Mohon tunggu...
Shitasatoe Soeripto
Shitasatoe Soeripto Mohon Tunggu... -

mengajar dan menulis, punya usaha sendiri. Suka baca, travelling dan makan.Ingin terus belajar

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Deuxième :La Mystérieuse Maison (2)

7 Desember 2011   01:31 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:44 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Tampang ganteng begini dibilang lebih tua?”katanya menirukan gaya orang-orang yang bertanya. Giliran aku yang ngakak dalam hati. “Rasain lu!” Selesai makan yang super duper kilat dan membuat perutnya tambah membuncit maka berangkatlah kami menuju Sragen di sebuah daerah desa pedalaman yang berbatasan langsung dengan waduk Kedung Ombo yang dulu di jaman pemerintahan Soeharto berkuasa sempat menimbulkan polemik berkepanjangan karena banyak penduduk yang enggan pindah meski telah dipaksa dengan kekuatan militer. Mereka memilih tinggal di desanya yang perlahan-lahan diisi air membuat rumah-rumah mereka seperti berada di kubangan lumpur. Itu yang kulihat dari majalah berita milik bapak. Kalau sekarang, keadaannya seperti apa ya? Sepanjang perjalanan kulihat sawah-sawah tertutupi benih padi dan bawang merah yang menghijau. Bagai permadani di kaki langit, kata Bu Sud di sebuha lagu anak-anak. Tapi memang indah, menimbulkan rasa nyaman kala melihatnya. Seperti harapan yang tertanam untuk menyongsong masa depan yang membentang. Seperti kehidupan baru sepasang suami istri yang baru mengikat janji. Maka tembang Lir-ilir karya Sunan Kalijogo mengiringi rengeng-rengengku sepanjang perjalanan kami. Lir..ilir..lir..ilir.. Tandure wus sumilir… Tak ijo royo-royo tak sengguh penganten anyar… Cah angon..cah angon penekna belimbing kuwi.. Lunyu..lunyu..penekna kanggo seba mengko sore Mumpung jembar kalangane, mumpung padang rembulane.. Yo surak..o…surak..iyo…. Melenggak-lenggok bagai gerakan kipas menari Tanaman sudah melenggak-lenggok tertiup angin Begitu bahagia melihat tanaman menghijau bagai kebahagian pengantin baru Penggembala..penggembala..tolong panjatlah pohon belimbing Meskipun licin tolong panjatlah (ambil buah ranumnya) sebagai persembahan nanti sore Saat halaman luas terhampar, saat purnama bersinar terang Bersoraklah..(sebagai tanda syukur) bersoraklah… “Saat terakhir kali aku bertemu pemilik rumah seorang wanita setengah baya, Ibu Arini namanya ia minta harga 600 juta-an tapi tentu saja cukup berat buat kita jadi aku mundur dari penawaran. Kabar terakhir yang kudengar rumah itu telah dijual beserta seluruh tanahnya pada seorang pengusaha tekstil dari Solo, yang akan menjadikannya sebagai tempat pesanggrahan atau kampung wisata begitulah….karena berdekatan dengan waduk dan kontur tanahnya berbukit-bukit. Tapi belum lama ini dari Pak Sarmun, aku dapat info rumah ini dijual kembali dengan harga jauh lebih murah, sekitar Rp 400-an juta saja. Katanya pemiliknya sudah dapat lokasi yang lebih strategis untuk desa wisatanya,..di daerah Magelang sana. Siapa tahu ini kesempatan kita untuk mendapatkan banyak keuntungan dari sana. Ya khan?” Aku masih sibuk menikmati hamparan hijau persawahan. Setiap pembangunan butuh pengorbanan, meskipun menimbulkan kecaman. Maka daerah persawahan kering, tanpa air, penduduk miskin dan tanah retak-retak yang dulu dijumpai kalau musim kemarau sepanjang wilayah Demak dan Purwodadi kini tinggal cerita usang. Bebek-bebek pun berlari riang di sepanjang pematang mencari cacing-cacing tanah atau siput kecil yang terdampar di areal persawahan. Para petani giat bekerja menggarap sawah dan ladang. Apa yang lebih indah dari harapan yang menjadi kenyataan? “Hoii..kakak! Kau mendengarkan aku tidak? Sudahlah mulutku berbusa-busa bercerita kau asyik melamun saja!” “Aku mendengarkanmu…sekarang harga joglo itu 400-anjuta khan?” “Gitu dong, jangan bengong!” “Aku sedang mencari inspirasi bukan bengong. Sok tahu amat sih..” Kataku bersungut-sungut pura-pura marah. “Berapa lama lagi kita sampai?” “Satu jam lagi kalau lancar, aku pastikan kau betah tinggal di sana. Itu seperti tempat bersembunyi dan menyepi seperti yang selama ini kau idam-idamkan. Sebelum masuk ke sana, kita sholat Dhuhur dulu terus makan swike Purwodadi yang terkenal karena tak ada warung di sana.” “Swike ayam saja, jangan kodok ya.” “Siip lah,..apa sih yang tak kulakukan untukmu?” “Halah gombal…berapa banyak korban rayuanmu?” “Aku rasa gatot! Gagal total! Cuma mempan pada satu orang, istriku tercinta!” Kami pun tertawa bersama, sambil membayangkan Bunga yang sangat lugu namun cinta setengah mati pada adikku yang gendut ini.

Menyanyikan tembang Jawa secara perlahan untuk dinikmati sendiri

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun