Hamparan padang luas terbentang tanpa batas. Sejauh mata memandang, seluruh penjuru mata angin menampilkan dorama sabana raksasa. Musim hujan merajah gurat-gurat hijau di tanah cokelat tandus yang biasanya lapang oleh semak-semak kering. Puluhan kuda berkumpul di bawah pepohonan rindang nun jauh di sana. Berderet-deret pula ternak besar nan gagah di ruas-ruas jalan, bebaris di aspal tebal. Berkelompok-kelompok sapi, kerbau, kuda, kambing, domba, hingga rusa tumpah ruah di dorama ini. Berkeliaran menyatu di alam. Bebas.
“Shofi, bangun. Ini Ndoro Canga!” Riri menyentuh bahu saya pelan. Perjalanan dari kaki gunung Tambora menuju Bima Timur yang sudah ditempuh sekitar 4 jam melelapkan kami. Saya beringsut terkesima, mengintip dari kaca mobil, melepaskan rompi hijau lumut yang sepanjang perjalanan tersemat di badan saya. Rompi Indonesia Mengajar.
Saat itu adalah suatu sore di akhir Januari 2015, salah satu momen yang saya rekam lekat-lekat di ingatan dalam kunjungan saya selama dua minggu dalam kapasitas sebagai Program Officer Yayasan Gerakan Indonesia Mengajar ke Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat. Di dalam istilah monitoring dan evaluasi, kami menyebutnya sebagai site visit, yaitu kunjungan ke daerah penempatan Pengajar Muda.
“Rasanya seperti bebas,” gumam Riri. Ia masih mengenakan rompi hijau yang sama.
“Iya. Bebas.” Saya mengamini.
Meski sudah 7 bulan ditempatkan di Kabupaten Bima, Riri juga sama seperti saya yang baru pertama kali melewati Ndoro Canga. Desa penempatan Riri, Karumbu, di Kabupaten Bima timur secara geografis memang jauh dari Tambora yang cenderung lebih dekat ke Kabupaten Dompu.
Riri adalah salah satu dari 9 Pengajar Muda yang ditempatkan di Bima. Satu dari 9 orang prajurit yang ceritanya saya simak secara berkala. Menjadi seorang Trustee atau hub untuk mereka yang berada di daerah dengan kantor Indonesia Mengajar di Jakarta merupakan sebuah tantangan, juga kehormatan bagi saya yang notabenenya baru pertama kali mengemban tugas ini. Sebuah hubungan jarak jauh yang melibatkan multiaktor, misi berkelanjutan, dan jarak yang tidak hanya serentang batas geografis, tetapi juga peradaban.
Kabupaten Bima merepresentasikan semua kontur bumi yang ingin kita bayangkan. Perjalanan awal ke Bima bagian timur dimulai dari Paradowane yang merupakan dataran tinggi, dilanjutkan ke Laju dan Karumbu yang berada di wilayah pesisir pantai. Tim saya yang beranggotakan 5 orang Pengajar Muda Bima menempuh jalan darat yang berkelok-kelok dan melewati danau besar yang sering disinggahi pemuda untuk bercengkrama. Di saat yang bersamaan, satu orang site visitor lain, Dimas Sandya selaku Deputy Program Manager dan 4 orang Pengajar Muda lainnya mengunjungi Sape yang harus menyebrang dulu dengan kapal kecil untuk sampai ke seberang sana, dan Baku yang menyertakan perjalanan medan berat dengan motor untuk mempertahankan keseimbangan di jalanan kerikil yang curam dan licin.
Beranjak ke Tambora, saya teringat sebuah cerita tentang sebuah gunung di Sumbawa yang pernah meluluhlantakkan dunia. Dua abad lalu, tepatnya pada 10 April 1815, erupsi dahsyat Gunung Tambora yang tercatat sebagai salah satu letusan gunung berapi terbesar dalam sejarah ini konon membumihanguskan Kerajaan Sanggar, Kerajaan Tambora, dan Kerjaaan Pekat yang saat itu menguasai wilayah tersebut. Puluhan ribu jiwa tewas, disapu awan panas dan wabah penyakit yang berkepanjangan. Iklim dunia ikut berubah. Erupsi Tambora membuat langit mendung, lapis abunya menghalangi sinar matahari. Setahun setelah itu pun, krisis produksi ternak dan pangan sudah sampai Eropa. Pertanda bahwa di alam semesta, tidak ada yang benar-benar terputus rantainya.
Sebab itu, kali ini saya benar-benar memindai lanskap yang tersaji. Menikmati aspal lurus panjang yang padanya kendaraan lewat hanya sesekali. Merilekskan raga dari pegal badan yang menyangga tas backpack 30 L sejak berpindah-pindah tempat selama berhari-hari. Meresapi setiap cercah matahari sore yang semburatnya muncul dari balik gunung-gunung landai yang memagari padang sabana ini.
Sabana yang tak ada di pulau Jawa.