Selama ini, saya senantiasa berprasangka baik kepada kinerja Kementrian Pendidikan Nasional (kemendiknas) dan seluruh jajarannya dalam mengelola pendidikan ini. Namun minggu lalu, kepercayaan itu mulai sedikit demi sedikit mulai berangsur hilang karena salah seorang tetangga saya bercerita bahwa anaknya gagal masuk SMP negri di daerah Depok gara-gara dia hanya mampu menyumbang uang yang sedikit untuk ke sekolah.
Detailnya, setiap orang tua siswa yang ingin mendaftarkan anaknya, diminta untuk mengisi sebuah formulir yang didalamnya terdapat point ”kesanggupan membayar sejumlah uang”..........karena dia hanya menuliskan ”jumlah” uang yang sedikit maka ”gagallah” anaknya masuk sekolah tersebut. Karena yang akan dimasukkan adalah orang tua siswa yang ”mampu” memberi sumbangan paling tinggi.
Lantas, saya bertanya, Uang untuk apakah itu??? Dia menjawab, ”nggk tahu uang apa, yang jelas untuk sekolah kali....”. Bila demikian adanya, maka bagaimana nasib para siswa yang notabene kader bangsa yang kebetulan tergolong dalam kategori "kurang mampu". Sungguh suatu realitas yang sangat menyesakkan dada. Akhirnya pendidikan, kualitas dan pelayanan hanya untuk orang-orang kaya, sementara yang "miskin" yang tetaplah miskin saja.....tak peduli lagi dengan pendidikannya. Sungguh saya benar-benar kecewa!!!!!!!! Beberapa tahun lagi saya pasti akan merasakan kejadian ini juga. Bukankah ”pungutan” seperti ini tidak boleh. Lantas saya tanya, kenapa tidak lapor? Wah...hari ini kalo lapor capek mas......orang diknas pasti tahu lah permainan seperti itu...tapi ya...diam aja mereka...mungkin mereka ”kecipratan juga kali ya”. Ini adalah kekecewaan saya yang kedua yang saya alami, karena masih ada kekecewaan yang pertama. Kekecewaan yang pertama itu adalah tatkala istri saya mendapat kabar menerima ”dana tunjangan Fungsional guru tahun 2010” lalu dari diknas Cibinong Bogor..... Sejatinya dana tersebut ”cair” pada bulan desember 2010, namun hingga hari ini tidak juga ”cair”. Padahal diantara teman-teman dari sekolahan yang sama sudah ”cair”semua.
Saya pun berinisiatif untuk mengurusnya, saya kemudian mengklarifikasinya ke diknas terkait........salah seorang petugasnya bilang...”mungkin ada kesalahan administrasi dan nomer rekening pak?”. Padahal seingat saya, tidak ada sedikit masalah dengan nomer rekening. Saya pun diminta untuk mengirimkan salinan fotocopy nomer rekening, saya pun langsung mengirimkannya. Sebulan kemudian, saya pun nelpon....dia menjawab, ”oh belum ada kabar pak.....saya sudah kirim berkas bapak ke diknas propinsi, kita tunggu aja dari sananya”.
Sebulan kemudian, saya pun nelpon lagi,” gimana bu kabarnya?”. Dia menjawab, ”oh ya...belum ada pak, kayaknya terlambat karena ada pergantian petugas di diknas propinsi”................itulah jawaban-jawaban yang diulang-ulang tanpa kejelasan.
Akhirnya hingga saat ini, dana tunjangan fungsional guru untuk istri saya itu tak pernah ada. Padahal jelas-jelas istri saya berhak mendapatkannya. Entahlah kemana, dana tersebut bersembunyi???? Atau sengaja disembunyikan entah oleh siapa??? Hanya Allah lah yang tahu.
Saya yakin, mungkin banyak sekali kasus-kasus serupa yang dialami oleh para guru....namun karena mereka ”lelah” mengurusnya, akhirnya mereka memasrahkan saja kepada keadaan. Sungguh teganya para ”oknum” ini.
Semoga Allah menggerakkan ”hati nurani” siapapun yang bertanggungjawab atas kasus ini agar secepatnya memberikan hak-hak kami (penerima dana tunjangan fungsional) yang tercerabut. Untuk pungutan liar, sebaiknya perlu ketegasan bagi siapaun yang melanggarnya.
Semoga ke depan, masih ada secercah harapan yang baik tentang bagaimana menghargai sebuah ’amanah”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H