Mohon tunggu...
Shitasatoe Soeripto
Shitasatoe Soeripto Mohon Tunggu... -

mengajar dan menulis, punya usaha sendiri. Suka baca, travelling dan makan.Ingin terus belajar

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

La premièr: Le Ciel Couvert Par un Millier d'étoiles Magnifiques (3)

24 November 2011   23:03 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:14 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Bintang masih berpesta di langit sana. Suasana makin hening kurasa para pekerja pasti sudah tertidur karena kelelahan. Mungkin sekarang telah lewat tengah malam. Kurasa saatnya kembali ke cottage masing-masing. "Aku sudah mengantuk. Ayo kembali ke cottage besok aku kan harus bekerja lagi." Aku kebaskan celana dari pasir yang melekat. Udara semilir dingin, tak sadar kalau selama berjam-jam aku tahan tanpa baju penghangat. Apakah kehadirannya yang menghangatkanku? Jiah..kok aku seperti status gombal di facebook saja. Berdua berjalan beriringan kami kembali menuju pemukiman. Dari jauh, kulihat cottage tergelap itu pasti cottage Juan. Hemat energi, karena bumi semakin tua katanya senantiasa. Ia rajin kampanye go green. Sementara cottageku lampunya tetap menyala, bahkan juga musik dari CD player belum mati juga, menyenandungkan lagu-lagu Bubble yang kusuka. Aku duduk di teras sejenak, beristiraat sebelum melepas penat dan sholat malam. Ia mengikuti duduk di sampingku seperti biasa sambil menatap lekat-lekat. Music mengalun lembut, Bubble menyenangdungkan Quando.Quando.Quando.yang sungguh kusuka. Udara lembut sepoi, ditingkahi bosas, sunyi suasana, dan hanya ada aku dan dia. Juan mulai menggoyangkan kaki mengikuti irama, tanpa sadar tanganku mengikutinya. Kami tersenyum berdua Tell me when you will be mine. Tell me quando-quando..quando… We can share a love divine, please don’t make me weird again When will you say yes to me Tell me quando..quando..quando..tell me quando..quando..quando You means happiness to me Oh my lovest tell me when “Dance with me, babe.” Tangannya terulur padaku, seiring bosas yang mengalun tak ingin ditampik. “I can’t dance.” “I’ll hold you and just follow the rythim. It’s easy and you’ll like it.” Ia mendekati sambil terus bergoyang. Terlihat lucu. Aku tersenyum lagi. “Hm..Why not?” Aku mengendikkan bahu. Tak ada salahnya juga mencoba kukira. Tangan kanannya memegang tanganku erat dan tangan kirinya meraih pinggangku dalam pelukannya. Aku menggelengkan kepala mengisyaratkan agar ia melonggarkan pelukannya, aku merasa risih. Ia mengalah terlihat dari raut mukanya yang kecewa dan tubuhnya sedikit membuka. Let me sow you the way…. To join beyond compain I can’t wait te moment more Aku mengikuti alunan tubuhnya dan menarilah kami, pelan tapi pasti beriringan mengikuti irama dan kurasa tubuh berdua makin mendekat berhadapan. Bisa kurasakan terkadang kulitnya bersentuhan denganku. Mengapa aku merasa nyaman? “Marry me…I’ll make you happy. I’m Promise you..” Bisiknya di telingaku. Matanya menatap mataku penuh harap meminta jawaban. Aku mengalihkan pandangan, jengah berdekatan namun juga kuakui mulai enggan menjauh darinya. Hangat menggumuli sukma juga menjalari tubuh dari ujung rambut hingga kaki. Kulit yang saling berdekatan mencipta sensasi rasa yang telah lama tak kurasa. Aroma aftershavenya menyergap hidungku tipis tipis dan samar. Hmm….sexy musk. “Aku tak main-main, setelah proyekmu ini selesai, menikahlah denganku…” “Juan…pernikahan tak semudah itu. Kau tinggal jauh di Itali sana sementara hidupku dan anak-anakku ada di sini. Kamu cuma berlibur, menikmati matahari, menghabiskan cuti, dan uangmu sebelum ada panggilan tugas baru, bukan cari istri dari Asia dan masalah yang kubawa. Ia mendengus. Nafasnya menerpa hangat wajahku, mencipta bias rona pada pipi. Begitupun nafasku makin memburu. Ah, perempuan terbuat dari apakah hatimu hingga mudah tergoda? Wajahnya makin mendekatiku, dan matanya tajam menatapku. Aku memilih menunduk enggan bertatapan. Ketika ia berniat melumat bibir, kusandarkan kepala pada bahu bidangnya. Pelukannya mengerat melingkariku. Hangat, erat, nyaman tertambat. Merasai hati bayi dalam kenyamanan pelukan ibunya. Berapa tahun terlewat aku tak lagi merasai kedekatan seperti ini?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun