Kadang apa yang kita harapkan tidak seperti keinginan kita. Teman, aku banyak belajar dari banyak kesalahan, apalagi kesalahan kecil yang sepertinya kita tak akan pernah memikirkannya. Bercerita tentang perjalanan hidup, banyak hal yang ingin aku bagi kepada kalian. Mungkin tidak menarik sepertinya, tapi ini adalah sebuah awal dari semua untuk terus aku jalani seterusnya.
Aku dilahirkan bukan dari keluarga kaya raya, mungkin bisa dibilang cukup waktu itu. Banyak cerita dari sebuah awal yang sedikit lupa karena terjadi 21 tahun lalu. ‘’Ehh’’ bukan sedikit tapi banyak. Namun aku bertanya kepada semua orang yang menngerti akan masa kecilku. Semua sumber yang waktu itu ada dan berhubungan langsung dengan kehidupanku. Kembali pada ‘’keluarga’’ yang akan selalu menjadi sebuah awal dari kehidupan kita, pembentuk kepribadian dan semuanya. Bagaimana kita tahu agama dan ajarannya, adat istiadat dan kebiasaan yang mungkin kita lakukan sampai saat ini.
‘’Ayo le bangun!’’ suara bunda setiap pagi yang khas dan mengakhiri mimpi panjangku. Sejak Sekolah Dasar sampai sekarang aku jarang sekali bisa bangun pagi, mungkin hanya suara bunda yang bisa membangunkan tidurku. Mandi secepat kilat dan sarapan super cepat adalah kebiasaan setiap pagi yang harus dijalani bukan karena jarak sekolah jauh tapi karena faktor ‘’bangkong’’, yang membuat kejadian ini setiap pagi berulang kecuali hari minggu atau hari libur. ‘’Ojo tukaran neng sekolahan, sinau seng tenanan, mugo – mugo ilmumu manfaat’’ mengiringi semangat bersekolah pada saat itu. Itulah pesan bunda ketika aku akan berangkat sekolah. Memang tidak ada perhatian melebihi perhatian ibu kepada anaknya.
Aku bukan anak tunggal, aku memiliki satu kakak perempuan dan satu adik perempuan jadilah aku laki – laki sendiri dalam keluargaku mengingat bapak bekerja di pelayaran dan satu bulan sekali baru pulang. Kakak menuntut ilmu di pesantren setelah lulus SD dan akhirnya tinggallah kita bertiga dirumah. Semua telah dijalani seperti biasa, hari – hari berjalan layaknya roda yang berputar dan ‘’inilah aku yang akan memulai mimpi dengan keyakinan tinggi bahwa awal dari itu semua adalah bekal yang akan kita bawa dalam hidup ini.
Semua perlengkapan sekolah adalah kewajiban yang tidak boleh diabaikan. Bicara tata tertib sekolah, sekolahku memang tertib dan disiplin. Walaupun sekolah swasta namun kualitas lebih unggul dibanding SD negeri di kotaku. Dan aku, adalah siswa yang ‘’not perfect’’ kata guru bahasa inggrisku. Sering terlambat meski rumah dekat sekolah, tidak membawa peralatan tulis yang lengkap, tidak bisa berpakaian rapi dan banyaklah aibku masa itu. Sulit memang beradaptasi dengan peraturan yang aku sendiri ingin menentangnya, apalagi dengan teman yang mayoritas ekonomi menengah keatas dan faktor kedekatan orang tua mereka dengan para guru yang ditandai dengan sumbangan rutin untuk sekolah menjadikan anak biasa seperti aku menjadi bahan kesalahan di sekolah.
Apa yang aku kerjakan selalu salah, walau tidak salah mereka selalu mencari kesalahanku sekecil apapun sebagai bahan ejekan dan cemoohan agar mereka semua bisa puas. Pada saat itu aku bisa menerima, walau sering menangis. ‘’Eittsss’’ bukan cengeng tapi itulah yang terjadi waktu itu.’’ Hehehe tapi benar memang cengeng’’. Aku tidak pernah berani melawan mereka sekalipun mereka yang salah, fenomenanya ‘’satu lawan banyak’’ tidak ada yang membelaku dan mereka semua bahagia jika aku menderita. ‘’Exactly’’. Para guru juga tidak akan percaya dengan perkataanku jadi sama saja bunuh diri kalau mengadu kepada guru.
Pernah ketika waktu aku duduk di kelas 4 SD teman – temanku bermain bola di dalam kelas dan ‘’jebreetttt’’ bola mengenai lampu. Saat itu aku duduk di bangku dan tidak ikut bermain bola tapi apa yang terjadi? Saat guru datang mereka kompak dan serentak menuduh aku yang memecahkan lampu itu. Aku ‘’bloon’’ dan bingung ketika semua mengarah kepadaku, bilang tidak tapi percuma karena semua mulut mengatakan aku tersangkanya. Akhirnya aku terkena poin 25 dan denda 50 ribu rupiah sebagai ganti harga lampu itu. ‘’Miris’’.
Telinga sudah panas mendengar ‘’omelan’’ wali kelas. Tidak cukup itu apa yang akan terjadi saat bundaku mengetahui itu. Waktu itu belum ngerten istilah galau, tapi itu yang aku rasakan. Bingung mendapatkan uang 50 ribu saat itu, anak SD sepertiku mana mungkin mendapat uang sebesar itu kalau tidak minta orang tua. Untungnya orang tuaku tidak mengetahui hai itu, aku sekuat tenaga mengumpulkan uang jajan demi terkumpulnya 50 ribu rupiah. Sehari aku hanya mendapat uang jajan seibu rupiah, haruskah lima puluh hari tanpa jajan? Benar – benar galau pada saat itu.
Seminggu telah berlalu tanpa jajan dan hanya terkumpul tujuh ribu saja, masih jauh. Penderitaanku masih lama lagi Ya Alloh tanpa jajan dan membeli mainan. Aku harus memilih jalan lain agar bisa mengumpulkan uang dengan cepat, apa yang harus aku lakukan? Aku juga tidak memiliki tabungan jadi bekerja mungkin bisa jadi alternatif paling rasional. Tapi, bekerja apa untuk anak seusiaku? Terbesit sebuah ide yaitu mengantarkan koran ke rumah orang yang berlangganan. Tanpa ragu aku datang ke sebuah agen koran, setelah sepakat dengan ketentuannya aku merasa sedikit lega dan berharap bisa mengumpulkan uang.
Jam 5 tepat ternyata aku bisa bangun, bundaku heran kenapa anaknya menjadi rajin mendadak. Setelah sholat dan mandi aku langsung bersiap dengan seragamku, segera aku berangkat karena harus mengantar koran sebelum masuk sekolah. Bunda heran dan bertanya ‘’ le kog budal isuk banget?’’ Aku berbohong dengan menjawab ada pendalaman intensif bagi kelas 5. Bunda menyuruh aku sarapan tapi aku langsung pamit dan bergegas mengayuh sepedaku ke agen koran. Dari kejahuan aku melihat bunda masih heran dengan perilaku di pagi itu.
Setelah sampai ke agen koran aku mendapat daftar pelanggan, aku harus mengantar koran ke 30 rumah. Untungnya aku tau semua alamat itu dan tidak terlalu jauh pula jaraknya. Semua harus aku lakukan dengan cepat karena pukul 06.45 WIB bel masuk sekolahku telah berbunyi dan gerbang sekolah juga akan ditutup. Kaki seperti ingin copot rasanya mengayuh sepeda dengan cepat dan harus teliti jangan sampai ada rumah yang terlewatkan. ‘’Huufft’’ akhirnya selesai juga, melihat jam tangan sudah pukul 06.35 aku langsung bergegas mengayuh sepeda agar tidak terlambat masuk sekolah. Setelah pulang sekolah aku langsung pergi ke agen koran untuk mengambil upah dari hasil mengantar koran. Hasilnya lumayanlah, aku mendapatkan upah sembilan ribu rupiah. Setiap satu koran yang diantarkan mendapatkan upah 300 rupiah jadi tinggal mengkalikan saja berapa rumah. Hari – hariku berjalan seperti itu selanjutnya dari pada mengumpulkan uang jajan seminggu hanya mendapat uang tujuh ribu saja, jika bekerja lebih banyak hasil yang didapatkan.
Bunda mulai curiga dengan perilakuku akhir – akhir ini, jika melihat sisi positifnya aku jadi bangun pagi dan tidak terlambat sholat shubuh. Tapi ada keganjalan tentang alasan pendalaman pagi. Jika benar ada pendalaman pagi orang tua selalu diberi tahu dan diberi surat dari sekolah. Dalam satu bulan aku bisa mendapatkan lebih dari 50 ribu rupiah jadi aku bisa membayar denda lampu si sekolah. Namun aku sedikit beban moral setiap hari harus berbohong dan menyembunyikan itu dari keluargaku. Aku bertanya dalam hati apakah bunda dan adikku tahu aku mengantarkan koran setiap pagi. Bagaimana kita pandai berbohong pasti cepat atau lambat pasti ketahuan akhirnya.
Walaupun sudah lunas denda lampu sekolah aku tetap mengantarkan koran karena uangnya lumayan untuk tambah uang jajan dan bisa dibelikan mainan, maklum waktu itu lagi hits mainan mobil tamiya jadi aku ingin membelinya. Karena saat aku meminta mainan tersebut bunda akan membelikan jika aku masuk peringkat 10 besar di kelas dan itu hal mustahil aku lakukan mengingat kondisi sekolah seperti yang aku ceritakan sebelumnya. Setelah dengan pekerjaanku beberapa bulan ini aku sudah tidak berpikir akan ketahuan bunda, karena merasa sudah biasa dengan hal ini.
Kebohonganku ternyata sudah diketahui bunda beberapa bulan yang lalu, beliau langsung taanya kepada sekolah tentang pendalaman pagi yang aku bicarakan. Sekaligus bunda tahu tentang kasus lampu di sekolah. Tapi kenapa beliau tidak langsung menegurku saat itu? Dan membiarkan seolah – olah tidak tahu masalah tersebut dan terhadap semua kebohonganku. Dan aku tahu itu semua karena ada kejadian sabtu sore yang mengharukan dan selalu ku ingat sampai saat ini. Sore itu setelah pulang sekolah tiba – tiba bunda tersenyum menyambut kedatanganku, tidak seperti biasanya. Setelah berganti baju bunda mengajak aku duduk bersama di ruang tamu, beliau berkata ‘’ maaf le bunda mboten saget nyukupi kebutuhanmu, kepengenanmu, opo maneh bunda kurang perhatian sampai mboten peka anake duwe masalah’’. Spontan aku menangis, aku langsung memeluk beliau dan mencium tangannya. Aku malu dengan kebohonganku sampai – sampai beliau yang minta maaf karena kesalahan yang aku buat sendiri. Seharusnya aku jujur dan aku yang harus meminta maaf, karena kebodohanku dan ketakukanku akan masalah membuat berbohong menjadi hal yang sah pada saat itu. Lalu kami banyak bercerita dan yang intinya aku selalu ingat kata – kata beliau ‘’ kamu sudah menjadi anak yang bertanggung jawab, berani mengambil keputusan dan itu yang nantinya bekal kamu menjadi seorang pemimpin keluarga’’. So, aku sudah tidak mengantarkan koran setiap pagi dan hari – hari selanjutnya jauh lebih bermakna dan menyenangkan karena tidak ada kebohongan lagi. Kejadian ini menjadi awal dari semua bagaimna nilai kejujuran sangat mahal dan tanggung jawab adalah keharusan yang harus dimiliki oleh seorang pria sejati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H