Mohon tunggu...
shofia amalia sholihah
shofia amalia sholihah Mohon Tunggu... The Student of Humanity Faculty -

Mahasiswa bahasa dan Sastra Arab UIN Malang, Penyuka biru, Penikmat Coklat, Kartun Larva, Hobby Membaca, Suka jalan-jalan

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Menyeruput Minuman Tradisional: Manis Pahit Kopi 'Utek'

12 Februari 2019   00:26 Diperbarui: 12 Februari 2019   19:09 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jika kemarin saya telah membahas tentang makanan khas Banyuwangi. Maka kali ini saya akan sedikit membahas tentang minuman khas banyuwangi yang tak kalah khasnya. Kebiasaan menyeruput kopi atau minuman hangat, biasanya dilakukan saat pagi hari, begitupun juga di masyarakat desa banjar. 

Pagi sebelum memulai aktifitas, masyarakat banjar menyempatkan meminum kopi. Munculnya tradisi minum kopi di desa banjar disebabkan karena banyaknya pohon kopi yang tumbuh disekitar rumah. Jarak rumah yang jauh dari kota membuat Masyarakat desa banjar, Kecamatan Licin, Kabupaten Banywangi mengolah kopinya sendiri, terkhusus untuk dikonsumsi sendiri. 

Selain kopi, masyarakat banjar ada juga yang berprofesi sebagai petani gula aren atau penyadap nira karena desa banjar yang banyak ditumbuhi pohon aren. Terlebih, Keistimewaan pohon aren yang tidak selalu bisa tumbuh dengan sempurna atau bahkan bisa tidak bisa tumbuh sama sekali apabila ditanam dengan sengaja.

Dari kedua hasil bumi itulah masyarakat banjar kemudian melakukan inovasi dengan menyandingkan kopi yang telah diolah masyarakat sendiri alias kopi pahit dengan manisnya gula nira. Terdapat cara unik untuk meminumnya yaitu dengan cara menggigit gula aren terlebih dahulu kemudian baru kopi panas diseruput. sehingga, pahitnya kopi dan manisnya nira akan bertemu sat masih didalam mulut.

"Nama kopi utek ini diambil dari kata 'utek-utek' yang berarti membuat gula aren tanpa cetakan" Ujar Pak lukman, Ketua adat Desa Banjar. Karena orang dahulu  meminum kopi yang disanding dengan gula aren yang dibuat tanpa cetakan, sehingga dinamakanlah Kopi Utek.

Masyarakat banjar biasanya menjadikan kopi utek sebagai suguhan untuk para tamu. Namun, seiring banyaknya penikmat kopi utek. Saat ini kopi utek sudah mulai dikenalkan melalui acara-acara festival kebudayaan dan lainnya. Namun, dengan berjalannya waktu masyarakat banjar pun berusaha untuk semakin mengembangkan inovasi untuk menyajikan kopi utek. 

"Kami berusaha untuk menciptakan semacam saung/ stand untuk menyajikan kopi utek, sehingga wisatawan yang berkunjung dapat merasakan rasa khas kopi utek yang tidak bisa dijumpai dimanapun" Ulas pak lukman kembali. 

Menurut tuturannya, kopi Utek sempat akan dikemas praktis, namun karena gula aren yang sifatnya mudah mencair dan juga berbagai kendala lainnya. Akhirnya, pengemasan praktis itu tidak jadi dilakukan dan tetap mempertahankan cara penyajian seperti biasanya, yaitu kopi panas dan bongkahan gula aren.

Tertarik Untuk Mencoba?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun