Penghapusan Kelas BPJS Bentuk Kecurangan Para Kapitalis?
Oleh: Shita Istiyanti
Pemerintah melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 Tahun 2024, akan mengubah kelas 1,2,3 yang berlaku pada BPJS kesehatan sebelumnya menjadi Kelas Rawat Inap Standar (KRIS). Peraturan ini akan diberlakukan di seluruh RS yang bekerjasama dengan BPJS mulai 30 Juni 2025. Nemun dalam pasal Pasal 103B Ayat 2, RS sudah boleh menerapkan KRIS sesuai kemampuan masing-masing RS (kompas.com 15/05).
Penyeragaman standar kelas dan nilai iuran dimaksudkan untuk menyelesaikan masalah defisit keuangan. Namun hal ini justru akan menimbulkan banyak masalah baru. Pemerintah berdalih bahwa penyelarasan kelas BPJS ini akan menciptakan keadilan bagi seluruh peserta BPJS, karena mereka akan mendapatkan standar pelayanan yang sama. Jika sebelumnya standar pelayanan dibedakan setiap kelas maka dengan sistem KRIS ini semua kelas akan mendapat pelayanan yang sama yang telah ditetapkan oleh pemerintah dalam pasal 46 A Ayat 1.
Namun jika kita meneliti lebih dalam standar kelas yang ditetapkan dalam pasal tersebut, maka standar kelas tersebut jauh lebih rendah dibanding standar kelas 1 dan 2. Misal RS harus menyediakan maksimal 4 bed dalam satu kamar, alias akan ada kemungkinan 1 kamar diisi oleh 4 pasien. Jelas hal ini tidak bisa diterima oleh peserta yang membayar iuran kelas 1 karena mereka turun standar. Bertahun-tahun membayar mahal tapi sekarang malah mendapat pelayanan jauh dari standar.
Sedangkan peserta kelas 3 juga dikabarkan akan membayar iuran yang lebih mahal karena penyetaraan. Jelas mereka juga akan protes dengan kenaikan ini.
Polemik penyetaraan ini jelas akan menimbulkan banyak ketidakadilan hingga macetnya pembayaran pesertanya. Pemerintah terkesan terlalu memaksakan penyetaraan KRIS ini tanpa menimbang-nimbang efek keadilan bagi peserta dan kesiapan rumah sakit dalam menerapkan program ini. Lagi-lagi program pemerintah terkesan tidak pro terhadap rakyat, bahkan pada praktik sebelumnya BPJS syarat akan protes peserta karena pelayanan yang buruk. Sedangkan jika diamati BPJS ini justru sangat menguntungkan bagi para kapitalis alias orang-orang berduit.
Nyawa rakyat dijadikan ajang bisnis, begitulah realita dalam sistem kapitalis. Kebijakan penyetaraan ini jelas akan sangat menguntungkan bagi para penyelenggara BPJS, segelintir orang berdasi yang hanya ongkang-ongkang kaki tapi rupiah terus mengalir. Sistem kesehatan yang harusnya adalah hak seluruh rakyat, nyatanya rakyat harus meronggoh kocek yang tak sedikit untuk berobat. Tidak heran jika ada slogan "rakyat miskin dilarang sakit!".
Problematika ini adalah problem sistemik, dimana sistem tata aturan kita saat ini yang meniscayakan hal ini terjadi. Sistem kapitalisme dimana tolak ukur perbuatannya adalah materialisme akan mengukur segala sesuatu dari sudut pandang untung rugi belaka. Tak heran jika nyawa rakyat bukanlah hal utama yang menjadi prioritas, tapi keuntungan rupiah yang diperolehlah yang menjadi tujuan utama. Paradigma seperti ini jelas salah kaprah!
Melihat problem yang carut-marut tiada ujung ini, penulis teringat dengan sejarah emas umat Islam yang bisa menjamin sistem kesehatan warganya.
Pada tahun 1248M Khalifah Al-Mansur mendirikan rumah sakit di Kairo dengan kapasitas 8000 tempat tidur. Semua fasilitas dan layanan diberikan secara gratis tanpa membedakan ras, suku, agama, dan tanpa batas waktu hingga pasien benar-benar sembuh. Bahkan dikisahkan ada banyak pasien yang tidak mau pulang karena dilayani seperti di hotel bintang lima. Selain obat, perawatan dokter, makanan yang berkwalitas, pasien juga diberi pakaian dan uang saku selama perawatan. Dan hal ini berlangsung selama berabad-abad lamanya. Sekarang RS ini digunakan untuk opthalmology, dan namanya Rumah Sakit Qalawun.Â