Mohon tunggu...
Shofy Safitri
Shofy Safitri Mohon Tunggu... Guru - Seorang guru pecinta sastra

Seorang guru pecinta sastra

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Gratitude Diary Opie

15 Mei 2020   13:25 Diperbarui: 15 Mei 2020   14:26 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Berhenti menyalahkan keadaan, adalah 3 kata yang akan selalu kupegang untuk menguatkan diri tentunya. Terlahir dari rahim seorang ibu yang super tentunya membuatku ingin selalu belajar memahami setiap kehidupan. Tanpa ia berkata pun aku bisa memahami meski tidak sepenuhnya memahami. setiap melihat ibu, aku jadi teringat sosok pahlawan penggerak emansipasi wanita.

Yaa.... Ibu Kartini. Pahlawan yang kita kenal ketika membaca buku sejarah Indonesia. Sebelum aku mengenal Ibu Kartini dibuku sejarah, tentunya aku sudah mengenal sosok itu di dalam diri ibuku. Ia begitu masuk dalam aliran feminisme pada buku sastra yang aku baca di bangku kuliah. Realistis kehidupan membuatnya menjadi sosok yang tangguh tanpa pernah mengeluh. 

Ketika kecil aku sering sekali berontak dengan keadaan, ribuan pertanyaan yang muncul dari balik otakku yang cukup besar ini. Tapi tak ada jawaban sama sekali atas pertanyaan yang aku ajukan waktu itu. Mungkin aku adalah anak kecil yang terlalu kritis menilai kehidupan. 

Bagaimana tidak? Aku dihimpit lingkungan yang begitu memojokkanku. Membuat hatiku kecil tentunya. tapi ibu, dengan tegas menampar pertanyaanku tanpa memberi alasan yang tepat dan tetap kukuh dengan pendiriannya.

Baru sekarang ketika aku dewasa dan duduk dibangku kuliah aku bisa memahami satu persatu dan menemukan jawaban dari pertanyaan yang aku ajukan ketika aku kecil. 

Ketika kecil, aku benci dengan profesi ibu yang tak pernah bisa menemaniku ketika aku pulang sekolah, tak pernah bisa menemaniku mengupas soal matematika yang sulit bagiku. Yang kulihat ibu selalu kerja, kerja, dan kerja. Itu semua terjadi ketika ayah jatuh kecelakaan dan membuatnya depresi melankolis bertahun-tahun.

Meski aku selalu berbisik pelan ditelinganya jika aku ingin beli ini dan itu. Supaya ia semangat untuk bekerja. Tapi nyatanya, ayah tetap down. Sudah 17 tahun ayahku tidak bisa dan tidak mau membantu perekonomian keluarga karena sakit semenjak kecelakaan besar itu. Ibu secara tidak langsung mengajariku cara hidup tanpa bergantung dengan siapapun.

Dalam kondisi ini tentunya aku tidak ingin bersedih dan menolak menyalahkan keadaan. Hampir aku tidak pernah menangis di depan ibu, meski sebenarnya ingin sekali menangis. aku juga dikenal dengan sebutan si keras hati dalam keluarga ini. Karena aku sempat menyuruh ayah dan ibuku bercerai. Itu sempat aku lontarkan ketika setiap hari aku selalu melihat ayah dan ibu bertengkar. Harapanku cuma satu "IBU BAHAGIA". Meski aku terlahir dari keluarga seperti ini.

Tentunya MIMPI tetap aku genggam. Aku tidak mau menjadi manusia receh yang terlalu dianggap sepele oleh orang-orang. Lulus SMK aku bekerja disalah satu klinik kecantikan, tentu melanjutkan pendidikan lagi sangat ada di depan keningku.. Aku fokus mencari uang supaya bisa melanjutkan pendidikan.

Setahun bekerja di klinik, Aku pamit berhenti bekerja untuk melanjutkan sekolah lagi, syukur Alhamdulillah aku dipertemukan dengan partner kerja yang baik, dokter yang selalu memotivasiku supaya bisa mengenggam MIMPI. Aku mencari kerja lain yang sekiranya bisa kusambi dengan kuliah. Hidup yang kujalani begitu kuperjuangkan apapun jalannya hanya demi MIMPI.

Tetap ada ibu di belakangku, supaya aku tidak payah dalam menempuh pendidikan mengingat biaya pendidikan semakin tinggi. Lika-liku dan drama selama menempuh pendidikan tidaklah mulus.. Banyak hal kecil hingga besar yang kutemui. Yang kuingat saat itu, aku tak bisa membayar uang UTS yang beberapa hari jatuh tempo.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun