Suatu malam, saya mendapat sebuah pesan teks dari seorang sahabat.
"Sita, sita...tau ga, adikmu naruh 3 peniti di rak kaca kamar mandi kami. Oh tidaaaak....!! Gimana dong?" Sobat saya sejak kuliah itu memang punya fobia terhadap peniti (Belonophobia). Kebetulan saat itu dia tinggal satu kost dengan adik saya. Dulu kami se-gank sering menggoda dia. Bukan, bukan dengan tega menyodorkan segepok peniti. Cukup dengan mengulang-ulang kata 'peniti' saja, dia sudah meringis, mengangkat kedua tangan menutupi kuping sambil mengerang sekedarnya untuk menghalau suara-suara kami. Yah, it is that serious... Masa itu sudah lama kami tinggalkan semenjak kami lulus dan mulai berpisah karena kondisi pekerjaan. That's why I couldn't help to laugh when I got her text. Bukannya saya menertawakan penderitaan dia. Tapi saya terbayang wajah kocaknya dan terkenang gojegan-gojegan kere kami dulu... Terlepas dari itu, sang sahabat tampaknya tidak terlalu terganggu dengan fobianya. Maksud saya, selama saya mengenalnya, tidak ada keluhan dan upaya dari dia untuk 'menyembuhkan' fobia tersebut. Bahkan, walaupun dia berkerudung, dia bisa dengan nyamannya menghindari segala macam bentuk peniti dengan memakai jarum pentul atau jepit saja untuk kerudungnya. (Secara pribadi, terus terang saya lebih ngeri melihat jarum pentul daripada peniti) Dan toh, di kehidupan sehari-hari, ada terlalu banyak hal dan kejadian tanpa melibatkan peniti yang dapat mengalihkan perhatiannya. Jadi dia masih bisa hidup enak. Tidak seperti orang dengan fobia ruang tertutup atau fobia keramaian, misalnya. Kecuali satu malam itu, tentu saja, saat adik saya dalam ketidaktahuannya meletakkan 3 peniti di kamar mandi mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H