Prolog
Perempuan itu menghembuskan asap rokoknya perlahan. Mengalun lagu Song For You Michael Buble seolah melengkapi kesuraman suasana di cafe tempat kami bertemu. Matanya jauh menerawang. lama tak bertemu dengannya begitu banyak perubahan yang telah terjadi. Rambutnya yang panjang tergerai, berwarna merah brunette, memakai lensa kontak warna biru Yang membingkai matanya yang masih indah meski kini sorot matanya tak lagi berpendar indah.Dulu ia ceria, ramah, selalu penuh tersenyum lembut dan berjilbab lebar, rajin dalam kegiatan rohis di masjid kampus dan kini aku hanya melihat mata yang lelah tanpa harapan. Tuhan, apakah cinta memang begitu kuatnya mampu merubah seseorang?
Aku tak terbiasa untuk bicara kasar ! Kau tahu aku kan? Tapi kini aku baru menyadari betapa bullshitnya sebuah perkawinan dan mahluk berjenis laki-laki! Segala norma dan nilai luhur mulia yang menjadi pegangan dalam bermasyarakat aku ikuti dengan patuh. Termasuk untuk menjaga pola hubungan lelaki wanita dalam kerangka agama agar selalu diridloi Allah. Maka ketika ia melamarku setelah dua minggu kami bertemu secara intens tanpa embel-embel pertanyaan berapa jumlah rupiah di rekeningnya aku menerima lamarannya dengan niat baik. Menikah adalah ibadah. menyenangkan orang lain apalagi orang yang kita sayangi pahalanya besar. menjadi istri dan ibu itu sebuah jihad yang berpahala besar berbalas surga.
Maka menikahlah kami sebagai pasangan muda yang sederhana namun berbahagia. Benar, ia memenuhi janjinya menjadikanku ratu dalam rumah tangga kami. Aku berikan pelayanan terbaik di semua hal. Makanan, cinta dan pengabdian sebagai seorang istri dan ibu tanpa mengharap tips sepeserpun. Lelah, perasaan sedih dan tertekan yang kadang muncul dalam keterbatasan ekonomi kami sirna saat melihat senyum lelahnya yang merindukanku sepulang kerja dan buah hati kami yang manis dan lucu-lucu. Semua adalah ibadah. Aku jaga itu dalam hatiku. Sungguh aku bahagia. Tak banyak yang kuminta selain keluargaku selalu dalam lindunganNya. Kurelakan potensi pribadiku terbengkalai demi kata patuh pada titah suami yang memintaku tak bekerja. Rumah adalah sarang cinta kami yang sederhana namun terasa menghangatkan jiwa.
Musim berganti, matahari dan bulan silih datang berbagi tugas rotasi dan revolusi dan hari-hari yang terlewat menghimpun hari dalam genapan tahun. Nasib kami perlahan berubah, merangkak naik pula karier dan kesejahteraan. Namun aku tak berubah, prioritasku adalah engkau dan malaikat-malaikat mungil kita. Kalian adalah duniaku. Tapi aku tak menyadari bahwa engkau perlahan berubah. Rasa percayaku pada kesetianmu telah membutakan kewaspadaanku sebagai istri. Dan ketika aku baru mengendus aroma ketakberesan itu. Dhus! Semua telah terlambat ternyata! Ada perempuan lain yang membuatmu selalu beralasan pulang malam dan dinas luar kota. Lalu ketika kukonfirmasi hal ini padamu, dengan pandangan dingin dan menusuk setajam belati serta perasaan tak merasa bersalah engkau menjawab dingin.
“Kita menikah karena takdir. Jika kini aku telah menikah lagi itupun karena takdir.”
Tak ada elusan penghiburan atau pernyataan maaf karena telah menusukkan belati di balik punggungku. Aku rebah dan berdarah dan sungguh engkau telah berubah! Sikap hangat dan penuh cinta telah musnah. Engkau memaksaku menerima keadaan itu bulat-bulat tanpa memberiku kesempatan belajar menerima pelan-pelan.
Dan ia yang dengan tak sopan merenggutmu tanpa permisi melarangmu menemui anak-anak kita yang tak siap akan hadirnya cinta baru Abi, yang selama ini jadi idola. Dan keputusan paling pahit itu datang, pun tanpa prolog penghiburan dan epilog penyesalan pun kata maaf.
“Ia memintaku mengembalikanmu pada orang tua. Jika takdir memang menuliskan kita bersama lagi, maka itu akan terjadi dan aku akan menjemputmu. Tapi jika Lauful Mahfudz tak menuliskan kita untuk bersama, maka inilah akhir dari cerita.”
Ia mengucapkannya begitu ringan dan tanpa beban ketika aku sedang menggendong putri kami berusia setahun yang sedang terlelap dan dua kakaknya sedang menggelayut manja penuh kerinduan karena lama tak jumpa, pada dua bahunya yang kokoh. Dimana nurani? Mungkin ia terburu-buru pergi karena malu tak lagi diakui keberadaannya dalam hati suami.
Apakah aku punya pilihan? Tidak! Aku hanya menjalani takdir yang ia ciptakan untukku. Yang menggoreskan luka robek amat dalam yang takkan pernah tersembuhkan oleh waktu. Satu-satunya pilihanku agar semua mampu kujalani adalah dengan memaafkannya dan menjalani hidup yang akhirnya menjadi takdirNya untukku atas “takdir” yang telah diciptakan suamiku.
Ia bisa memilih. Dengan mengalahkan nafsu kesenangannya sendiri untuk kembalimembahagiakan empat hati yang menyayanginya sepenuh hati. Yang tak seharusnya ia sakiti. Tapi pesona perempuan baru itu telah membuatnya memilih opsi yang pahit buat kami.
Berbilang waktu kemudian, pilihan baru itu datang tanpa pernah kusangka kehadirannya, menawarkan cinta dan hidup baru yang ingin diciptakannya untukku. Siap menerima tiga paket malaikat yang kumiliki tanpa syarat.
Tapi pilihan lama itu datang, menghiba memohon kembali karena perempuan baru itu lebih berlaku sebagai atasan dibanding istri. Ia tak tahan menjadi bawahan yang terus dicela dituntut dan dipersalahkan. Diciuminya kakiku memohon maaf beserta keinginan berbaikan. Mata-mata kecil malaikatku turut memohon. Maka pilihan manakah yang kupilih? Apakah hati seorang ibu akan memilih kebahagiannya sendiri dibanding anak-anaknya? Aku tak ingin anakku menuju dewasa dengan hati terus terluka.
Mungkin memang harus kujalani takdirku kedua kali bersamanya. Siapapun bisa berbuat khilaf namun bukankah ia juga bisa memperbaikinya? Maka kembalilah kami bersama sebagai keluarga. Jika Tuhanku yang Maha Agung pun Maha Pemaaf maka apalah artinya mahluk ini memaafkan mahluk yang lainnya? Kusambut tangannya dan para peri mungilku bersorak dan melagukan dendang bahagia
Apakah ini akhir cerita yang bahagia laksana Cinderela? Sayangnya tidak Saudara-saudara!Pilihan dan takdir yang ternyata salah itu membayangi sepanjang hidupku. Manisnya rekonsiliasi tak lama. Melihat kami bersama kembali, perempuan kedua itu tak rela dan mencoba hadir lagi memohon kebaikannya untuk kembali. Menyembahnya untuk dimaafkan. Memohonku menghiba berkali-kali untuk menerimanya sebagai bagian dari hidup kami.
Sejak itu mimpi burukku kembali! Sejak kedatangannya, hatiku berdarah lagi, sesakit saat pertama kali. Ia kembali menyakitiku dengan lebih kejam. Dan terlihat puas saat mataku bengkak tergugu. Ia,…lebih tepatnya mereka, menikmati setiap perih yang ditorehnya untukku. Sikap dingin, tanpa penghargaan, sindiran, kalimat celaan dan perendahan.
Dan aku gemas pada diriku sendiri yang kini tak berani melangkah pergi memilih jalan bersemak duri menjalani hidupku sendiri. Aku memilih diam, menerima segala perlakuannya hingga semua siksanya seiring waktu terasa kebas di hati. Hanya karena aku takut melangkah sendiri.
Kini aku masih memilih hidup dengan lelaki yang tak menghargai keberadaanku dan anak-anak kami, yang membuat keluargaku selalu mencemaskanku. Aku sedang menghimpun keberanianku untuk lari, memilih menyusuri jalan semak berduri itu. Meski menggoreskan luka perih namun ada harapan adanya kesempatan dan hari baru untukku. Meski peluang itu sangat kecil tapi harusnya aku mencoba.
Maka jika kau yang muda dan sedang bercinta bertanya,
“ Apakah cinta sebuah takdir atau pilihan?”
Dari aku yang telah terluka terseok-seok menyusuri hidup mempertahankan cinta dan perkawinan kuberi jawaban, meski pahit dan tak seperti yang kau harapkan, dengarlah…
“Takdir cintamu ditentukan oleh pilihan-pilihan cerdas yang kau ambil.
Ada saatnya engkau memakai hati saat menikmati cinta namun pada saat yang dibutuhkan pikiran waras-lah yang harus dipilih. Kehidupan bukan cerita telenovela yang selalu berakhir happy ending.Jangan menunggu sebuah keajaiban. Ketahuilah, seseorang mau berubah karena kemauannya sendiri, bukan karena orang lain. Jika seolah ia berubah karenamu, tunggulah sesaat..kujamin perubahan itu takkan kekal. Ia sudah diciptakan sedemikian rupa sebelum bertemu denganmu. Tak perlu sok menjadi pahlawan jika kelak justru menjerumuskanmu menjadi pecundang. Pilihlah cinta di atas kewarasan, karena turut menentukan kebahagiaanmu beserta kebahagiaan mereka yang kau sayangi dan yang tulus menyayangimu. Maka sekali lagi….terutama engkau para dara! Pilihan cinta dengan akal waras-lah yang akan menyelamatkan takdirmu.”
Epilog:
Setelah bertahun-tahun berdarah, akhirnya ia memilih pergi, menjalani hidupnya sendiri belajar bertahan hidup dari memanfaatkan potensi besarnya yang selama ini terkubur karena tak diberinya kesempatan tumbuh. Meski masih sendiri ia merasa lebih bahagia tenang dan percaya diri. Mungkin suatu saat seorang imam baru yang baik akan menghampiri…Dia telah berubah menjadi seseorang yang berbeda walaupun aku berharap hatinya masih seperti dulu, lembut dan baik hati. Siapa yang tahu apa yang akan terjadi? Hanya Ia, Sang pemilik takdir yang mengetahui.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H