Entah bagaimana menerjemahkan sesuatu bernama; rindu. Karena Plato bilang bahwa rindu merupakan aktivitas jiwa yang kosong. Lalu, Aristoteles bilang bahwa rindu adalah kebodohan insidentil yang menyerang kalbu yang kosong tanpa ada kesibukan memikirkan masalah perniagaan atau perindustrian.
Apa rindu harus diganti dengan kata lain?
Sebegitu hinakah sebuah kerinduan kepada ketiadaan? Memang, lain jika rindu itu dilayangkan pada sang pemilik ketiadaan. Lalu bagaimana mungkin berlepas diri dari rindu yang setiap hari mengakrabi? Jika disela-sela kesibukan apapun, rindu itu tetap ada?
Pasti ada ujungnya kerinduan itu pergi, pasti ada masanya. Akan ada senyuman tanda terima kasih atas rindu yang selalu mengakrabi, ia seperti melambai pada rindu dan berucap selamat jalan, jangan kembali tanpa memintanya datang lagi.
Meski hari ini rindu itu masih disini, tapi sepi mulai berangsur pergi. Hati ini bukan sebuah kota mati, maka sepi dipersilakan untuk pergi. Apapun yang terjadi hari ini, esok, lusa dan sampai suatu saat nanti pun langkah yang tertatih ini akan mampu menghadapi apapun. Apalagi jika hanya sekedar pertempuran hati.
Shofiyah Qonitat 01/09/2013
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H