[caption id="" align="aligncenter" width="632" caption="Ilustrasi/Kompasiana (M Latief/KOMPAS.com)"][/caption]
Peringatan hari anak internasional yaitu jatuh pada setiap tanggal 1 Juni. Tanggal 1 Juni dijadikan sebagai hari peringatan anak internasional dikarenakan pada tanggal 1 Juni 1925 telah dilaksanakan konferensi yang berkaitan dengan upaya untuk menyejahterakan anak dengan membahas hak-hak anak di seluruh dunia, yang pada saat itu telah dilaksanakan di Kota Jenewa, Swiss. Oleh karena itu, tanggal 1 Juni dijadikan sebagai momentum peringatan Hari Anak Internasional. Sedangkan untuk peringatan hari anak dunia secara universal ditetapkan pada setiap tanggal 20 November oleh organisasi PBB, yaitu UNICEF pada bulan Oktober 1953. Dari tahun ke tahun negara yang memperingati hari anak pun semakin bertambah dari 50 negara menjadi 150 negara yang ikut berpartisipasi dalam hari peringatan tersebut.
Perbedaan peringatan hari anak di setiap negara. Peringatan hari anak internasional memang jatuh pada setiap tanggal 1 Juni, namun di setiap negara pun ada pula yang mempunyai tanggal penetapan sendiri untuk memperingati momentum peringatan hari anak secara nasional. Misalnya, Indonesia sendiri menetapkan tanggal 23 Juli sebagai hari untuk memperingati hak-hak anak secara nasional dengan tujuan untuk mengajak dan mengingatkan kepada seluruh masyarakat guna menghentikan segala bentuk kekerasan pada anak. Peringatan hari anak di seluruh negara-negara memang boleh berbeda namun tujuan peringatan itu harus sama, yaitu untuk menghormati dan menghargai hak-hak anak untuk hidup dan tumbuh dengan baik di lingkungan keluarga dan masyarakat.
Momentum peringatan hari anak internasional. Dewasa ini banyak sekali tayangan-tayangan yang berasal dari sinetron-sinetron, film, iklan-iklan (baik gambar atau tayangan), video, dan lainnya yang sangat kurang mendidik dan sangat jauh dari azaz pendidikan karaker. Dari adanya hal-hal seperti itu, sudah pantas dijadikan sebagai faktor yang andil ikut mempengaruhi semakin terkikisnya pendidikan karakter anak pada saat ini baik itu di Indonesia ataupun di seluruh dunia. Sebagai contoh, banyaknya berita baik media massa televisi atau cetak yang memberitakan adanya tindakan perkelahian yang dilakukan antarsiswa Sekolah Dasar (SD) yang sampai menghilangkan nyawa, tindakan asusila berupa perkosaan yang dilakukan oleh anak-anak di bawah umur, pemalakan yang masih terjadi di dalam lingkungan sekolah oleh anak-anak tertentu, baru-baru ini adanya berita meninggalnya seorang wanitia di Negeri Tirai Bambu (Tiongkok) yang disebabkan pemukulan oleh satu keluarga dan dua tersangkanya yaitu seorang anak yang masih di bawah umur.
Dari kacamata kejadian-kejadian itu sebenarnya siapa yang harus disalahkan dan haru bertanggung jawab? Masyarakatkah? Sistem pendidikankah? Dan/atau pemerintahkah? Hal yang sangat perlu dimengerti dan dipahami adalah pelaksanaan pelestarian dan peningkatan pendidikan karakter sebagai upaya penyelamatan peradaban bangsa adalah tanggung jawab bersama seluruh elemen negara, sehingga kita harus sadar diri bahwa kita semua memiliki peran andil dalam upaya tersebut.
Kelima pelaksanaan pendidikan saat ini. Perlu diketahui bersama bahwa pelaksanaan pendidikan pada dasarnya bukanlah hanya tanggung jawab sekolah secara penuh sebagai lembaga pelaksana pendidikan oleh pemerintah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, melainkan peran orang tua pun sangat dibutuhkan dalam memperlancar pencapaian tujuan pendidikan. Hal itu senada dengan istilah “Keluarga adalah pelaksana pendidikan yang pertama dan utama”, telah kita ketahui bersama bahwa pertama kali anak menjalani kehidupan semenjak ia dilahirkan akan menjalani kehidupannya berawal dari lingkungan keluarga. Anak tersebut belajar bagaimana caranya berkomunikasi, berjalan, berpakaian, dan lainnya hingga ia benar-benar siap secara akal dan mental untuk memasuki jenjang sekolah.
Dari situlah peran keluarga dijadikan sebagai pelaksana pendidikan yang pertama bagi anak. Selanjutnya setelah memasuki jenjang sekolah pun, jam anak di sekolah untuk belajar dalam waktu sehari masih sangat sedikit dibandingkan jam anak untuk berada di rumah atau keluarga. Contohnya, jam belajar di sekolah hanya sekitar 8-10 jam, sedangkan sisanya sekitar 14 jam anak-anak berada di lingkungan keluarga/masyarakat. Sehingga keluarga juga berperan sebagai pelaksana pendidikan secara utama. Namun tidak pula mengesampingkan peran sekolah sebagai pelaksana pendidikan, oleh karena itu peran untuk mendidik dan mengawasi anak-anak ialah tanggung jawab bersama, baik penyelenggara pendidikan di lingkungan sekolah, orangtua, masyarakat, dan bangsa.
Dari momentum peringatan hari anak. Dalam momentum ini, penulis di sini berperan sebagai pendidik di sebuah sekolah dasar ingin mengajak semua elemen, baik rekan-rekan pendidik, para orangtua, masyarakat, dan para pemangku kepentingan di pemerintahan untuk bersama-sama merenung sejenak tentang bagaimana cara mendidik anak-anak kita sekalian menjadi generasi penerus bangsa yang bermartabat dan cerdas. Serta mari kita satukan jalan pemikiran bahwa anak-anak inilah yang kelak akan meneruskan perjuangan suatu bangsa, sehingga mari pula kita didik mereka dengan penuh tanggung jawab dan menjadi kewajiban kita semua. (SHOBIRIN_林德明)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H