Clungup Mangrove Conservation (CMC) adalah destinasi Ekowisata yang terletak di Kawasan Pantai Clungup, kabupaten Malang, tepatnya di daerah konservasi Sendang Biru, Desa Tambakrejo. Ekowisata ini dikelola oleh kelompok masyarakat bernama 'Bhakti Alam Sendang Biru', dikoordinasi oleh Bapak Saptoyo. Kelompok atau Lembaga Masyarakat Konservasi Bhakti Alam Sendang Biru secara konsisten melakukan kegiatan konservasi kawasan mangrove pesisir pantai dan mengelola kawasan tersebut untuk tujuan wisata terbatas. Model pengelolaan CMC tetap mempertimbangkan prinsip ekologis wilayah atau dikenal dengan ecotourism (ekowisata). Pemanfaatan lahan konservasi ini didasarkan pada asas manfaat ekonomi dan pemberdayaan masyarakat lokal sekitar area konservasi.
Salah satu contoh pemanfaatan lahan konservasi yaitu dibangunnya rumah kompos, yang memproduksi pupuk organik, untuk kebutuhan petani. Hal ini merupakan upaya penanggulangan dari ketidakramahan petani terhadap tanah yang mereka kerjakan. Karena ketika setelah memberikan obat ke tanaman, baik obat rumput atau pestisida, botol yang mereka gunakan digantung ke batang pohon, dengan tujuan untuk memberikan informasi kepada peternak kambing, agar tidak menggunakan rumput tersebut sebagai pakan ternak. Selain itu, hal ini dapat mengganggu wisatawan yang berkunjung ke CMC.
Tanah yang sehat adalah tanah yang memiliki banyak organisme. Organisme akan merombak daun-daun kering menjadi makanan untuk tumbuhan. Yang sebenarnya prosesnya cukup lama, tetapi tanah tersebut sehat. Sebaliknya, apabila tanah terpapar banyak bahan kimia, mikroorganisme yang ada didalam tanah akan mati, dan menyebabkan tanah tersebut tandus. Tumbuhan akan bergantungan dengan pupuk kimia,pupuk urea atau pupuk Mpk.
Dibangunnya rumah kompos ini, agar petani dapat membeli, bahkan meminjam alat untuk membuat pupuk organik. Para petani disini juga memiliki filosofi bahwa rumput yang mereka berikan ke ternak, yang kemudian menjadi kotoran dikembalikan lagi ke lahan untuk dijadikan pupuk. Namun, terdapat permasalahan ketika memproduksi, karena pupuk dari kotoran kambing sulit untuk terurai bahkan sudah melalui tahan fermentasi.
Kami sudah mencoba selama 4 bulan untuk memfermentasi kotoran tersebut, namun tetap tidak bisa hancur. Kotoraannya masih utuh, tetapi ketika dipegang lebih mudah hancur” ujar Mas Arik, selaku pemandu dan penduduk CMC.
Tantangan para petani adalah saat pengaplikasian kotoran yang langsung ke tanah, ketika hujan kotoran tersebut akan menggelinding ke tempat lain, dan tidak tepat sasaran. Meskipun sifat kotoran kambing di ilmu pertanian memiliki nutrisi yang berjangka panjang, namun kotoran tersebut akan sulit terurai, dan memberikan nutrisi yang bertahap kepada tumbuhan. Maka dari itu Lembaga Masyarakat Konservasi Bhakti Alam Sendang Biru, membangun rumah kompos yang menyediakan alat pencacah kotoran. Sehingga kotoran dari kambing milik peternak, dapat diolah menjadi pupuk, dan para petani hanya membayar sewa alat saja.
Tujuan di bangunnya rumah kompos tersebut, untuk mengembalikan kesuburan tanah yang ada di lahan sekitar kawasan CMC. Lembaga ini belum menginovasi untuk kawasan luar CMC, karena untuk mencukupi kawasan CMC sendiri masih kekurangan.
“Tetapi apabila ada kelompok lain yang ingin mencontoh itu, kami sangat terbuka, karena hal ini juga termasuk mitigasi bencana alam. Karena apabila tanah ini tetap memakai pupuk kimia, apabla saat hujan, tanah akan gampang longsor.” ujar Mas Arik.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI