Ketimpangan gender adalah isu yang terus relevan meski kita telah memasuki era digital. Di satu sisi, perkembangan teknologi membuka peluang baru bagi perempuan untuk berpartisipasi di ruang publik. Di sisi lain, patriarki justru menemukan bentuk baru dalam dunia maya, seperti melalui pelecehan siber (cyber harassment) dan stereotip gender. Dalam perspektif Kartini, tokoh emansipasi perempuan Indonesia, fenomena ini menuntut kritik mendalam dan aksi transformatif.
Kartini adalah pelopor gagasan kesetaraan gender di Indonesia. Dalam surat-suratnya yang terkumpul dalam Habis Gelap Terbitlah Terang, Kartini mengkritik sistem sosial yang membatasi perempuan hanya pada peran domestik. Ia memandang pendidikan sebagai alat utama untuk membebaskan perempuan dari belenggu patriarki.
Pandangan ini sejalan dengan teori kritis, yang berusaha membongkar dominasi dan ketidakadilan struktural dalam masyarakat. Teori kritis bertujuan untuk:
Mengungkap Ideologi Dominan: Mengidentifikasi bagaimana nilai-nilai patriarkal tetap bertahan.
Membongkar Ketimpangan Struktural: Menyoroti hambatan sistemik yang menghalangi perempuan untuk maju.
Mendorong Transformasi Sosial: Mengupayakan perubahan melalui pendidikan dan kesadaran kritis.
Fenomena Sosial: Ketimpangan Gender di Dunia Digital
Era digital membawa perubahan signifikan dalam kehidupan sosial dan budaya. Namun, perempuan sering menghadapi berbagai bentuk diskriminasi baru di dunia maya. Berikut adalah beberapa contoh ketimpangan gender yang relevan:
Akses terhadap teknologi menjadi tantangan besar, terutama bagi perempuan di daerah terpencil. Kurangnya pendidikan teknologi memperburuk marginalisasi ini.
Dalam pandangan Kartini, pendidikan adalah kunci emansipasi. Literasi digital menjadi penting untuk memastikan perempuan dapat berpartisipasi penuh dalam masyarakat digital.
Banyak perempuan menjadi korban pelecehan berbasis gender di media sosial, seperti body shaming, ancaman, hingga penghinaan.
Kartini mengkritik budaya yang merendahkan perempuan melalui narasi stereotip. Dalam perspektif kritis, pelecehan ini adalah manifestasi baru dari patriarki yang perlu diatasi melalui regulasi dan edukasi.
Media sosial sering memperkuat standar kecantikan yang tidak realistis, membebani perempuan secara emosional dan psikologis.
Kartini menyerukan agar perempuan mengenali nilai diri mereka di luar kerangka yang ditentukan oleh masyarakat patriarkal.
Untuk mengatasi ketimpangan ini, kita dapat mengambil inspirasi dari semangat Kartini dan pendekatan teori kritis:
Literasi digital harus menjadi bagian dari kurikulum formal dan informal untuk meningkatkan kemampuan perempuan dalam menggunakan teknologi.
Perempuan perlu didorong menjadi produsen konten, bukan hanya konsumen.
Penguatan Regulasi terhadap Kekerasan Digital
Regulasi yang lebih ketat diperlukan untuk menekan pelecehan di dunia maya.
Kampanye kesadaran publik dapat membantu mengubah budaya masyarakat dalam memandang perempuan.
Membangun Solidaritas Perempuan
Komunitas perempuan di dunia maya dapat menjadi ruang untuk saling mendukung dan berbagi pengetahuan.
Media digital dapat dimanfaatkan untuk menyuarakan isu-isu ketimpangan gender dan memperkuat solidaritas.
Ketimpangan gender di era digital menunjukkan bahwa perjuangan kesetaraan belum selesai. Dengan menggali pemikiran Kartini dan memanfaatkan teori kritis, kita dapat mengidentifikasi akar masalah serta merumuskan langkah-langkah strategis untuk perubahan. Pendidikan, regulasi, dan solidaritas adalah kunci untuk menciptakan ruang digital yang lebih inklusif dan setara.
Sebagai masyarakat modern, kita memiliki tanggung jawab untuk melanjutkan perjuangan Kartini. Di era digital ini, perempuan harus diberikan akses yang setara untuk berkembang, berpartisipasi, dan bersuara. Seperti yang pernah Kartini tulis, "Gelanggang baru sedang terbentang, dan kita semua dipanggil untuk mengisinya."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H