Tahun 1991 untuk pertama kalinya Huntington mempublikasikan gagasannya tentang transisi demokrasi dalam bentuk buku yang ia beri judul “The Third Wave Democratization in the Late Twentieth Century”. Dalam bukunya itu Huntington menggambarkan proses transisi demokrasi yang terjadi sepanjang kurun sejarah negara-negara modern dengan mengambil sampel terutama 35 negara dalam studi kasus gelombang demokratisasi ketiga.
Huntington membagi transisi demokrasi dalam sejarah modern ke dalam tiga periode: Gelombang pertama terjadi di Eropa, Amerika Serikat, Argentina dan beberapa negara jajahan Inggris antara awal abad XIX dan XX. Gelombang kedua transisi demokrasi terjadi setelah Perang Dunia II hingga awal 1960-an di bekas-bekas jajahan dan di Jerman, Italia, dan Jepang. Gelombang ketiga transisi demokrasi terjadi pada akhir 1960-an dan awal 1970-an termasuk di dalamnya Indonesia. Gelombang ketiga demokratisasi ini dalam pandangan Huntington menyapu hampir semua belahan dunia kecuali negara-negara Amerika Latin yang sebagain besar kembali ke bentuk pemerintahan otoriter.
Secara kalkulatif, transisi demokrasi tahun 1975 ditandai 69 persen negara-negara di dunia berezim otoriter, dan hanya 24 persen termasuk demokrasi liberal. Tahun 1995, perbandingan berubah menjadi 26 persen otoriter, 48 persen liberal. Dengan demikian, dalam dua dekade terjadi perubahan dua kali lipat negara-negara yang mengembangkan demokrasi liberal. Dalam dua dekade itu, satu dekade sendiri, antara tahun 1980-an dan 1990-an terdapat 81 negara yang mengambil langkah signifikan menuju demokrasi.
Huntington memulai studinya dengan mengidentifikasi lima trend perubahan di dunia yang menyiapkan jalan bagi lahirnya gelombang transisi ketiga menuju demokrasi:
- mendalamnya permasalahan legitimasi pemerintah otoriter yang tidak mampu untuk mengatasi kekalahan militer di satu sisi, dan kegagalan pembangunan ekonomi di sisi lainnya.
- perkembangan ekonomi di banyak negara-negara yang mampu meningkatkan standard hidup, tingkat pendidikan, dan urbanisasi, juga meningkatnya ekspektasi dan tuntutan publik terhadap pemerintahnya yang diiringi dengan keberanian untuk menyatakan.
- perubahan di dalam institusi religius yang mendorong mereka untuk cenderung lebih menentang otoritarianisme yang dilakukan oleh pemrintahnya ketimbang mempertahankan status quo.
- desakan untuk mempromosikan demokrasi dan hak azasi manusia oleh aktor eksternal seperti yang rajin disuarakan mulai oleh akademisi, Lembaga Swadaya Masyarakat, kelompok-kelompok mahasiswa sampai komunitas-komunitas pro-demokrasi di berbagai belahan dunia terutama Eropa.
- meningkatnya intensitas komunikasi internasional sehingga sedikit banyak mendorong lahirnya efek “bola salju” dari proses demokratisasi yang terjadi di negara lain.
Berikutnya, Huntington mengajukan model proses perubahan yang mungkin terjadi dalam konteks demokratisasi di suatu negara. Ia menciri empat jenis transisi:
1.Transformasi seperti yang terjadi di Spanyol, India, Hungary, dan Brazil dimana elite yang berkuasa memelopori upaya demokratisasi.
2.Replacement seperti yang dialami oleh Jerman Timur, Portugal, Romania, dan Argentina di mana kelompok oposisi memelopori upaya demokratisasi
3.Transplacements seperti yang terjadi di Polandia, Cekoslovakia, Bolivia, dan Nicaragua; di mana demokratisasi terjadi dari tindakan bersamaatau joint action antara kelompok oposisi dan pemerintah.
4.Intervensi seperti yang dialami oleh Grenada dan Panama di mana institusi demokratis lahir melalui paksaandari kekuatan luar.
Secara lebih empirik, Huntungton melihat bahwa demokratisasi atau transisi menuju demokrasi di suatu negara mensyaratkan adanya tiga hal, yakni:
- berakhirnya rezim otoriter,
- dibangunnya rezim demokratis,
- konsolidasi rezim demokratis.
Tampak sekali bahwa Huntington menempatkan demokrasi dan demokratisasi pada posisi yang saling berhadap-hadapan dengan sistem politik yang otoriter. Dengan cerdas Huntington meletakkan variabel evaluasi terhadap demokratisasi dengan melakukan perbandingan antara dua kecendrungan sistem politik yang bertentangan secara diametral itu. Dalam hal ini, secara empirik kita dikondisikan oleh Huntington untuk melihat “kebajikan” dari demokratisasi dengan mengaitkannya dengan pengalaman di bawah bayang-bayang otoritarianisme.
Huntington juga mendiskusikan berbagai aspek stabilisasi demokrasi dan prospek konsolidasi di negara yang sedang berada dalam masa transisi demokrasi. Ia menguraikan secara singkat sejumlah kondisi-kondisi yang mampu menyokong konsolidasi demokrasi:
- Pengalaman demokratisasi yang pernah dilakukan sebelumnya, sekalipun itu gagal.
- Pembangunan ekonomi yang lebih tinggi.
- Lingkungan internasional yang mendukung.
- Transisi menuju demokrasi sebaiknya terjadi secepat mungkin dan melibatkan masyarakat secara keseluruhan mengingat demokratisasi tertama lahir dari kecenderungan dan dorongan onternal dibandingkan tekanan atau pengaruh dari luar.
- Pengalaman untuk melakukan perubahan secara damai dan tidak dengan menggunakan kekerasan.
Dalam bukunya itu, setelah menguraikan optimismenya tentang gelombang ketiga demokratisasi di dunia, Huntington berubah menjadi kurang optimis dengan prospek demokratisasi di beberapa negara semisal Mongolia, Sudan, Pakistan, Nicaragua, Romania, Bulgaria, Nigeria, dan El Salvador. Bahkan ia cenderung pesimis terhadap prospek demokratisasi terutama di negara-negara yang dikenal sebagai pengikut ajaran marxisme-leninisme. Huntington juga tidak menyembunyikan keraguannya terhadap masa depan demokratisasi di negara-negara Islam dan di beberapa negara Asia Timur sebagai akibat beberapa doktrin Islam dan konfusianisme yang dalam pandangannya cenderung bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi.
Demokrasi Satu Wajah
Meskipun harus diakui bahwa demokratisasi memang lebih baik dibandingkan dengan otoritarianisme, namun tetap saja gagasan Huntington tentang gelombang ketiga demokratisasi harus kita terima kritis namun tetap objektif dan terbuka.
Seperti telah disinggung di muka, Huntington dengan tegas memperbandingkan demokrasi dengan otoritarianisme. Perbandingan ini tentu cerdas namun sedikit banyak secara konseptual menciptakan kondisi yang menggiring kita untuk “mensyukuri” demokratisasi yang lahir menggantikan rezim otoritarian. Menumbangkan rezim otoritarian memang sebuah capaian positif yang bahkan dalam konteks sebagai sebuha bangsa pernah dialami Indonesia pada 1965 dan 1998. namun persoalan selanjutnya justru terletak pada konsolidasi dan pilihan demokrasi yang selanjutnya akan di bangun di atas reruntuhan puing otoritarianisme.
Secara eksplisit Huntington memang tidak menyebutkan model demokrasi yang harusnya diterapkan setelah terjadinya transisi demokrasi. Ia bahkan terlihat cenderung mengajukan tesis demokrasi dalam artinya yang universal, atau secara lebih konkrit kita dapat menarik hipotesa bahwa Huntington menyodorkan konsep “democracy without adjectives”.
Kata sifat yang biasanya kita temukan di belakang istilah demokrasi, tidak dapat dipungkiri,memang seringkalidigunakan oleh penguasa sebagai terminologi yang menyesatkan bahkan tampak dibuat-buat untuk sekedar membungkus praktik otoritarianisme dengan selubung demokrasi. Istilah Demokrasi Pancasila yang digembar-gemborkan oleh Soeharto semasa masa kekuasaannya kiranya dapat dijadikan contoh betapa kata sifat di belakang demokrasi dapat saja berkonotasi buruk bahkan secara praktis bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi itu sendiri.
Namun meski demikian, menarik demokrasi dalam ruang yang lebih makro dan universal juga dapat memberikan konsekwensi yang tidak kurang berbahaya. Universalisasi terhadap terminologi demokrasi secara implisit dapat dimaknai sebagai upaya membawa demokrasi dalam konteks persaingan politik dan ideologi di tingkat internasional. Negara manapun yang memiliki kekuasaan dan kontrol yang lebih kuat terhadap konstelasi dunia tentu dapat diramalkan juga akan memenangkan persaingan dalam memberikan makna terhadap universalitas demokrasi.
Keadaan ini sedikit banyak dialami oleh konsepsi “democracy without adjectives” yang ditawarkan oleh Huntington. Konsep demokrasi yang dibiarkan mengambang pada gilirannya dimonopoli oleh negara-negara super power di benua Eropa disamping tentunya Amerika Serikat. Sayangnya negara-negara yang memegang monopoli kekuasaan terhadap penafsiran demokrasi itu secara terang-terangan telah memproklamirkan dirinya sebagai demokrasi liberal. Kejadian ini pada akhirnya memberikan gambaran pahit bagi semua masyarakat dunia betapa makna demokrasi yang dibiarkan mengambang dalam universalitas pada akhirnya justru kembali terjerembab dalam telikungan demokrasi liberal.
Berakhirnya perang dingin yang menandai jatuhnya blok sosialis di bawah komando UniSovyet pada awal dekade 90-an ternyata memberikan konsekwensi yang sangat besar bagi keseimbangan politik dunia. Negara-negara liberal seolah menjadipemain sekaligus penguasa tunggal dalam percaturan politik dunia. Deklinasi ideologi sosialisme itu kemudian ditafsirkan oleh beberapa futurolog dengan cara yang relatif serupa. Sebut saja Fukuyama dengan tesisnya “The End of History” atau Daniel Bell dengan “The End of Ideology” yang secara umum keduanya cenderung melihat ideologi liberal dalam hal ini “demokrasi liberal” yang berinduk pada kapitalisme sebagai bentuk ideologi akhir dan sekaligus juga merupakan formasi terakhir dalam sejarah perkembangan masyarakat.
Jika kecenderungan demokrasi universal model Huntington kita letakkan dalam frame analisa kedua teori di atas, maka dapat disimpulkan bahwa demokrasi universal dalam pikiran Huntington adalah demokrasi liberal.
Lebih lanjut dalam analisisnya, Huntington menyebutkan bahwa Islam dan Konfusianisme merupakan dua tipikal ideologi yang sangat sulit menerima atau bahkan dapat mengancam eksistensi demokrasi liberal. Tesis ini diajukannya dengan beralasan pada karakteristik nilai-nilai yang saling berbeda antara demokrasi liberal dengan nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran Islam dan Konfusianisme.
Dalam menjawab tudingan ini, Robert W. Hefner dengan cukup jitu menunjukkan betapa sesungguhnya Islam dan Konfusianisme telah memberikan sumbangan yang tidak kecil artinya dalam perkembangan nilai-nilai demokrasi. Hefner bahkan melihat bahwa demokrasi ternyata beresonansi dengan nilai-nilai terdalam dari Islam dan Konfusianisme. Ia berpendapat bahwa pembentukan tatanan masyarakat sipil yang demokratis akan sangat bergantung pada sejauh mana kepercayaan masyarakat terhadap konstruksi ideal bagi zaman yang sedang dihadapinya. Kepercayaan tentang konstruksi idela itu dalam pandangan Hefner sama sekali tidak berkaitan dengan asal-usul oksidental dari nilai universalisme demokrasi.
Melalui pendapatnya Hefner menegaskan bahwa proposisi yang sering diajukan dengan mengatakan pada masyarakat non-barat bahwa pengalaman mereka sendiri bukanlah faktor yang paling relevan secara langsung dengan kemungkinan demokrasi, adalah merupakan proposi yang tidak lebih dari sekedar piagam mitos yang menyesatkan dan justru anti demokrasi. Bantahan ini secara langsung menunjukkan bahwa ramalan Fukuyama dan Bell adalah jauh dari benar; bahkan tahun-tahun yang akan datang tampaknya akan semakin banyak diisi dengan dialog hangat antara globalisasi dan lokalitas. Demokrasi tetap saja selalu mengandung lokalitas yang tentunya berwajah jamak.
DARI HEGEMONI KE DOMINASI
Kecenderungan lain dari sistem demokrasi liberal pasca usainya perang dingin adalah peralihan paradigma kekuasaan dunia dari hegemoni menuju dominasi. Peralihan ini mungkin disebabkan oleh beberapa hal: pertama, runtuhnya Uni Sovyet mengakibatkan keseimbangan politik dunia menjadi terganggu dimana blok liberal di bawah komando Amerika Serikat relatif memegang kendali penuh terhadap kebijakan politik internasional. Keadaan ini memberikan kesempatan pada Amerika Serikat dan sekutunya untuk bertindak leluasa bahkan sampai mendomonasi kebijakan sebuah negara sekalipun.
Kedua, besarnya beban ekonomi yang harus ditangung oleh negara-negara liberal yang berkaitan dengan restorasi perekonomian dan pemulihan kehidupan sipil yang begitu tinggi pada gilirannya justru mengakibatkan deklinasi kapitalisme. Untuk menjaga kelangsungan dan daya recoveryliberalisme, sat-satunya jalan yang dapat ditempuh adalah dengan menggantikan melakukan dominasi. Dalam hal ini ada kecenderungan kuat kapitalisme mengalami deklinasi hampir di semua negara penganutnya.
Deklinasi sistem kapitalisme membawa akibat yang tak kecil. Demokrasi gelombang ketiga--sebagaimana disebut Huntington terhadap negara-negara demokrasi baru di Dunia Ketiga, terancam ikut pula mengalami antiklimaks. Tapi hal yang patut dipahami, gelombang balik demokrasi itu mesti dibaca sebagai krisis sekaligus kegagalan sistem kapitalisme dalam menjawab tantangan jaman yang berubah. Arus balik demokratisasi bukan sama sekali dimaksudkan sebagai perlawanan atau pembumihangusan atas demokrasi, melainkan bentuk lain dari kekecewaan atas liberalisme yang gagal menjawab keseluruhan dimensi dari problema kemanusiaan.
Kekecewaan terhadap demokrasi liberal sedikit banyak disebabkan oleh kenyataan bahwa liberalisme tak berdampak pada meluasnya peran dan partisipasi masyarakat, tapi sebaliknya; pada saat yang sama, memperluas ruang gerak kekuatan kapital. Ruang masyarakat yang menyempit jelas mengingkari sekaligus mengkhianati prinsip-prinsip demokrasi. Kedaulatan rakyat justru dicederai dalam liberalisme yang mengusir negara dari ruang masyarakat. Oleh karenanya, logika fungsional demokrasi harus segera didekonstruksi secara rasional dan bertahap untuk membuka tabir-tabir simbolik yang justru menyembunyikan identitas liberalisme yang hanya mengabdi pada kepentingan negara adi kuasa dan koroprasi global.
Dalam ranah kajian politik, gelombang ketiga demokratisasi memang secara fungsional benar-benar terjadi terutama dengan parameter dilaksanakannya pemilihan umum yang demokratis, dibukanya akses bagi setiap warga negara untuk menyalurkan aspirasinya serta dimungkinkannya keterlibatan masyarakat, baik langsung maupun perwakilan, dari warga negaranya dalam proses politik, melalui perwakilan yang langsung maupun tak langsung. Melalui pemilihan umum yang demokratis, diharapkan lahir pemimpin yang memiliki komitmen kuat terhadap peningkatan kesejahteraan dan pemenuhan hak-hak warga negara secara optimal.
Akan tetapi, demokrasi liberal dalam banyak hal telah menciutkan ruang dan kebebasan bagi pemimpin demokratis untuk menjalankan kebijakannya memenuhi aspirasi rakyat. Ha-Joon Chang (2004) dari Universitas Cambridge mencatat bahwa neoliberalisme global mengancam demokrasi dengan menghibahkan kekuasaan bagi investor dan korporasi global untuk mem-veto kebijakan domestik yang tidak mereka sukai. Lebih lanjut, korporasi global yang di back-up sepenuhnya oleh kekuatan liberal dalam banyak kasus terbukti memiliki peran yang menentukan dalam proses penentuan kepemimpinan nasional di sebuah negara.
Pengalaman intervensi internasional terhadap kepemimpinan nasional di sebuah negara tentunya bukan lagi menjadi rahasia. Saddam Hussein di Irak, Soekarno dan Soeharto, Allende dari Chile sampai yang terakhir Mari Alkatiri dari Timor Leste. Perdana menteri Timor Leste yang disebut belakangan dikenal dengan kebijakannya yang melawan kepentingan-kepentingan kapitalisme global pada ekonomi domestik Timor Leste. Dia tidak setuju pada berbagai program liberalisasi yang disodorkan oleh berbagai institusi keuangan internasional, seperti IMF dan Bank Dunia. Dia juga menjalankan berbagai program proteksi pertanian untuk mengurangi ketergantungan Timor Leste pada import beras. Lebih jauh lagi, ia pun tak sepakat dengan proposal Australia untuk eksploitasi minyak di Celah Timor.
Kebijakan-kebijakan itu tentunya tak disenangi oleh kapitalisme global. Karena itu, berbagai institusi keuangan internasional menyatakan keprihatinannya dan menyarankan agar Alkatiri digantikan oleh figur yang lebih dapat bekerja sama. Praktik demokrasi liberal dengan jelas menunjukkan pemimpin yang terpilih secara demokratis dapat dijungkalkan jika mereka tak melayani kepentingan kapitalisme global.
Apa yang menimpa Alkatiri hanya merupakan salah satu contoh intervensi blok demokrasi liberal dalam proses pemilihan kepemimpinan nasional, pemimpin nasional lainnya yang bernasib seperti Alkatiri dari hari ke hari semakin bertambah. Kesemua preseden itu menunjukkan bahwa mereka adalah pemimpin-pemimpin yang terpilih secara demokratis, akan tetapi demokrasi harus dikorbankan demi kepentingan kapitalisme global. Arief Budiman dalam hal ini dengan jelas menggambarkan betapa usaha Allende (1973) untuk meretas jalan demokratis menuju sosialisme di Chile harus pula berakhir di tangan Augusto Pinochet melalui sebuah kudeta berdarah yang didukung penuh oleh Amerika Serikat.
Jika proyek demokrasi liberal yang dicanangkan oleh Huntington melalui tesis gelombang ketiga demokratisasinya, ternyata justru dalam beberapa babakan sejarahdengung terbukti memberangus demokrasi lokal –yang juga mengakibatkan rusaknya tatanan demokrasi global- maka tidak dapat disalahkan jika kekecewaan terhadap liberalisme semakin meluas. Dengan tanpa mengurangi arti penting buku dan tesis Huntington tentang gelombang demokrasi ketiga, tampaknya “demokratisasi terhadap demokrasi” tampaknya menjadi pilihan yang cukup rasional untuk diambil.
Daftar Pustaka
- Arief Budiman, Jalan Demokratis ke Sosialisme, Pustaka Sinar Harapan, 1991.
- F. Budi Hardiman, Menuju Masyarakat Komunikatif. Penerbit Kanisius. 1993.
- Robert W. Hefner, Islam, Pasar, Keadilan; Artikulasi Lokal, Kapitalisme, dan Demokrasi. LKiS, 2000.
- Thomas Meyer, Politik Identitas; Tantangan Terhadap Fundamentalisme Modern. Friedrich-Ebert-Stiftung Indonesia, 2002.
- Thomas Meyer, Demokrasi Sosial Modern; Globalisasi dan Regionalisasi. Friedrich-Ebert-Stiftung Indonesia, 2002.
- Thomas Meyer, Demokrasi; Sebuah Pengantar untuk Penerapan, Friedrich-Ebert-Stiftung Indonesia, 2002.
- Martin Manurung, Neoliberalisasi Anti Demokrasi, makalah tidak diterbitkan, tertanggal 9 Juli 2006.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H