Mohon tunggu...
Shofwan Karim
Shofwan Karim Mohon Tunggu... Dosen - DR. H. Shofwan Karim Elhussein, B.A., Drs., M.A.

Shofwan, lahir 12 Desember 1952, Sijunjung Sumatera Barat. Suku Melayu. Isteri Dra. Hj. Imnati Ilyas, BA., S.Pd., M.Pd., Kons. Imnati bersuku Pagar Cancang, Nagari Balai Talang, Dangung-dangung, 50 Kota Sumbar. Shofwan, sekolah SR/SD di Rantau Ikil dan Madrasah Ibtidayah al-Hidayatul Islamiyah di Sirih Sekapur, 1965. SMP, Jambi, 1968. Madrasah Aliyah/Sekolah Persiapan IAIN-UIN Imam Bonjol Padang Panjang, 1971. BA/Sarjana Muda tahun 1976 dan Drs/Sarjana Lengkap Fakultas Tarbiyah IAIN-UIN Imam Bonjol Padang,1982. MA/S2 IAIN-UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1991. DR/S3 UIN Syarif Hidayatullah-UIN Jakarta, 2008.*

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Lima Langkah Preventif Radikalisme di Sumatera Barat

2 Mei 2022   19:58 Diperbarui: 2 Mei 2022   20:02 617
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Shofwan Karim (foto Dokpri)

Lima Langkah Pereventif Radikalisme

di Sumatera Barat

Oleh Shofwan Karim

 
Diskusi radikalisme hampir tak pernah berakhir.  Dari teori  filsafat,  berarti  akar tunggang dari konsep berfikir sampai kepada aksi yang berutal dan menghabiskan. Untuk yang kedua itu yang menjadi masalah besar.
 
Tinggalkan diskusi. Mari lihat kenyataan. Pernyataan Densus tentang 1125 orang ditengarai jaringan NII telah ada di Sumbar membuat nyali dan hati kita kecut.
 
Semua kajian terhadap testimoni Densus paling tidak direspon dengan tiga paradigma gugus pikir. Ini bisa dibaca dan di dengar dari pernyataan tokoh di media maupun diskusi terbatas di palanta dan ruang publik.
 
Pertama, pembelaan. Sumbar bukan  habitat radikalis dan terroris. Budaya Minang yang santun, arif-bijaksana, agamis, moderat dan tasamuh (toleran) bukanlah lahannya.
 
Kedua, stigma . Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) artinya adalah ciri negatif kepada pribadi seseorang karena pengaruh lingkungannya. Sumbar dengan etnis Minangkabau telah distigmalisasi oleh pihak tertentu. Jadi, apapun label negatif tepat untuk itu.
 
Ketiga, logika waspada. Bahwa ada provinsi lain yang selama ini juga sarang radikalisme, calon terroris, NII dan seterusnya mungkin saja masuk ke Sumbar. Oleh karena itu perlu secara logika harus diwaspadai dan diusahakan melakukan langkah preventif (pencegahan) dari pada hanya menanti tindakan kuratif (penangkapan) dan apalagi tindakan yuridis (hukum).
 
Pernyataan Gubernur Mahjyeldi di Media (Singgalang, 27/4/2022) agaknya masuk kategori ketiga pada paradigma tadi.
 
Tepatnya begini. Pertama, agar merespon cepat setiap adanya isu dan/atau indikasi adanya aktifitas yang mengarah kepada penanaman paham radikalisme di tengah masyarakat.
 
Kedua, agar lebih mengaktifkan peran Forkopimda beserta Forkopimcam dalam pengawasan dan pembinaan masyarakat, guna mengantisipasi adanya upaya-upaya dari segelintir oknum Warga Negara Indonesia yang berupaya menyebarkan paham radikal kepada masyarakat.
 
Ketiga, menghimbau dan mengajak masyarakat seperti niniak mamak, alim ulama, cadiak pandai, bundo kanduang dan parik paga nagari, untuk bersama-sama mencegah munculnya upaya-upaya penanaman paham radikal di tengah masyarakat ataupun sekelompok masyarakat.
 
Keempat, meningkatkan kewaspadaan di lingkungan masing-masing yang salah satu bentuknya adalah mengaktifkan lagi kewajiban lapor 2x24 jam bagi tamu/pendatang di sebuah lingkungan permukiman (jorong/RT).
 
Terakhir Kelima, melakukan sosialisasi melalui mass media dan forum-forum kemasyarakatan akan bahaya radikalisme terhadap kesatuan dan persatuan masyarakat.(104/107).
 
Bila dibaca permintaan Gubernur itu, sebenarnya pada sebagiannya merupakan repleksi yang selama ini sudah dilakukan . Mungkin saja belum sistematis dan optimal.
 
Coba lihat. Di tingkat pusat-nasional ada BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme). Di setiap provinsi ada FKPT (Forum Komunikasi Pencegahan Terorisme).
 
Apa bila ada yang punya anggapan agama menjadi sumber inspirasi radikalisme dalam berfikir dan mewaspadai timbulnya aksi kekerasan, intoleransi, gesekan internal dan atau antar umat Bergama, ada pula FKUBI (Forum Komunikasi Umat Beragama Indonesia).
 
Di situ duduk tokoh perorangan yang dianggap mewakili agama dan kelompok atau ormas agama internal agama-agama.
 
Dari lima pokok himbauan Gubernur, semuanya menunjukkan kewaspadaan tinggi. Dan ini termasuk paradigma ke-3 berfikir dan aksi seperti paragraf  di awal tulisan ini.
 
Tentu saja, seperti diminta Gubernur pada butir ke-empat, wajib lapor 2 x 24 Jam setiap tamu/pendatang kepada Jorong/RT, belum pernah terjadi sejak 50 tahun terakhir atau sejak peristiwa G30S PKI pertengahan dan  akhir pergantian tahun 60 ke 70.
 
Maka perlukah kita waspada kepada dunsanak yang pulang kampung (mudik) lebaran tahun ini? Mudah-mudahan mereka bukan dianggap tamu atau pendatang. Ini harus dicermati dengan sangat arif. Kecuali ada tanda-tanda mencurigai.
 
Bayangkan dari data yang diperkirakan media, 1,8 juta orang Minang akan pulang ke Sumbar pada lebaran tahun ini. Akibat wabah covid-19, dua tahun mereka memendam rindu sanak saudara dan kampung halaman. Kini meski masih ada syarat yang cukup, namun tidak ada larangan mudik seperti 2020-2021.
 
Himbauan Gubernur sudah tepat. Tinggal kita bersama melaksanakan dengan bijak. Allahu Akbar, wa lillah al-hamd. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun