[caption id="attachment_170026" align="aligncenter" width="640" caption="ilustrasi/admin(shutterstock.com)"][/caption]
Ihwal pengalaman pemerasan ini, penulis alami pada pertengahan bulan Januari lalu, ketika penulis mengunjungi daerah perbatasan Papua Nugini - Indonesia, tepatnya di Wutung Village, Vanimo, Sandaun Province.
Siang itu sekitar pukul 12.30 WIT, penulis dan 2 orang kawan meluncur dari Jayapura menuju wilayah perbatasan Indonesia – Papua Nugini, tepatnya di daerah Skouw. Setelah menempuh perjalan sekitar 2,5 jam, tepaqt pukul 15.00 WIT akhirnya mobil kita sampai juga ke daerah ini. Sebelum memasuki “pintu Perbatasan”, kita melapor terlebih dahulu kepada petugas jaga dari TNI yang bersenjata lengkap. Mereka sangat ramah sekali dan mempersilahkan kita untuk memasuki “pintu perbatasan” seraya mengingatkan kita agar kembali tepat pada pukul 16.00 WIT.
Sejurus kemudian, kita langsung menuju “pintu perbatasan”. Di dalam benak saya, terbayang “rupa dan bentuk” pintu perbatasan yang anker dan formal. Ternyata dalam kenyataannya tidaklah demikian. Pintu perbatasan di Skouw ini hanyalah dibatasi oleh pagar “biasa”, dimana setiap orang bisa dengan bebas berlalu lalang menuju dua wilayah, baik ke wilayah Indonesia maupun ke wilayah Papua Nugini.
Sebagai seorang yang baru pertama kali ke perbatasan, saya pun langsung ingin merasakan wilayah Papua Nugini. Moment ini sangat berharga dan sangat sayang bila dilewatkan. Nama kampung pertama di perbatasan Papua Nugini – Indonesia ini adalah Wutung Vanimo. Kita pun langsung mendokumentasikan moment berharga ini dengan berfoto di setiap sudut perbatasan, terutama di sekitar Gate yang bertuliskan “Welkam Long Papua Nugini”. Kita pun beruntung sekali, bisa mengajak foto para tentara PNG yang cukup ramah juga, walau badannya terlihat kekar.
Tak puas disitu, kita pun segera menuju area warung, tak jauh dari pintu perbatasan. Disinipun kita berfoto mengabadikan moment berharga ini. Yang mengherankan, di warung-warung ini banyak dijual senjata secara bebas (saya tidak terlalu detail jenis senjatanya).
Tepat kira-kira pukul 15.40…kita pun berniat kembali ke wilayah Indonesia. Namun alangkah kagetnya saya pada waktu itu, tiba-tiba saya dihampiri oleh 2 orang berbadan besar dan meminta kamera yang saya miliki. Saya pun langsung berfirasat “pasti ada hal-hal yang akan terjadi”. Dugaan saya ternyata betul. Mereka pun langsung membawa saya ke sebuah ruangan dan menguncinya dari dalam.
Di dalam ruangan ini mereka mulai emlakukan interogasi. Awalnya mereka memperkenalkan diri bahwa mereka adalah petugas kantor imigrasi PNG. Selanjutnya mereka, menanyakan surat surat dan dokumen resmi saya. Saya bilang, “saya tidak punya dokumen itu karena saya cuma melintas sebentar dan saya kita memang tidak ada peraturan itu”. Mendengar jawaban saya, dia bilang OK.
Namun kemudian dia berkata “bapak melanggar peraturan kami di PNG bahwa setiap pengunjung dilarang membawa kamera dan memotret apapun di wilayah perbatasan ini! Karena baoak melanggar maka kamera baoak kami sita!”. Mendengar alasan ini saya pun menjawabnya dengan argumen” sepertinya tidak ada larangan sedikitpun di perbatasan untuk pemotretan, jadi saya kira tidak ada masalah”. Mendengar jawaban ini, respon mereka sepertinya mulai “galak dan sedikit mengancam”. “pokoknya anda melanggar dan kamera anda kami sita, silahkan pulang ke Indonesia, atau kalian harus bayar 1 juta!”.
“ hah..1 juta, gila besar sekali” dalam hati saya. Namun saya pun tidak ingin kamera yang berisi banyak dokumen itu mereka ambil. Maka dari itu, saya pun mulai menegosiasikan “uang tebusan” itu. Setelah berdebat panjang, akhirnya uang tebusan itu turun dari 1 juta menuju 500 ribu, kemudian 400 ribu dan akhirnya sebagai puncak negoisiasi saya wajib membayar 150 ribu. Itupun setelah saya bilang saya “tidak punya uang lebih lagi, kecuali untuk sewa mobil”….he he he… Akhirnya setelah cukup alot, akhirnya mereka ‘deal” dengan angka 150 ribu.
Saya pun secepatnya memberikan sejumlah uang tersebut, namun saya sedikit bertanya,” mana kuitansi penerimaannya”. Mereka bilang tidak ada, tapi kalau kalian mau, tanda tangani saja kertas kosong ini sekaligus ditanda tangani. Saya pu langsung “pura-pura” menanda tanganinya dan setelah itu segera menuju pintu perbatasan indonesia.
Dalam hatin saya, “ternyata nggk dimana-mana, selama masih ada kesempatan untuk melakukan pemerasan, maka pemerasan itu akan dilakukan”. Dengan rasa kesal saya pun dengan terpaksa merelakan “150 ribu” untuk “uang jajan” para oknum kantor imigrasi perbatasan Panua Nugini ini.
Maka dari itu, bagi para kompasiana dan siapapun yang kebetulan berkunjung ke Skouw dan Mutung Vanimo, perbatasan RI – Papua Nugini agar ekstra hati-hati agar tidak mengalami pemerasan disana. Apalagi bila, performance kita sudah KO duluan alias takut maka semakin dikerjain oleh mereka. Saran saya, sebaiknya harus ditemani guide yang faham seluk beluk daerah inii.
Semoga pengalaman ini bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H