur, Indramayu. “Suami saya menderita gagal ginjal sehingga harus menjalani cuci darah minimal 2 kali dalam seminggu untuk menyambung hidup. Saya sangat terbantu dengan program BPJS Kesehatan. Dengan hanya membayar Rp 25.500 per bulan, dia bisa membiayai pengobatan suaminya (Tarmin, 42 tahun) untuk cuci darah dua kali dalam seminggu. Padahal biaya normalnya Rp 600.000 setiap cuci darah”.
- Drs Samso HA, 68, warga Kebon Jeruk, Jakarta Barat. “Saya adalah pasien di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah (RSJPD) Harapan Kita. Saya menderita diabetes melitus, sedangkan istrinya menderita hipertensi. Keduanya memiliki keluhan jantung. Setiap bulan, mereka mengambil obat di RSJPD Harapan Kita, namun sejak ada JKN, mengambil obat di Puskesmas. Semuanya gratis”.
Hasil testimony sejumlah peserta di atas menunjukkan betapa kehadiran BPJS telah benar dirasakan manfaatnya oleh seluruh peserta. Namun sesuai dengan pepatah ini “Tak ada gading yang tak retak” maka sangat memungkinkan masih adanya kekurangan dalam implementasi BPJS di lapangan.
Yang paling penting lagi adalah bahwa system gotong royong yang diterapkan BPJS adalah system yang sangat tepat dengan kondisi masyarakat Indonesia yang sejak dari dahulu kala akrab dengan system tersebut. Konsep dan system BPJS yang menerapkan “Gotong Royong” begitu diterima dan diapresiasi oleh masyarakat. Konsep ini bahkan dianggap sebagai nilai-nilai “islami” karena identik dengan konsep tolong menolong dalam kebaikan dan konsep sedekah kepada yang membutuhkan lewat iuran bulanan. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh salah satu peserta BPJS, Ribut Anshori, Semarang “Iuran itu bisa digunakan untuk biaya berobat masyarakat yang kurang mampu. Kita sehat, kita bantu yang lagi sakit, gantian seperti itu”.