Topik bahasan kali ini mungkin bukan topik panas yang bertengger di headline Surat Kabar dan media online seperti kasus korupsi Ketua DPD, Irman Gusman dan Pilkada DKI dengan Polemik Ahok dan kandidat lainnya tetapi perihal makanan yang kita makan sehari-hari mengandung bahan-bahan berbahaya yang bisa menebar maut. Kondisinya sangat darurat.
Ketika saya buka file-file lama saya, saya menemukan sebuah file laporan hasil penelitian yang dilakukan oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) terhadap 700 sampel produk makanan yang di ambil di pulau jawa, sulawesi selatan dan lampung awal , 56% diantaranya mengandung formalin. Bahkan 70% mie basah mengandung formalin. Selain itu, juga saya temukan hasil uji penelitian sampel di DKI yang diambil dari pasar tradisional dan swalayan di sejumlah wilayah, antara lain Pasar Muarakarang, Muara Angke dan Rawamangun diperoleh hasil bahwa terdapat 56 dari 98 sampel makanan yang positif mengandung formalin. Bila ada terbaru, saya kira hasilnya tidak akan jauh berbeda karena penggunaan formalin masih tinggi.
Bukan itu saja, campuran formalin ternyata juga terdapat dalam produk krupuk, sosis, kemplang, sirup, es manis, dan manisan yang dijual di sekolah-sekolah (BTM pemanis dan pewarna), mi basah/kiloan, Tahu, baso, dan pempek (BTM pengawet). Untuk membuktikannya sangat mudah. Coba sekali-kali datang ke pasar tradisional dimanapun berada, di sana banyak produk tahu, mie basah, ayam potong dan produk makanan lainnya yang mengandung formalin dan juga bahan pewarna tekstil yang berbahaya.
Selain banyak produk makanan yang mengandung formalin, ternyata banyak juga yang mengandung borak dan pewarna tekstil. Ini bisa terlihat dalam makanan produk rumah tangga seperti krupuk, es manis, manisan dan bahkan makanan dan minuman yang dijual di sekolah-sekolah, tempat anak-anak kita menuntut ilmu. Tak ayal, masyarakat menjadi takut dan trauma untuk membeli makanan sehari-hari kita karena ditakutkan mengandung formalin, borax dan pewarna tekstil. Kondisi ini sekali lagi sangat meresahkan masyarakat.
Formalin dan borax tidak berbeda jauh efek buruk dan negatifnya daripada Narkoba. Bahkan cenderung lebih membahayakan. Dampak buruk bagi kesehatan jika terpapar formalin secara kronik dan berulang-ulang antara lain sakit kepala, radang hidung kronis (rhinitis), mual-mual, gangguan pernapasan, baik berupa batuk kronis atau sesak napas kronis. Gangguan pada persarafan berupa susah tidur, sensitif, mudah lupa, dan sulit berkonsentrasi. Pada perempuan akan menyebabkan gangguan menstruasi dan infertilitas.
Pada manusia penggunaan formalin jangka panjang dapat menyebabkan kanker mulut dan tenggorokan. Pada penelitian binatang, ternyata formalin menyebabkan kanker kulit dan kanker paru. Formalin juga dapat merusak persarafan tubuh manusia dan dikenal sebagai zat yang bersifat racun untuk persarafan tubuh (neurotoksik). Sampai sejauh ini, informasi yang ada menyebutkan tidak ada level aman bagi formalin jika tertelan oleh manusia. Ini artinya kasus ini adalah kasus besar dan jangan sekali-kali dianggap enteng dan ringan, ini menyangkut masa depan jiwa dan kehidupan generasi bangsa yang kita cintai ini.
Karena ketidakjelasan penanganan dan regulasi perundang-undangan yang mengaturnya serta tindakan hukum terhadap pelanggarnya membuat kasus ini akhirnya terjadi berulang-ulang setiap tahun. Saya yakin betul, tahun depan pun kasus formalin dan borax ini pun akan kembali lagi jika tidak ditangani secara profesional dan komprehensif. Â Ada bebarapa point penting yang menjadi persoalan besar kasus ini, yaitu:
Pertama. Formalin dan borax adalah jenis bahan kimia yang sangat berbahaya bagi tubuh manusia, dan bisa menyebabkan penyakit kanker. Apalagi kedua bahan kimia tersebut telah secara nyata digunakan untuk bahan pengawet beberapa bahan makanan yang sering dikomsumsi masyarakat.
Kedua. Tidak adanya ketentuan dan sanksi hukum yang jelas mengenai penyalahgunaan penggunaan bahan kimia tertentu (BKT) ini. Meski sudah ada ketentuan yang mengatur penggunaan formalin dan BKT dalam produk pangan seperti UU Nomor 7 tahun 1996 tentang pangan dan UU nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen. Kedua UU ini tidak cukup memadai untuk menghambat dan bahkan menghentikan penggunaan kedua bahan kimia diatas untuk produk pangan yang jelas-jelas dikonsumsi masyarakat sehari-hari.
Ketiga. Kasus ini telah membuktikan bahwa ternyata diantara masyarakat kita masih belum sepenuhnya memiliki etika moral yang baik. Terlihat jelas, masih ada oknum masyarakat yang memanfaatkan sesuatu yang notebene berbahaya bagi masyarakat itu sendiri demi sebuah perhitungan bisnis sesaat. Memang, penggunaan formalin dan borax dapat menambah keuntungan namun apalah artinya jika harus mengakibatkan masyarakat lainnya sengsara dan menderita.