Akhirnya tibalah kami di desa Suweg, tempat rumah joglo itu berdiri. Aku keluar dari mobil, mengamati rumah dan sekelilingnya. Rumah joglo yang sangat megah. Atapnya ramping tinggi menjulang, dihiasi genteng tanah jaman dulu berupa Kala Bendana yang terletak di tengah sambil diapit oleh sepasang naga panjang bersisik yang saling membelakangi. Benar-benar eksotis! Dikelilingi halaman yang sangat luas, bersih dari daun-daun dari pohon yang berguguran dengan tanaman bunga gambir soka merah merekah dan melati hutan sedang berbunga dengan rimbunnya. Ada juga pohon kelapa Gading yang buahnya berwarna kuning kecoklatan cantik, bergantungan pada batangnya, berderet apik tertata! Nampak jauh di sana, Waduk Kedung Ombo terlihat jelas jika dilihat dari teras sambil duduk mencangkung, ngeteh poci dan membaca koran. Love this home. Gemerisik daun tertiup angin bergoyang gemulai. Love all the things in this home. Feels so homy. Seorang lelaki tua datang menyambut kami. Tubuhnya kurus berbaju dan bercelana komprang hitam. Pak Man namanya, nama lengkapnya aku tak tahu. Tubuhnya keras, berkulit gelap mengkilat dan liat pertanda rajin bekerja. Tapi aku tak suka tatapan matanya, tajam menusuk meski coba ditutupinya dengan tersenyum ramah pada kami. Ia membawa seikat kunci dengan bentuk yang kuno seperti rumah nenek buyutku dulu. Setelah berbasa-basi dengan Bagas, ia membuka pintu utama yang tinggi besar penuh ukiran. Suara berderit terdengar pertanda rumah jarang dibuka. Seketika hawa apek menyergap dari dalam saat kami masuk. Ia menyalakan lampu, lalu membuka semua pintu dan jendela yang sebelumnya terkunci dari dalam. “Silahkan lihat-lihat Nakmas! Jika butuh sesuatu panggil saja saya dibelakang.” “Terima kasih, Pak! Ini untuk beli rokok.” Kata Bagas sambil mengulurkan dua puluhan pada Pak Man, yang menerimanya dengan sumringah. “Terima kasih Nak Mas!” Ia mengangguk dengan takzim lalu keluar dari ruangan. “Apa kataku? Keren kan?” kata Bagas bangga. Aku mengangguk menyetujui pendapatnya. Empat soko guru kokoh berdiri, berdiameter 30 centimeter masih mulus dan sepertinya dirawat Pak Man dengan baik. Tak terlalu panjang memang, tapi terbuat dari kayu Jati kualitas A usia ratusan tahun tanpa mata dan tanpa belang. Wow, perfecto! Soko guru bertipe Semar manding, termasuk generasi awal penciptaan rumah joglo oleh Kanjeng Sunan Kudus. Priceless. Tak kutemukan jejak telur ater-ater atau lubang rayap di sana. Begitupun bagian banyu samparan, mulus. Ukiran telah mulai bersisik kasar, menghitam dan memperlihatkan gurat-gurat kayu pertanda bukti usia ratusan tahun yang dimiliki. Dhodhog wesinya panjang melintasi langit-langit, menggantung dengan indah di tengah tumpuan, penuh ukiran rumit dan di ujungnya terukir bunga padma, yang juga menjadi tempat bergantungnya lampu antik dari jaman Belanda. Gebyoknya tebal namun penuh dengan ukiran yang dibuat hingga tembus ke belakang laksana tirai dalam ukuran tiga dimensi. Benar-benar indah dan adiluhung. Terlihat jika dibuat oleh seorang seniman dengan sepenuh hati. Ukiran trawangan melati truntum dibuat begitu ngrawit, remit dan edi, dihiasi oleh kleweran bermotif sulur-suluran dan padma di bagian tengahnya. Ada gladhag dalam ukuran besar diletakkan di sebelah kanan, sementara kursi tamu kayu jati gaya Chipendale yang kurang terawat terletak agak menjorok ke depan. Sebelah kiri terdapat meja tulis besar berdiameter satu setengah meter, dalam warna coklat kusam dan kulihat tanpa sambungan, itu artinya terbuat dari satu papan jati utuh. Alur kayu jatinya terlihat jelas. Wow! Kursi tulisnya dibuat dengan sandaran tinggi berhias ukiran sederhana namun terlihat anggun. Pastilaah pemilik lamanya seorang yang kaya raya, mungkin seorang tuan tanah jika melihat sekelilingnya dipagari tanah yang luas membentang dan banyak ditumbuhi pohon kopi Robusta. “Kamu yakin harganya hanya Rp 400 juta?“ “Iya…aku sudah tanyakan berkali-kali karena akupun tak percaya rumah secantik ini hanya dihargai segitu. Mungkin rejeki kita, Sista!” “Entahlah…hanya saja aku merasa ini terasa sedikit aneh” Aku kembali berkeliling, menghitung empat kamar yang terletak di samping kiri dan kanan soko guru. Aku masuki salah satunya. Kamar berdecit pertanda jarang di buka. Ruangan cukup luas, di dalamnya. Aku berjalan mendekati jendela panjang yang ada di sebelah kiri luar kamar. Kubuka daun jendela yang berjalusi. Udara segar mengalir masuk menggantikan apek yang tersisa. Cahaya matahari menerobos masuk membuat ruangan terang dan terasa lapang. Ada tempat tidur berkanopi lengkap dengan tirai renda halus, lemari pakaian pintu empat dan meja rias dengan cermin bundar besar di bagian tengahnya. Kamar ditata dengan gaya eropa Baroque. Terlihat sangat antik dan cantik, dalam warna coklat berlis hitam. Mengingatkanku pada perabot Mbah Uti. Sebuah foto hitam putih besar dipajang di dinding tengah. Seorang perempuan muda bersanggul cepol bertubuh ramping memakai kebaya putih berenda, berdiri sambil tersenyum manis berlatar halaman depan rumah ini. Sangat cantik, dengan mata hitam laksana kejora. Aku memandangnya terpaku, seolah ia mengajakku tersenyum. Ia seperti hidup. Pasti khayalanku sedang bekerja, karena terlalu banyak membaca cerita misteri. Ini kenyataan bukan dongeng, kataku pada diri sendiri. “Sista, kemari! Aku menemukan sesuatu! Pasti kamu suka!” teriak Bagas dari luar memutus khayalan. Aku keluar menemui Bagas yang sedang berjongkok mengorek-korek isi lemari tulis yang tadi kusinggahi. Buku-buku lapuk berwarna kecoklatan penuh debu termakan usia dikeluarkannya. Bertumpuk-tumpuk, banyak sekali. Aku ikut berjongkok, tertarik dengan yang ia lakukan. Ya, rupanya ini kumpulan buku-buku harian sang pemilik rumah. Juga ada buku primbon tentang weton dan gagrag mongso yang ditulis dalam huruf jawa. Wah…sebuah tantangan untuk merefresh kemampuan membaca huruh Jawa yang dulu sempat kupelajari. Gantian aku yang antusias mengumpulkan semua buku dan menaruhnya di atas meja. Semua masih dalam keadaan bagus. Sebuah PR menanti kukerjakan. Kukibaskan buku-buku dari debu yang menempel dengan hati-hati. Bagas sudah tahu, jika sudah seperti itu, berarti aku takkan suka diganggu. Bisa mengganggu jadwal kerja nanti. “Simpan dulu, nanti ngurusnya. Kita lihat dulu semua kondisi rumah ini, mumpung masih siang jadi masih terlihat jelas jika ada yang berlobang atau cacat. “ Aku mengalah, meninggalkan buku-buku, lalu mengikutinya ke ruangan belakang. Di sebelah kanan ruangan ada seperangkat meja makan panjang yang dilapis taplak crochet putih yang cantik. Dan dilengkapienam buah kursi makan bersandaran tinggi. Selera yang bagus. Sementara di sebelah kiri terdapat pantry sederhana dan meja berbentuk island dan dilengkapi rak-rak susun yang pasti dulu menjadi tempat menyimpan bubuk kopi dan segala bumbu yang diawetkan atau disimpan dalam botol-botol bening berjajar. Kami menyusuri ke belakang, ada dapur. Tak ada yang istimewa di sana selain peralatan masak yang besar-besar dan berat terbuat dari kuningan dan tembaga, khas peralatan masak kuno. Ada juga tungku dari tanah liat berjumlah empat yang sudah lama sekali tak digunakan untuk memasak. Mengapa rumah yang begitu istimewa ini tak ditempati? Batinku iri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H