Suasana perpolitikan di DKI Jakarta menjelang Pilkada 2017 nanti semakin memanas dan menegangkan. Seluruh kandidat calon Gubernur DKI kini terus berupaya meraih dukungan Partai Politik sebagai kendaraan satu satunya untuk bisa mencalonkan diri menjadi seorang bakal calon Gubernur.
Diantara nama-nama kandidat dalam perebutan kursi orang nomer 1 di DKI ini adalah Ahok yang didukung Golkar, NAsdem dan Hanura. Sementara Sandiaga Uno sudah didukung Gerinda. Nama lainnya yang kian santer diisukan akan diusung oleh partai PDIP adalah Risma, sementara nama Yusril, Safrie Samsudin, dan Ahmad Dhani seakan mulai kehilangan kans dukungan dari partai-partai politik lainnya seperti PKB, PAN, dan PKS.
Dalam perpolitikan, konfigurasi peta kandidat dan dukungan di atas juga bisa merubah dalam hitungan jam. Terkini, kabarnya Megawati (berdasar pengakuan Ahok) hampir dipastikan mendukung pasangan Ahok-Jarot. Namun yang pasti, hingga kini PDIP belum secara resmi memberikan dukungan politiknya kepada salah satu kandidat manapun. Jadi semua bisa berubah dalam hitungan jam.
Melihat situasi ini, maka wajar hingga saat ini setiap calon kandidat terus bermanuver dan berusaha dengan segala cara untuk meraih simpati partai politik dan sekaligus masyarakat. Sandiaga S Uno misalnya dikabarkan mendekati Sekda Pemprov DKI, Syaefullah sebagai calon wakil Gubernur. Tidak berhenti disitu saja, Sandiaga juga telah bertemu dengan Deputi Gubernur DKI Jakarta Sylviana Murni. Entahlah apa yang dibicarakan. Semua itu merupakan manuver politik. Belum lagi manuver dari para calon kandidat lainnya yang tak kalah seru. Perihal terpilih atau tidak, itu lain soal. Yang penting habis-habisan. Inilah 'judi' politik terbesar di DKI Jakarta.
Mengapa dinamakan “judi politik” karena memang semuanya berbasis “perkiraan dan untung-untungan”. Siapa yang bisa jamin 100% sang kandidat bisa menang? Survei manapun belum dan tidak akan ada yang bisa menjaminnya. Apalagi berbagai kepentingan tumpuk lumus di arena ini memperebutkan kepentingan mereka sendiri sendiri. Yang pasti, ratusan juta hingga milyaran uang harus keluar untuk proyek pencitraan Pilkada ini. Sungguh membutuhkan perjuangan dan pengorbanan yang tidaklah sedikit, baik secara materiil maupun nonmateriil.
Apalagi, proses meraih simpati masyarakat tidaklah mudah. Dibutuhkan strategi yang jitu agar hasilnya lebih maksimal. Para calon Gubernur ini dituntut lebih kreatif dalam meramu setiap materi pencitraan hingga akhirnya masyarakat tertarik dan menjadikannya sebagai pilihan terbaik dari sekian kandidat yang ada.
Sehebat dan sesistematis apapun setiap kandidat membungkus dirinya dengan agenda-agenda perubahan dan perbaikan serta menampilkan slogan yang identik dengan 'kebaikan' dan 'kejujuran' untuk meraih simpati masyarakat, toh akhirnya pilihan terakhir ada di tangan masyarakat. Umbaran sejuta janji belum tentu meyakinkan masyarakat untuk memilihnya.
Dengan serangkaian pengorbanan dan kerja keras di atas, apakah ada jaminan dia akan terpilih? Tunggu dulu, belum tentu jawabannya. Masih banyak aspek lain yang akan menentukannya. Karena harus diingat, masyarakat kini semakin cerdas dalam menentukan pilihannya. Banyak sekali contoh kasus yang mengurai fakta perihal pilihan masyarakat sangatlah sulit diprediksi. Awalnya yakin dipilih masyarakat, tapi ternyata harus rela kalah telak. Pemilihan gubernur Jawa Barat, misalnya, merupakan bukti autentik bahwa ramalan survei belum tentu linear dengan fakta hasilnya.
Bagi kita, warga DKI, mari kita tunggu siapa sebenarnya pemenang “judi politik” terbesar di DKI ini?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H