Sungguh bangga dan senang rasanya, mendengar kabar bahwa para santri-santri dayah Aceh, yang dulu magang (alumni) di CSRC UIN Jakarta (2006-2008) kini sudah mendirikan IPSA (Ikatan Penulis Santri Aceh). Hebatnya lagi mereka ternyata sangat aktif melakukan kegiatan yang mendorong para santri dayah untuk terus berkarya terutama dalam hal tulis menulis. Dalam bulan ini misalnya, mereka mengadakan sayembara menulis bagi para santri se Aceh. (Lihat di www.dayahinstitute.com). Sekali lagi saya (selaku coordinator training waktu itu) sangat bangga kepada mereka.
Bukan itu saja, salah satu liputan berita, Waspada Online, Aceh, 03 November 2008 yang lalu pernah mengangkat isu kesuksesan program pemberdayaan para santri dayah ini yang berjudul ”BRR Juga Fokus Peningkatan Kapasitas Masyarakat Dayah”.
Tersebutlah Tgk.Siti Zalikha, salah seorang peserta program magang santri dayah dan remaja masjid se Nangroe Aceh Darussalam, di CSRC UIN Jakarta, kini telah sukses menjadi inspirator berdirinya Taman Kanak-kanak (TK) di pesantren tempat ia menimba ilmu. Prestasi ini sungguh luar biasa karena ia menjadi sebatang lilin yang siap menerangi masyarakat lingkungan sekitarnya. Walau hanya mendirikan sebuah TK di pelosok desa, namun semangat dan tujuan mulia yang ditorehkan layak diapresiasi oleh kita.
Penulis yakin, akan banyak bermunculan Tgk. Siti Zalikha – Siti Zalikha lainnya yang secara kreatif mendedikasikan segala bentuk ilmu yang telah dimilikinya untuk dipraktekkan di tengah masyarakat yang memang haus akan ide-ide kreatif nan inovatif. Bisa dibayangkan jika terdapat 100 bahkan 1000 orang kreatif dan berprestasi seperti Zalikha ini, maka kemajuan Aceh tak akan terelakkan lagi.
Harus diakui bahwa program magang santri dayah dan remaja masjidse NAD yang dahulunya dibiayai sepenuhnya ini oleh BRR NAD-Nias ini merupakan investasi jangka panjang untuk menabur benih-benih kemajuan untuk dipanen di kemudian hari. Benih-benih kemajuan dalam berfikir, berfilsafat dan berkarya dengan suntikan semangat yang luar biasa, dalam bingkai nilai-nilai perjuangan dan pengabdian akan menjadi ciri khas kaum santri dayah ini. Mereka akan menjadi salah satu asset berharga dan dapat dibanggakan bagi keberlangsungan pembangunan aceh kelak.
Melalui serangkaian training dan magang ini, diharapkan capacity building mereka meningkat hingga akhirnya menjadi generasi muda yang produktif, mumpuni dan bermanfaat. Apalagi NAD saat ini, telah dalam proses pembangunan dalam semua aspek kehidupan baik ekonomi, politik, sosial budaya, dan agama. NAD kini butuh generasi muda yang cerdas, kuat, inovatif, kreatif dan memiliki akhlakul karimah untuk membawa masyarakat menuju kemakmuran dan kesejahteraan.
Maka tidak heran jika salah seorang peserta perempuan yang dulu pernah mengikuti program ini merasakan manfaat yang besar terutama bagi kaum perempuan. Kegiatan ini dapat mendorongnya lebih dapat berkiprah secara lebih profesional. Sehingga kaum perempuan tidak hanya berperan sebagai inong teungku (isteri ulama), melainkan juga menjadi teungku inong (ulama perempuan).
Torehan prestasi lainnya yang layak diapresiasi adalah buku karya perdana para santri dayah salafiah ini, yang berjudul ”Wanita dan Islam” yang ditulis 6 orang santriwati (Siti Zalikha, Azizah Muhammad, Junaidah Mahmud, Maisarah Muhammad, Siti Radhiah Ridhwan Gapi dan Safrida Hamdani). Sementara para santriwan (Muslim Thahiri, Zarkasyi, Jalaluddin, A. Malik Syamsuddin dan Hamdani) menghasilkansebuah buku yang berjudul ”Wacana Pemikiran Santri Aceh ”. Saya akin banyak karya karya lainnya yang sudah dipublikasikan.
Kini, saya pun masih berharap, semoga kegiatan pengembangan capacity bulding seperti ini bisa dilanjutkan, tentunya dengan inisatif dan dukungan dari Pemda NAD sendiri.
Program-program seperti ini diharapkan mampu membangun pondasi generasi muda santri yang siap memimpin dan membangun Aceh di kemudian hari, kala estafet kepemimpinan tiba saatnya berganti. Untuk itu, dibutuhkan komitmen yang kuat “a sense of execellent commitment“ semua pihak baik pemerintah, tokoh masyarakat, kaum muda, dan seluruh stakeholder masyarakat Aceh untuk terus mendukung keberlangsungan proses (sustainability process) pendidikan bagi kaum santri dayah ini.
Sekali lagi, penulis sangat well aprreciated dan merasa bangga bersama para santri dayah dan remaja masjid ini untuk belajar bersama dan saling mengisi menuju keberhasilan. Karena motto kita adalah ”apa yang bisa kita sumbangkan bukan apa yang bisa kita dapatkan”. Menabur benih hari ini, untuk kita panen dikemudian hari. Hingga akhirnya kita mendapatkan generasi muda yang bisa dibanggakan dan membanggakan demi kemajuan Aceh dan kemakmuran masyarakatnya. Amien
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H