PARADIGMA BUDAYA LOKAL DAN KUALITAS PENDIDIKANÂ
 by: shofi miftahul janah
Dewasa ini, kontribusi kebudayaan terhadap pendidikan di Indonesia dinilai sangat besar. Karena pada dasarnya, tidak ada proses pendidikan tanpa kebudayaan dan tanpa adanya masyarakat, dan begitu pula sebaliknya, untuk menjalankan perubahan kebudayaan, diperlukan pendidikan. Cara pandang, sikap, perilaku dan kebiasaan individu atau sub kultural kelompok memfungsikan dirinya sebagai penyedia tranmisi budaya dan memberikan kewenangan kepada masyarakat untuk berkembang secara baik. Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam dunia pendidikan, faktor budaya menjadi faktor yang menentukan tingkat keberhasilan dan kualitas.
Faktor budaya ini berkaitan dengan kultur masyarakat yang berupa paradigma atau persepsi / cara pandang, adat istiadat, dan kebiasaan. Jhon Locke, seorang ahli filsafat Inggris pada tahun 1632-1704 mengatakan bahwa anak lahir seperti kertas putih yang belum mendapat coretan sedikitpun. Akan dijadikan apa kertas itu terserah kepada yang menulisnya. Seluruh perkembangan hidupnya sejak lahir sampai dewasa semata-mata ditentukan oleh faktor luar atau faktor lingkungan, seperti lingkungan keluarga dan masyarakat.
Menurut penelitian Firdaus (2005) menyebutkan bahwa rendahnya minat orang tua untuk melanjutkan pendidikan anaknya ke Sekolah Menengah Pertama disebabkan: Pertama, faktor sosial budaya sebesar 87,3%. Kedua, faktor kurangnya biaya pendidikan (ekonomi tidak mampu) diperoleh sebesar 86,0%. Ketiga, faktor kurangnya tingkat kesadaran orang tua akan pentingnya pendidikan (faktor orang tua) diperoleh sebesar 59,1%. Keempat, letak geografis sekolah sebesar 50,8%.
Menilik dari hal itu, dapat dikatakan bahwa budaya sendiri berpengaruh terhadap paradigma masyarakat ‘yang berpikiran sempit’ bahwa pendidikan formal tidak begitu penting. Imbasnya, banyak daerah – daerah di Indonesia terutama di desa-desa atau pelosok daerah yang masyarakatnya tidak mengecam bangku sekolah. Rendahnya minat masyarakat untuk mengenyam pendidikan formal ini sangat memprihatinkan. Meskipun pemerintah telah melakukan berbagai solusi, antara lain sosialisasi, mencanangkan wajib belajar 9 tahun, pemberian beasiswa, dll , namun kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan dinilai masih kurang.
Padahal seperti diketahui bahwa melalui pendidikan, kepribadian individu dapat diukur dari aspek afektif, kognitif dan psikomotorik. Pendidikan formal akan membentuk seseorang menjadi individu yang dapat bersaing di era globalisasi dengan bekal pengetahuan, ilmu, ketrampilan dan keahlian. Melalui pendidikan pula, masyarakat diharapkan dapat beralkuturasi, belajar nilai-nilai, konsep dan perilaku sebagai sebuah kebudayaan. Dengan pendidikan dan pengalaman intelektualnya tersebut diharapkan individu dapat memanfaatkannya sebagai sarana untuk memperbaiki kualitas hidup, khusunya tingkat ekonominya.  Untuk itu, pendidikan harus didasari oleh pemikiran bahwa setiap individu mempunyai bibit atau bakat potensial yang wajib dikembangkan.
Namun tidak dapat dipungkiri bahwa asumsi sebagian masyarakat tersebut tidak dapat disalahkan mentah-mentah karena pada realita’nya banyak juga lulusan sarjana yang menganggur. Meningkatnya jumlah pengangguran tiap tahun, sikap individualisme, materialistik yang sangat menganggap uang adalah segalanya, mentalitas jalan pintas untuk mempertahankan hidup, menjadi cerminan pola hidup yang tengah berkembang pada masyarakat sekarang.
Adapun penyebab hal tersebut adalah paradigma masyarakat yang menganggap bahwa uang adalah segalanya, mengakibatkan sebagian oknum melakukan berbagai cara demi mengejar kekuasaan dan kekayaan. Dan disisi lain,kita dihadapkan pada realita bahwa banyaknya orang yang berpendidikan yang menganggur. Hal ini semakin menimbulkan kesenjangan ekonomi yang tinggi dalam masyarakat. Dimana yang kaya semakin kaya, dan jumlah orang miskin semakin bertambah banyak. Maka tak jarang jalan pintas pun banyak dilakukan. Imbasnya pun dirasakan oleh masyarakat sendiri dengan tidak berkembangnya negara, tidak ada peningkatan perekonomian, namun yang ada adalah bertambahnya tingkat kriminalitas, tingkat pengangguran dan jumlah masyarakat yang tidak mengenyam bangku sekolah. Hal ini sungguh mencerminkan kebobrokan mental masyarakat yang memprihatinkan.
Berikutnya permasalahan dalam budaya politik perlu diperbaiki. Dimana pemerintah selama ini cenderung terlihat terlena dengan permasalahan jangka pendek dan permasalahan politik yang muncul. Mengutamakan kepentingan sendiri atau kelompok sendiri dibanding kepentingan masyarakat luas dan negara. Pemerintah terkesan kurang mengedepankan rencana jangka panjang guna memajukan bangsa, salah satunya adalah pendidikan. Dimana pendidikan disini sangat penting dalam berkembangnya suatu negara.
Lepas dari hal itu, secara luas kita masih mempunyai nilai budaya yang baik untuk dikembangkan. Seperti norma-norma, estetika alam, solidaritas, nilai kegotongroyongan, semangat berjuang, serta persatuan bangsa walaupun terdiri dari berbagai perbedaan adat. Seperti diketahui bahwa pada jaman penjajahan dulu, pendidikan adalah sesuatu yang sangat diidam – idamkan. Dimana untuk mendapatkan pendidikan, kita harus berjuang keras. Kegotongroyongan dan semangat juang yang tinggi demi bangsa inilah yang patut kita gali lagi dan kembangkan. Semangat pantang menyerah ini jugalah yang wajibnya kita tiru dan lestarikan dalam kehidupan kita.