Mohon tunggu...
Shitasatoe Soeripto
Shitasatoe Soeripto Mohon Tunggu... -

mengajar dan menulis, punya usaha sendiri. Suka baca, travelling dan makan.Ingin terus belajar

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Suatu Malam di Taman Menteng

14 Februari 2012   09:34 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:40 529
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1329211968967744471

Hati sedang resah. Gundah akan musnah saat sejenak keluar rumah untuk melepas lelah.  Maka Taman Menteng jadi pilihan. Kaki melangkah membaur bersama beberapa orang dan pasangan yang duduk bercengkerama di pinggir air mancur yang tak lagi menyemburkan air. Sayang, beberapa orang dengan sengaja menginjak rumput yang ditanam. Angin malam sepoi bergemerisik, beradu dahan-dahan pohon. Suasana nyaman. Taman kota memang diperlukan para manusia urban untuk sejenak rehat dari kesibukan dan himpitan beban yang makin lama makin berat. Aku rasa pemda harus semakin memperbanyak taman seperti ini, agar semakin banyak jiwa yang bisa bersandar. Di sudut taman seorang gadis sedang asik menggesek biola ditemani kucingnya yang dengan setia mendengarkan nada yang tercipta seolah-olah berkata ,"Wah permainan biolamu makin hari makin bagus. Dan hari ini yang terbaik dari seluruh sesi latian." Di sudut yang lebih gelap beberapa pasangan muda-mudi duduk sedikit berhimpitan dengan bahasa tubuh yang saling melindungi. Begitulah  saat cinta masih meraja, yang ada adalah keinginan saling memberikan yang terbaik. Mengapa kalau pasangan sudah menikah malah jadi itung-itungan? Seperti hitung dagang laporan laba rugi saja. Kalau aku perhatian padamu maka kau harus menerimaku apa adanya. Kalau kau bekerja maka hasilnya harus untukku sebagai tanda cinta. Kalau aku membelikanmu hadiah maka kau harus memberikan yang berharga dua kali lipat. Weleh...ribet bikin mumet. Satu bule usia 40 tahunan datang bergabung memilih satu pojokan yang sedikit remang untuk melakukan gerakan yoga. Tak lama satu orang brondie, pemuda tanggung usia 20 tahunan dengan perawakan sedang berkulit kecoklatan datang lalu melakukan peregangan otot dan pemanasan ringan. Lalu si bule mendekati si brondie tersenyum dan menyapa ramah. Tak lama kemudian keduanya terlihat asik  mengobrol sambil tetap melakukan peregangan dan pemanasan. Lalu mereka mulai jogging bersama. Wah cepet akrab juga, pikirku. Eits..! Tapi tunggu kayaknya ada yang aneh deh. Kok si bule ramah (rajin menjamah) banget ya? meski hanya pegang bahu, atau tangan tapi sering banget. Mana tatapannya menghujam dalam lagi.... Mereka memutuskan istirahat setelah lelah melakukan yoga yang dilakukan sambil berhadapan. Aih.....  Si bule mengajak si brondie duduk bersebelahan, mereka terlibat obrolan yang seru sambil minum teh botol dingin yang tentu saja dibayari si bule karena kalau melihat penampilan si brondie sepertinya bukan sosok mahasiswa atau pekerja kantoran deh. (ga ada maksud apapun loh! Ini kesimpulan sementara saya). Lalu sambil minum dan bercerita makin lama tangan si bule agak grepe-grepe gitu deh. Aduh..saya yang curi-curi lihat jadi gerah sendiri tapi si brondie cuek aja. Mata si bule itu loh...kok sepertinya menatap si brondie dengan penuh cinta ya? Wah ini masih masuk kategori phedopilia gak ya? Tak berapa lama kemudian, karena malam makin merayap keduanya pun berjalan bersama beriringan saling menyentuh. Wah..kok sekarang pasangan sejenis mulai tak risi menampilkan kemesaraan di depan umum ya? Pulang bersamakah mereka? Oh My God! Si brondie nanti bisa dilecehkan dunk! Tapi tunggu! Apa saya berhak mencampuri urusan mereka? Meski hanya sebagai pengamat saja? Wah...saya tak mungkin melangkah terlalu jauh. Tatapan ingin tahu saya saja sudah tak semestinya mengikuti kegiatan mereka rasanya. tapi tetep ada perasan tak rela si brondie tanggung itu jika memang menjadi pasangan si bule. hadeuh...ini mah masih masuk kategori pelecehan seksual kayaknya. Tapi kalau si brondie menikmatinya gimana? Masak saya yang repot memikirkan akibatnya? Yah...akhirnya aku hanya bisa mengikuti sosok keduanya hingga menghilang di balik tikungan. Saatnya juga bagiku untuk pulang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun