Penulis Kamila Queen dan Dianingtyas Kh, no 199.
Malam telah menjelang. Azan isya’ telah lama berkumandang dari musholla kampung sebelah. Sesosok perempuan tua tengah menganyam pandan di balai-balai ruang depannya. Di sampingnya, seorang gadis duduk sambil sibuk membungkusi keripik singkong yang baru usai digorengnya sore tadi. Malam di luar begitu pekat. Rembulan sabit tanggal dua puluhan tampak muram tertutup awan. Tak satu pun bintang menemaninya untuk berbagi cahaya pada bumi.
Di sebelah utara, tampak punggung pegununganMuriayang hitam perkasa bak raksasa yang tengah terlelap. Sunyi hanya suara serangga malam diselingi nyanyian katak yang bermain di genangan air sisa hujan tadi sore.
“Mbok, sudah larut. Mbok sudah capek, kan? Tidurlah,Mbok!”
“Ndak,Cah Ayu.Simbok masih kuat. Kalo kamu mau tidur, sana tidur saja. Simbok masih ingin menyelsaikan anyaman ini.”
Sesekali tampak tangan wanita renta itu mengusap matanya pertanda kalau dia memang benar-benar kepayahan. Ia harus menyelesaikan anyaman itu karena esok sebelum mentari terjaga, ia harus buru-buru menyetorkan kepada sang majikan, Haji Soleh. Denting tiang listrik yang dipukul dua kali oleh petugas ronda menunjukkan kalau malam sudah berganti pagi, namun jari-jari renta itu masih belum menyudahi anyaman itu. Sampai akhirnya keduanya tak sengaja tertidur karena kelelahan danterjaga saat azan Subuh berkumandang.
“Sudah selesai, Mbok, anyamannya?” tanya Inem sedikit terperanjat.
“Sudah,Nduk,” jawab Simbok sambil mengusap matanya yang masih berasa ngantuk.
“Simbok lelah sekali, biar kuantar saja ke Haji Soleh, Mbok.”
Usai bersih-bersih dan sholat subuh Inem bergegas mengeluarkan sepeda reot peninggalan bapaknya. Diikatnya anyaman tikar itu pada boncengan sepeda. Dengan modal semangat, Inem menuju rumah hajiSoleh. Tidak lupa Inem juga membawa ceriping singkong yang dibungkusnya semalam. Digantungkannya tas kresek berisi ceriping singkong itu pada stang sepedanya. Perlahan-lahan sepeda reot penuh muatan itu melaju di jalan setapak yang becek dan sedikit berlumpur. Suara kerecit sepeda tak dihiraukan lagi. Baginya yang terpenting adalah segera sampai di rumah Haji Soleh sebelum mentari terjagadan bisa menitipkan singkong dagangannya di kantin SD tempat dia bersekolahdulu. Sejatinya, setiap kali Inem ke sana, ia teringat masa-masa ketika ia bersekolah dulu, masa-masa yang sangat manis meskipun ia hanya mengecap pendidikan sampai kelas IV saja. Sayang, bapaknya keburu meninggal dan simboknya tak cukup kuat untuk membiayai sekolahnya.
*
Tak berapa lama, sampailah Inem di sebuah rumah joglo yang besar, berpagar besi. Megah sekali. Tampak mencolok jika dibandingkan dengan rumah-rumah yang ada di sekitarnya. Inem pun segera memencet bel. Tak berapa lama tampak sesosok lelaki tua dari rumah. Dengan peci putih di kepala dan tasbih yang selalu melekat di jemarinya, sosok itu mempersilakan Inem masuk ke dalam rumah. Itulah sosok haji Soleh.
“Masuk,Nduk!” Haji Soleh mempersilakan Inem masuk ke dalam rumahnya.
“Inggih, Pak Haji....”
“Bune,iki lho, Inem....” Haji Soleh mencoba memanggil istrinya yang masih sibuk di dapur mempersiapkan sarapan untuk keluarga besarnya. Dari ruang dapur tercium aroma sambal yang sangat merangsang air liur untuk keluar dari langit-langit mulut.
“Ya, bentar Pakne,” jawab Bu Haji Soleh dari dalam dapur.
Sembari menunggu Bu Haji Soleh keluar dari dapur, mata Inem memandangi isi ruangan tamuyang megah itu. Satu persatu diperhatikannya foto yang yang tertampang di dinding kayu itu. Pandangannya terhenti ketika Inem melihat sosok lelaki ganteng. Dipandanginya dalam-dalam foto lelaki itu, hingga tak sadar kalau Bu Haji Soleh sudah benar-benar berada di sampingnya.
“Ehem, ehem,...nduk Inem....” Takdihiraukannya suara itu. “Nduk Inem, ...” Masih saja Inem asik memandangi sosok yang mungkin telah membuatnya tertarik. Pikirannya melambung ke relung-relung masa lalu kala ia masih bersama Bejo. Menurutnya, sosok yang terpampang di dinding itu benar-benar mirip dengan Bejo. Bedanya hanya masalah nasib. Bejo terlahir dari keluarga yang serba kekurangan. Setiap harinya ia hanya membantu pamannya di Kalimantan sebagai pengais limbah batu bara di sungai Mahakam. Bagi Bejo, bisa makan saja sudah cukup. Tak pernah terbersit untuk kepingin memiliki barang-barang yang tak terjangkau olehnya. Pakaian yang dikenakannya pun selalu dan selalu itu. KumaI dan lecek. Itu pun kebanyakan dari pemberian orang lain. Toh ia masih bisa bersyukur.
Penghasilan yang hanya lima puluh ribu rupiah setiap harinya, jelas-jelas tidak bisa untuk memenuhi semua keinginan dan kebutuhannya. Sebagai seorang laki-laki yang sudah saatnya untuk saling mengenal, saling menyayangi, atau mencintai, ia sebenarnya sudah menjatuhkan pilihannya pada Inem. Akana tetapi, karena kemiskinan itu ia harus menunda keinginan untuk bisa segera memiliki Inem. Rindu akan rupa dan suara Inem yang dulu sering terdengar jelas di telinganya, kini jauh dari kenyataan. Bayangan kala mereka berdua memadu kasih tiba-tiba muncul. Ingat betul dia bagaimana mereka memadu kasih di atas batu nisan, di bawah pohon kamboja, dan di antara rerimbunan ilalang. Itulah tempat terindah mereka. Tempat menumpahkan segala keluh kesah mereka berdua. Tempat untuk menumpahkan janji suci, meski tidak lazim bagi kebanyakan pasangan yang sedang terpanah asmara.
“Kang, sampai kapan kita seperti ini?” tanya inem.
“Maksudmu?” sahut Bejo.
“Aku takut...takut kalau akang pergi meninggalkan aku.”
“Kenapa tiba-tiba kamu berkata demikian?”
“Hatiku nggak enak, kang. Entah kenapa. Jangan tinggalkan aku, kang!” keluh Inem sambil meregahkan kepalanya di dada Bejo.
“Nem, kamu tidak usah berpikir terlalu jauh. Akang tidak akan meninggalkanmu. Dengarkanlah kesungguhan hatiku. Akulah adalah lelaki terbaik untukmu.” bisik Bejo seraya menyelipkan setangkai bunga kamboja di telinga Inem.
“Nem, ada yang kubicarakan denganmu.”
“Apa, Kang?”
“Aku hendak merantau ke Kalimantan. Sulit rasanya mendapatkan pekerjaan di sini. Kalau aku bekerja di sana, aku bisa mengumpulkan sedikit uang untuk biaya kita menikah nanti.”
“Kakang mau ke Kalimantan? Tapi, Kang?”
“Demi kebaikan kita, Nem. Kakang ingin kita segera menikah. Kakang akan mengumpulkan rupiah. Kakang harus berbuat, berbuat sesuatu untuk kita. Apapun akan Kakang lakukan, asalkan diridhoi pengeran, Nem. Kamu mau, kan menikah dengan Kakang?”
Menikah. Sungguh sebuah impian yang indah sekali untuk gadis desa seperti Inem. Ia mencintai Kang Bejo apa adanya dan Kang Bejo pun demikian. Meski berat, ia pun merelakan Kang Bejo-nya untuk mengadu nasib di Kalimantan.
****
“Ndhuk Nem,” seru Bu Haji, kali ini disertai dengan tepukan agak keras di bahu Inem.
Inem tergeragap, tersadar dari lamunannya tentang Kang Bejo-nya. Sudah dua purnama Kang Bejo meninggalkannya dan ia masih menunggu kabar darinya. Namun, sampai hari ini, Inem belum menerima sepucuk surat pun.
“Melamun, Ndhuk?”
“Eh, Bu Haji,” kata Inem sambil tersipu malu.
“Itu Noor Rohmad, namanya. Kamu pasti sudah tahu, kan?”
Inem mengangguk.
“Dia sekarang kerja di Bandung. Sekarang ia jadi orang sukses, nduk. Tapi sayang, belum punya istri, padahal banyak wanita yang suka padanya lho. Ibu sampai bingung memikirkannya.” Sejenak Bu Haji terdiam. Mungkin sedang memikirkan nasib Rohmad yang hingga kini belum mempunyai pendamping hidup alias istri.
Inem diam saja. Ia tahu kang Rohmad (panggilan sehari-hari Noor Rohmad). Kang Rohmad adalah kakak kelasnya dulu ketika ia belum putus sekolah.Dibuangnya jauh-jauh perasaan “GR” itu, karena ia sadar memang Rohmad bukan yang ada di hatinya, meski ada sedikit simpati.
“Saya mau mengantarkan anyaman simbok, Bu Haji.”
“Iya, Ndhuk. Ini sekalian uangnya nanti sampaikan pada simbokmu,” kata Bu Haji sambil mengulungkan selembar lima ribuan dan beberapa lembar pecahan seribuan kepada Inem. Inem menerimanya dengan takzim.
“Kalau begitu saya permisi dulu, Bu Haji.”
Bu Haji mengangguk.
“Bagaimana dengan Kang Rohmad?” tanya Bu Haji sedikit menggodanya.
Inem tersenyum. “Ah, Bu Haji bisa saja. Kang Rohmad mana mau dengan saya?”
“Tapi kalau Kang Rohmad-nya mau, Ibu setuju lho, Nem.”
Inem menunduk, kemudian segera berlalu dari hadapan Bu Haji Soleh. Tawaran Bu Haji sungguh menarik, tetapi ia sadar diri. Rentang kasta antara mereka sedemikian jauh. Lagi pula, ia telah memiliki Kang Bejo, meskipun kini lelaki terkasihnya itu menghilang ke belantara Kalimantan tanpa kabar.
Inem pun kembali mengayuh sepedanya, menyusuri jalan desa yang penuh dengan bebatuan. Angannya sibuk merangkai masa lalunya bersama Bejo.
“Ah, Kang, di mana dirimu sekarang? Patutkah kesetiaan ini kujaga sedangkan engkau tak ada kabar? Hari demi hari kulalui dengan merajut asa, merajut rasa. Bunga Kamboja ini satu-satunya saksi, bahwa ia pernah terselip di telingaku. Kini ia kuanggap sebagai pengganti dirimu. Batu nisan ini, di makam ini dulu kita sering bertemu. Geliat ilalang, nyanyian seruling penggembala domba senantiasa mengiangatkanku akan dirimu, Kang. Pulanglah, pulanglah Kang. Lelah hati ini menunggu. Layu Kamboja ini karena terlalu lama menunggu percikan cintamu.”
Mentari pagi mulai muncul di ufuk timur. Semburat merahnya sungguh tampak indah bermain di sela awan yang berarak. Suara burung bernyanyi di pohon kamboja begitu meriah. Pohon Kamboja. Ternyata kayuhan sepeda Inem sudah sampai di dekat pekuburan. Sesampai di pekuburan, Inem pun sengaja berhenti sebentar untuk sekadar menengok tempatnya dulu bercengkerama dengan Bejo.
Tiba-tiba, dari arah belakang, ia mendengar sayup suaranya dipanggil orang.
“Ineemm…”
Inem segera menoleh, sesosok lelaki yang begitu dikenalnya tampak berlari-lari mendekatinya.
“Kang…”
Sepontan inem merobohkan sepedanya. Pun demikian dengan Kang Bejo. Ia spontan meletakkan kardus pembungkus pakaiannya di tanah. Keduanya berusaha berlari untuk dapat segera memeluk. Benar-benar bagai sebuah cerita sinetron di televisi. Keduanya saling memeluk. Tangis haru dan rindu tiba-tiba pecah. Bagai tak percaya dengan apa yang tengah dialaminya, Inem beberapa kali memandangi wajah Kang Bejo. Inem tidak yakin dengan dirinya. Mimpikah? Nyatakah? Dicobanya untuk mencubit lengannya. Benar. Berasa berasa sakit lengannya. Ini benar-benar terjadi. Bukan mimpi. Ia berharap kekasihnya itu datang membawa kabar baik bagi hubungan mereka.
“Kita akan segera menikah, Nem.”
“Iya, Kang.”
Angin berhembus lembut. Ilalang bergoyang. Beberapa bunga kamboja berguguran, menyambut bersatunya asa dan rasa antara Inem dan Bejo. Cinta yang tumbuh dalam kesederhanaan dan kesahajaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H