Mohon tunggu...
Sholahuddin Al Fatih
Sholahuddin Al Fatih Mohon Tunggu... Dosen - Dosen, Penulis, Public Speaker

Menulis adalah seni bercerita dan merangkai kata

Selanjutnya

Tutup

Worklife

Pajak, Zakat, dan Welfare State

9 April 2021   08:27 Diperbarui: 9 April 2021   08:29 319
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Worklife. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pembukaan UUD NRI 1945 memberikan guidance kepada pemerintah, untuk menciptakan dan mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh warga negara. Gagasan tersebut, selaras dengan semangat bahwa bangsa ini lahir di tengah melimpahnya sumber daya alam yang, mewah sekali. Gemah ripah loh jinawi. Isinya bukan lautan, tapi kolam susu. Begitu bait sebuah lagu, mengurai saking kayanya negeri ini.

Eh tapi,

Kok kemiskinan merajalela. Pajak ditarik cukup tinggi. Konon di negeri ini, apapun bisa di kenakan pajak. Jika menengok teori negara kesejahteraan, pajak tinggi adalah cirinya. Sebab untuk menuju negara sejahtera, dibutuhkan modal. Salah satunya melalui pajak. Alhasil, anak kos juga dibebankan pajak, ya betul, pajak rumah kos.

Alamak,

Jangan-jangan, nyeruput kopi di pinggir jalan juga nanti kena pajak. Eh betul, kan ada kang parkir. Masuk retribusi. Pajak daerah.  Sah. Legal menurut hukum. Kalo menurut Richard Posner, ekonomi dan hukum itu bak pinang di belah dua, ada keterhubungan. Banyak kebijakan hukum, yang sarat bermuatan ekonomi.

Betul sih, tapi baiknya hasil pajak, retribusi dan segala rupa tersebut bisa dinikmati kembali oleh rakyat. Ditunaikan kepada yang berhak. Mirip kayak implementasi zakat. Ada muzakki yaitu orang yang mengeluarkan zakat. Dan ada golongan mustahik, orang yang berhak menerima zakat. Potensi zakat di Indonesia konon sangat besar. Mencapai ratusan triliun. Tapi realisasinya hanya bisa terhimpun kurang lebih 70an triliun.

Itu duit coy, kalo dibuat beli boba atau cilok, pasti dah bisa buat berenang boba atau cilok, wkwk

Tapi ya, seperti pajak, zakat susah dihimpun. Apalagi ada model crazy rich, yang sukanya ngasih dana zakat langsung, bukan ke lembaga amil zakat. Jadilah, dana zakat ini, antara potensi dan capaian sering gak akur, beda banget hasilnya. Padahal menurut Sholahuddin Al-Fatih, dalam artikel yang dimuat di Jurnal Jurisdictie, potensi zakat bisa meningkatkan kesejahteraan umat. Menuju era baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur. Negara kesejahteraan tuh.

Nah, ini topik diskusinya, kira-kira, bisa nggak ya, suatu saat ini, masyarakat yang udah bayar zakat ke lembaga amil zakat, terbebas dari pajak? Benarkah potensi pajak dan zakat Indonesia sebenanrnya bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat? serta bagaimana solusinya, agar mereka yang suka gak bayar pajak juga gak bayar zakat, jadinya gemar bayar pajak dan zakat?

Topik ini masuk pada dua topik awal, tentang hukum pajak dan cara pemungutan pajak. So pada pertemuan berikutnya, masuk ke topik selanjutnya. Jawab aja diskusinya di kolom komentar di bawah ini. Jangan lupa sertakan sumber rujukan

Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun