Sebelum memulai tulisan singkat ini, saya harus sampaikan apresiasi setinggi-tingginya kepada BKKBN atas inisiatif bagusnya menjadikan “Nikah Usia Ideal” sebagai isu penting dalam peringatan HARGANAS 2016 untuk dikampanyekan. Harus diakui bahwa diskursus perihal tema ini mulai jarang dan bahkan mulai hilang dari kupasan banyak pihak, ditelan hiruk pikuk dunia politik yang tak pernah berujung. Padahal tema ini begitu penting dan memiliki dampak yang luar biasa bagi masa depan bangsa kita tercinta ini. Karena dari generasi ini lah masa depan cemerlang Indonesia bisa terwujud.
Bagi saya, pernikahan merupakan peristiwa saklar bagi ummat manusia yang menjadi cikal bakal keberlangsungan sebuah siklus kehidupan. Lantas kapan usia nikah ideal yang bisa kita jadikan pedoman?
Menurut Undang-undang No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Bab 2 pasal 7 ayat 1 disebutkan bahwa usia ideal perkawinan adalah 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki. “Perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enambelas) tahun”.
Dalam perkembangannya, batas usia menikah minimal bagi perempuan ini kemudian digugat oleh Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) ke Mahkamah Konstitusi (MK) dengan alasan batas usia minimal perempuan menikah dalam UU Perkawinan rentan terhadap kesehatan reproduksi dan tingkat kemiskinan. YKP menilai organ reproduksi perempuan usia tersebut belum siap, akibatnya angka kematian ibu melahirkan sangat tinggi. Namun saying, gugatan ini di tolak oleh Majelis Mahkamah Konstitusi, 18 Juni 2015 lalu.
Walaupun MK telah menolak menaikkan batas usia minimal untuk menikah bagi perempuan di atas, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) tetap mengkampanyekan usia ideal untuk menikah bagi perempuan yaitu di atas 20 tahun dan 25 tahun untuk laki-laki. Menikah di usia tersebut, diyakini dapat merencanakan masa depan yang lebih cemerlang, serta dapat mewujudkan keluarga yang berkualitas, sejahtera, dan mandiri.
Lalu bagaimana sesungguhnya dengan pandangan agama? Syariat Islam misalnya, sesungguhnya tidak pernah membatasi usia tertentu untuk menikah. Namun, secara implisit, syariat menghendaki orang yang hendak menikah adalah benar-benar orang yang sudah siap mental, fisik dan psikis, dewasa dan faham arti sebuah pernikahan yang merupakan bagian dari ibadah.
Bila demikian adanya, sesungguhnya usia “nikah usia ideal” telah jelas, yakni di atas 16 tahun (UU nomer 1 tahun 1974) atau 20 tahun (anjuran BKKBN), namun ternyata fakta di lapangan berkata lain. Hampir setiap saat, kita sering mendengar kasus “Pernikahan Dini” di berbagai tempat dengan beragam alasan yang melatarbelakanginya.
Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010 misalnya, menunjukan prevalensi umur perkawinan pertama antara umur 15-19 tahun sebanyak 41,9 persen. Bahkan, penelitian lainnya yang dilakukan di Provinsi Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara Barat dan Banten menunjukan usia kawin pertama perempuan di perkotaan sekitar 16-19 tahun, sedangkan di perdesaan sekitar 13-18 tahun.
Temuan angka riset ini sungguh membuat kita miris terkejut dan miris. Mengapa demikian? Karena ternyata banyak pasangan yang sudah menikah di usia yang masih sangat muda. Coba bayangkan, di usia 13-15 tahun dimana mereka masih asyik-asyiknya menuntut ilmu di Sekolah Menengah Pertama (SMP) kelas 1 & 2, mereka sudah menikah dan memiliki kewajiban suami istri dengan segala tantangan, kesulitan, dan tanggung jawab yang dihadapinya.
Lantas alasan apa yang kira-kira menyebabkan mereka memilih “Nikah Muda”? Menurut hasil penelitian BKKBN, penyebab maraknya pernikahan dibawah umur ideal dipengaruhi beberapa faktor, diantaranya yaitu faktor sosial, ekonomi, budaya dan faktor tempat tinggal desa-kota. Namun dari beberapa faktor tersebut, faktor ekonomi lah yang paling dominan mempengaruhi usia perkawinan pertama pada perempuan. Iming-iming kemapanan dari sang suami yang kebetulan lebih mampu (kaya) menjadi salah satu alasan utamanya. Terutama di daerah pedesaan dengan kultur tertentu dimana nikah muda menjadi hal lumrah.