Suatu hari, anak sulung saya, si Bima (7 tahun), selepas bermain sore, mengadu kepada saya, “Ayah, kata teman saya si “A” di yang rumahnya di ujung komplek, saya nggk boleh main sama si “B” yang orang Kristen itu karena mereka bukan golongan kita, apa bener yah?” Mendengar pertanyaan tersebut saya sungguh kaget dan terkejut bukan kepalang. Kok bisa-bisanya anak sekecil itu (berumur 8 tahunan) memiliki pemikiran se-ekstrem itu. Saya benar-benar shock kala itu. Saya merasa shock karena peristiwa ini benar-benar di luar dugaan.
Saya yakin, anak sekecil itu tidak sepenuhnya mengerti apa yang mereka ucapkan. Ia hanya mengikuti apa yang diajarkan oleh kedua orang tuanya semata tanpa memahami apa sesungguhnya esensi dari pelarangan itu. Maklumlah pemikiran orang tuanya dikenal cukup kaku dan keras. Ia sering mengistilahkan pemeluk agama lain dengan minkum, sementara pemeluk agama Islam dengan minna. Pemahaman yang membuat sekat ini akhirnya menjadikan mereka memiliki perasaan berbeda dan kadang disertai kebencian sehingga mereka tidak mau bergaul dan berhubungan dengan pihak lain.
Yang pasti, pemahaman yang salah ini wajib diluruskan agar kelak anak-anak kita tidak salah jalan dalam memahami sebuah perbedaan. Maka dari itu, selepas sholat berjamaah magrib, akhirnya saya mencoba menjelaskan dan membahas persoalan yang ditanyakan Bima. Intinya bahwa apa yang dikatakan teman Bima itu tidaklah benar. Bermain dan berkawan dengan siapapun itu boleh-boleh saja, baik beda agama, suku, warna kulit, profesi dan lain sebagainya.
Sedikit cuplikan cerita nyata di atas, sungguh menjadi 'ganjalan' kerukunan umat beragama di Indonesia. Ketika penghargaan kepada pihak lain baik perbedaan dalam konteks antar agama dan intra agama sekalipun sudah mulai hilang dan digantikan oleh klaim kebenaran sepihak maka potensi konflik beraroma kekerasan akan semakin tinggi.
Potensi konflik jenis ini bak 'api dalam sekam' yang setiap saat bisa menyala, membara dan membakar apa saja di sekelilingnya apabila ada 'sang peniup alias provokator' yang tidak bertanggungjawab. Apalagi kini, kehadiran media sosial yang semakin canggih semakin mempermudah penyebaran berbagai isu yang mampu memecah belah kerukunan beragama.
Intoleransi Benih Konflik Kekerasan
Memperbicangkan intoleransi dan kerukunan beragama maka sepertinya kita perlu membuka lembaran sejarah kelam bangsa ini yaitu konflik bernuansa suku dan agama yang terjadi di Poso, Ambon, dan Sambas. Ketiga locus ini merupakan prasasti penting betapa konflik dan kekerasan sungguh membuat kesengsaraan yang amat sangat. Ratusan nyawa melayang, kerugian material dan immaterial terjadi dan yang lebih penting adalah hilangnya rasa damai. Kasus-kasus ini memberi kita pelajaran bahwa kerukunan beragama sungguh berharga mahal di tengah keberagaman kita sebagai bangsa yang ber Bhinneka Tunggal Ika.
Berdasarkan kajian dari banyak kasus peristiwa konflik dan kekerasan yang terjadi di beberapa locus di atas maka intoleransi menjadi biang utama penyebabnya. Sejarah memberikan kita pengalaman berharga bahwa kasus-kasus besar seperti peristiwa Ambon, Sampit, Poso, Sambas, kasus Ahmadiyah serta banyak letupan kecil di Indonesia kontemporer ternyata disebabkan oleh mis-understanding berlebihan dalam memahami sebuah perbedaan, kurangnya sikap kedewasaan dan miskinnya toleransi berbagai pihak yang bertikai. Kemungkinan besar konflik-konflik di atas tidak akan pernah terjadi bila mereka memahami betul segenap perbedaan yang dimiliki yang disertai dengan sikap dewasa penuh toleransi.
Berdasarkan hasil bacaan dari beberapa riset, diperoleh informasi bahwa potensi kelompok masyarakat yang memiliki pemahaman dan sikap intoleransi tidak lebih dari 3-5% dari total masyarakat kita. Walau jumlahnya cukup kecil, tetapi eksistensi mereka memiliki efek dan dampak yang luar biasa bagi kerukunan umat beragama karena mereka kadangkala bisa menghalalkan tindakan kekerasan dalam menjalankan paham dan keyakinan yang dianutnya. Bahkan dalam skala tertentu, sikap intoleransi ini bisa dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok tertentu menjadi sikap radikal dalam gerakan dan perbuatan (terorisme).
Berbeda itu Sunnatullah
Adalah sunnatullah dan takdir Tuhan untuk menjadikan manusia hadir di muka bumi ini dengan segala bentuk perbedaan sifat, kepentingan, keinginan, keyakinan, etnisitas, dan lain sebagainya. Namun mengapa keberagaman (pluralisme) itu menjadi cikal bakal manusia untuk terus berkubang dengan lumpur konflik yang tak kunjung berakhir. Haruskah kita berseteru dan bahkan membunuh saudara kita yang kebetulan beragama lain? Bukankah kita memang diciptakan berbeda-beda untuk saling mengenal satu sama lainnya?
Pluralisme atau kemajemukan adalah suatu keniscayaan, sebagai inevitable destiny (kondisi yang tidak bisa dihindari). Jika kemajemukan masyarakat tersebut tidak dikelola dengan baik, maka akan menyuburkan berbagai prasangka negatif (negative stereotyping) antar individu dan kelompok masyarakat yang akhirnya dapat merenggangkan ikatan solidaritas sosial dan integrasi sosial serta dapat menjadi sumber pemicu konflik dan disharmoni.
Maka dari itu, kita harus berani mengakui bahwa memang terkadang kita harus berbeda. Perbedaan itu nyata. Tidak perlu takut untuk menyatakan perbedaan. Yang kita butuhkan saat ini adalah bagaimana kita saling menghargai, menghormati dan memahami untuk selanjutnya bergandengan tangan merajut kebersamaan. Berbeda itu sungguh bisa, namun toleransi itu sungguh luar biasa.