Mohon tunggu...
Sholehudin A Aziz
Sholehudin A Aziz Mohon Tunggu... Dosen - Seorang yang ingin selalu bahagia dengan hal hal kecil dan ingin menjadi pribadi yang bermanfaat untuk siapapun

Perjalanan hidupku tak ubahnya seperti aliran air yang mengikuti Alur Sungai. Cita-citaku hanya satu jadikan aku orang yang bermanfaat bagi orang lain. Maju Terus Pantang Mundur. Jangan Bosan Jadi Orang baik. Be The Best.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Saya Seorang Kyai: Sebuah Potret Buram

24 Juni 2011   09:37 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:13 777
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sebutan “kyai” bagi masyarakat Indonesia sungguh amat sangat terhormat dan mendapat tempat tertinggi di masyarakat. Apalagi di dalam tradisi Nahdatul Ulama (NU) yang memang menjunjung tinggi peran ulama dalam kehidupan sehari-hari. Kyai adalah pewaris dan pemegang estafet perjuangan para nabi yang akan membimbing ummat ini menuju kepada Islam yang sebenar-benarnya.

Namun seiring berjalannya waktu, ternyata nilai status ”kyai” kini mulai berubah seiring dengan tuntutan zaman dan perubahan paradigma masyarakatnya.

Dahulu kala, menjadi seorang kyai tidaklah mudah karena memang membutuhkan suatu pengorbanan dan pembuktian yang sangat luar biasa baik dari sisi keilmuan, tanggungjawabnya kepada masyarakat dan teladan baik yang ia tunjukkan dalam kehidupan sehari-hari.

Dahulu kala, sebutan kyai lahir dari sebuah pembuktian panjang pengabdiannya bagi ummat. Sebutan kyai (zaman dulu) hanya diperuntukkan bagi seorang alim yang memiliki pesantren yang benar-benar berpengaruh dan terkenal di masyarakat. Kyai adalah simbol kepercayaan ummat kepada ”ketinggian” keilmuan dan kharismanya. Segala ucapannya akan senantiasa menjadi ”titah” dan ”fatwa” yang akan selalu diikuti oleh para santri dan ummatnya.

Status ”kyai” dahulu kala, tidak pernah diakui atau diminta oleh seseorang karena memang ”posisi” tersebut bukanlah sebuah profesi. Status ”kyai” adalah bentuk pengakuan dari masyarakat (ummat) melihat ketinggian ilmunya, ketokohannya, kharismanya dan kepeduliannya kepada ummat.

Lantas bagaimana dengan status ”kyai” saat ini?????? Bagi penulis, status ini sungguh mulai berubah dan bahkan sangat jauh dari esensi awalnya. Status ”kyai” saat ini telah menjadi sebuah ”PROFESI” yang justeru menegasikan makna sesungguhnya dari status ”kyai” tersebut. Profesi yang diharapkan banyak mendatangkan jutaan rupiah, tentunya dengan menjual ayat-ayat agama.

Pengalaman salah satu kawan penulis menjadi saksinya. Suatu saat dia bercerita tentang pertemuannya dengan sahabat lamanya. Singkat cerita, kawan saya ini bertanya tentang apa kegiatannya sekarang? Dia spontan langsung menjawab, “Saya JADI KYAI SEKARANG”.

Kawan saya itu benar-benar kaget dan bertanya dalam hati, “masak sekarang dia sudah menjadi kyai. Kapan mendalami islam yang cukup dalam? Kapan dia jadi ustadnya kok tiba-tiba jadi kyai? Apakah dia punya Pesantren besar? bagaimana dengan perilakunya yang selama ini tidak menunjukkan perilaku seorang kyai?

Kawan saya itu menjelaskan bahaw secara fisik memang dia ada potongan menjadi kyai, karena setiap hari dia pakai gamis dan sarung. Tapi itu kan tidaklah cukup mengklaim sebagai seorang kyai.

Sejurus kemudian, saya langung bertanya, gimana dengan tanggapan warga sekitarnya. Dia pun menjawab langsung. Oh iya, saya pun sudah tanya ke teman dekat saya yang kebetulan sekampung dengan kawan saya itu. Dia bilang begini, ” Oh iya, dia sekarang menjadi kyai. Saya juga nggk tahu gimana ceritanya, pokoknya jadi kyai deh. Di kartu namanya tertulis Kyai Haji..Mungkin biar lebih keren kali, kalo Cuma ustad kan nggk terlalu dipandang di masyarakat, apalagi urusan honor...kalo pakai nama kyai kan besar. Masalah keilmuan kan bisa dikarang-karang, yang penting pede dan bisa ngomong dengan baik”.

Mendengar informasi diatas, sungguh saya sangat prihatin sekali. Prihatin karena ”kyai” mulai menjadi ”profesi baru” yang banyak menjadi incaran banyak orang. Apalagi dengan kehadiran ustadz-ustadz (bukan kyai) dadakan yang tiba-tiba terkenal dan menjadi panutan masyarakat. Ada kyai ”gaul”, ustad ”Gaul”, kyai ”nyeleneh” dan lain sebagainya.

Mengapa saya prihatin, karena harkat dan martabat ”kyai” akhirnya ”terendahkan” dengan sendirinya oleh motif ”ketenaran” (biar terkenal saja), ”Finansial” (agar banyak mendapat honor dan cepat kaya), dan ”Kesombongan” (agar status dimasyarakat naik).

Padaha sesungguhnya kharisma seorang kyai tidaklah mudah diperoleh. Apalagi seorang kyai harus senantiasa tidak pernah puas dengan apa yang dicapainya dalam hal ilmu pengetahuan agama (Islam) dan konsistensinya dalam mengemban amanah untuk menyebarkan ajaran Rasullah SAW. Selain itu, kualitas kepribadian dirinya juga menjadi pertimbangan penting bagi masyarakat untuk ‘mengangkat’-nya sebagai seorang yang patut diikuti.

Maka dari itu, kharisma seseorang kyai tidak dapat serta merta diwariskan kepada keturunannya. Kharisma kyai adalah bentuk berkah (gift of grace) yang bersifat personal (extraordinary quality of person), tidak dapat ditiru atau dilakukan oleh setiap orang. Kharisma tersebut berhenti – namun tidak menghilang – dengan kematian sang kyai. Hanya mereka yang memenuhi kriteria-kriteria tersebut yang dapat menggantikan kedudukan seorang kyai kharismatik.

Maka dari itu, mungkin sangatlah wajar bila kini, banyak ”kyai” dan ”ulama” yang terjerumuske dalam jurang kenistaan seperti kyai korupsi, kyai tarif (memberikan tarif tertentu bila diundang), kyai sombong (sok tahu dan merasa lebih pintar padahal ilmunya dangkal) dan lain sebagainya. Semua itu terjadi karena, karena memang mereka bukanlah kyai yang sesungguhnya tetapi kyai gadungan semata.

Maka sangat wajar juga, bila kini masyarakat (ummat) tidak lagi berpaling kepada ”kyai” ataupun ”ulama” karena memang status kekyaian dan keulamaan mereka sangat diragukan.

Sungguh!! kita sangat rindu kepada kyai-kyai terdahulu yang benar-benar tafaqquh fiddin, mendalami keilmuan islam dengan sungguh-sungguh, menjalankan dan mengimplementasikan seluruh ilmu yang dimilikinya dan benar-benar menjadi teladan yang baik.

Kita sangat rindu sosok ”kyai” yang kaya ilmu dan hati yang mengayomi masyarakatnya dengan setulus hati tanpa pamrih sepeserpun, yang tidak pernah menjual ayat-ayat untuk kepentingan prinadi apalagi hanya sekedar utuk memperkaya diri sendiri, yang tidak pernah menyebut dirinya ”kyai” karena takut tidak kuat menahan beban tanggungjawab yang harus dipikulnya dan yang benar-benar bersahaja dan menjadi panutan seluruh umat.

Semoga ke depan, kualitas kyai-kyai kita benar-benar dalam keilmuannya, tinggi teladannya dan benar-benar membawa kita semua ummat islam kepada jalan yang lurus. Kalo bukan kepada ”kyai” kepada siapa lagi kita akan berguru?.




Mohon maaf bila ada yang tidak berkenan, ini semua hanya fikiran spontan penulis semata demi melihat sesuatu yang lebih baik lagi..saya sangat yakin masih banyak kyai-kyai tulen yang benar-benar ikhlas menjadi pelayan ummat. Semoga bermanfaat.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun