Kebenaran selama itu datang dari manusia masih bersifat subjektif, sepahaman saya dari quote Imam Syafi'i "Pendapatku benar tapi mungkin juga salah, Pendapat orang lain salah tapi mungkin juga benar". Sesederhana itu untuk mengisyaratkan bahwa merasa paling benar adalah awal kekeliruan, merasa paling benar sendiri adalah kekeliruan yang lain. Menjadi kompleks ketika kemudian memaksakan kehendak orang lain harus sama seperti apa yang diinginkan, yang justru akan mempersempit 'ruang' untuk diri sendiri. Tanpa disadari akan kehilangan jati diri, sifat tawadhu' dan lupa bahwa hakikat manusia adalah hamba.Â
Hamba dengan segala kekurangannya ini lah oleh "sang tuan" diberikan job desk yang berbeda sesuai dengan kemampuan masing-masing dengan tujuan agar sesama hamba saling membantu, menyadari akan kekurangan masing-masing hingga akhirnya saling berinteraksi dalam kehidupan sosial. Kini, hamba "sang tuan" sering lalai. Lalai akan ke-hamba-annya, lalai akan job desk yang diberikan, lalai akan kekurangan dan kelemahan yang dimiliki karena merasa paling dekat dengan "sang tuan", merasa paling memahami akan setiap perintah tertulis yang telah diberikan, merasa paling benar dalam setiap tindakan yang dilakukan. Hingga pada fase tertentu akan merasa menjadi 'sang hamba', mengkultuskan diri memiliki hak paten untuk mengoreksi hamba-hamba yang lain.
Inilah yang kemudian di interpretasi melalui pepatah jawa "wong jowo ilang jowone" yang secara sederhana dapat diartikan bahwa orang jawa yang kehilangan jati diri sebagai orang jawa, bertutur kata lembut, penuh sopan santun, menjunjung tata krama. Dari sini bukan hanya sekedar bagaimana cara berinteraksi sosial dengan orang yang lebih tua, sesama dan yang lebih muda melalui bahasa yang digunakan (ngoko, krama madya, krama inggil). Namun, lebih kepada pandangan-pandangan hidup yang mulai luntur. Seperti dalam pribahasa jawa "Sugih tanpa Bandha, Digdaya tanpa Aji, Nglurug tanpa Bala, Menang tanpa Ngasorake". Secara harafiah dapat diartikan: Kaya tanpa Harta, memiliki Kesaktian tanpa Ilmu/benda pusaka, Menyerang tanpa bala Pasukan, Menang tanpa Merendahkan.Â
Pandangan hidup untuk Menang tanpa Merendahkan orang lain ini lah yang sekarang menjadi komoditi langka, bagaimana tidak jika saat ini yang terjadi adalah sebaliknya. Demi mencapai sebuah tujuan sesaat harus dengan cara merendahkan orang lain, demi apa yang diinginkan seorang hamba harus merendahkan hamba-hamba yang lain. Jika boleh di gambarkan, bahwa seolah hamba tersebut berbicara kepada "sang tuan":
"wahai tuan, tuan ini salah menjadikan hamba-hamba ini menjadi hamba-Mu, apakah tuan tidak melihat segala kekurangannya? tuan keliru dalam memberikan job desk  mohon ditinjau ulang tuan, bukankah saya yang lebih pantas untuk job tersebut??"
tata krama yang telah hilang dari seorang hamba kepada "sang tuan", nafsu sesaat hamba yang merasa menjadi 'sang hamba', seorang hamba yang telah kehilangan marwah-nya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H