[caption id="" align="aligncenter" width="546" caption="Ilustrasi metode cuci darah/ Kompasiana (Kompas.com)"][/caption]
Saya, anak kandung dari Bapak Joedono Soegijarto, ingin menyampaikan rasa keprihatin mendalam atas pelayanan Rumah Sakit Palang Merah Indonesia cabang Bogor atas kualitas pelayanan kesehatan yang diterima oleh bapak saya hingga akhirnya meninggal dunia pada tanggal 10 Desember 2013 sekitar pukul 21.45.
Penulisan surat terbuka ini didorong oleh rasa kesedihan dan keprihatian yang mendalam, bahkan mungkin kemarahan, setelah mendengar kabar bahwa salah satu sahabat bapak saya, sesama pasien, dikabarkan meninggal dunia hari ini, Bapak Tomi. Saya ikut sedih dan berduka cita mendalam karena saya secara pribadi mengenal beliau ketika selama beberapa kali mengantar bapak dan beliau merupakan salah satu teman ayah sesama pasien yang sangat kehilangan dengan meninggalnya bapak saya waktu itu. Beliau dan istri menyempatkan melayat ke rumah waktu itu.
Kakak saya dari cerita ibu berkata bahwa telah ada sekitar 11 orang pasien lainnya (perlu konfirmasi ulang karena ibu mendengar dari Ibu Samijan, istri Pak Samijan sesama pasien HD. Ibu mengatakan Pak Samidjan terlihat kuning saat ini) yang meninggal setelah bapak saya atau selama Feb-April 2014. Saya sangat berharap pihak-pihak yang terwenang dan terkait bisa menindaklanjuti dan melakukan perbaikan pelayanan di masa depan.
Sejak Agustus 2012, bapak saya didiagnosa mengalami gagal ginjal akibat komplikasi dari penyakit diabetes yang sudah lama dideritanya. Tingginya kadar kreatinin dalam darah menyebabkan bapak saya harus menjalini terapi cuci darah atau hemodialisis (HD). Bapak saya harus menjalani 2 kali proses HD dalam 1 minggu. Proses HD pertama dilakukan di Rumah Sakit Ciawi. Mempertimbangkan faktor ekonomi dan kebutuhan jangka panjang, akhirnya pihak keluarga memutuskan untuk menggunakan fasilitas Asuransi Kesehatan (ASKES) yang dimiliki oleh bapak saya sebagai pensiunan pegawai negeri. Satu kali biaya proses HD membutuhkan sekitar Rp.500.000 – Rp. 700.000 atau Rp 52 juta- 78 juta pertahun). Biaya yang sangat tinggi untuk ukuran keuangan keluarga kami.
Proses administrasi membutuhkan sekitar 2-3 bulan sehingga akhirnya bapak saya dinyatakan “lolos” uji kesehatan (tidak mengidap HIV dan Hepatitis) dan administrasi (melampirkan surat pengantar dari dokter puskesmas terdekat, surat pengantar dari ASKES dan “jatah” atau slot tersedia di tempat rujukan pasien HD bagi pemakai jasa ASKSES, yaitu RS PMI Bogor). Bahkan, ketika “mengurus” kepastian adanya jatah ini, saudara perempuan saya sempat menerima “gurauan” setir bahwa hal ini harus menunggu kematian pasien. Akhirnya sekitar di bulan November 2012, bapak saya bisa memulai proses HD di RS PMI Bogor.
Sebagai gambaran, proses HD di RS PMI Bogor dilakukan dalam satu ruangan besar semacam bangsal dengan kapasitas 30 puluh buah mesin HD. Dalam satu hari, proses HD dilakukan dalam 3 jadwal, yaitu pagi, siang dan malam. Siklus proses HD membutuhkan sekitar 4-5 jam termasuk persiapan peralatan sebelumnya. Sedangkan, proses HD itu sendiri membutuhkan waktu sekitar 3 jam.
Dengan menghitung kasar jumlah mesin dan jadwal, maka dalam sehari RS PMI Bogor harus melayani proses HD bagi 90 pasien. Jadi mungkin, jatah itu mengacu pada jumlah pelayanan HD ini. Namun dalam praktek sehari-hari, beberapa mesin kadang mengalami kerusakan hingga tidak bisa bisa digunakan. Bahkan, untuk mendukung pelayanan ini, pihak RS hanya menyediakan satu Dokter ahli ginjal (usia Doktor sudah tua dan melewati usia pensiunnya).
Mungkin tingginya biaya operasional bagi seorang dokter spesialis Ginjal, ketidaktersediaan Dokter dengan keahlian ini, atau murahnya biaya kompensasi pengganti dari pihak ASKES menyebabkan pihak RS menilai bahwa satu dokter spesialis ginjal yang memiliki status pensiun sudah memadai mengkontrol sekitar 90 pasien perhari dalam proses HD. Dalam praktek keseharian, dokter memang tidak selalu mengkontrol pasien satu persatu karena ada tenaga medis (suster) yang memberikan standard prosedur proses HD.
Sekitar bulan Januari 2013 (saya check ulang dari data rekam medis), bapak saya pertama kalinya harus melakukan transfusi darah ketika melayani proses HD karena rendahnya tingkat HB, atau sekitar 4-5. Menurut pengakuan ibu saya, yang setia menemani ayah selama menjalani proses ini, bapak sempat mendapat transfusi darah total 2 kali sebelum meninggal. Pada tanggal 8 Oktober 2013, bapak saya mengalami sesak nafas dan terpaksa harus menjalani rawat inap di RS yang sama karena tidak bisa melewati jadwal HDnya.
Sungguh menyesakan bagi kami bahwa ketika kami membaca hasil test lab, bapak dinyatakan positif mengidap virus Hepatitis C. Padahal sebelumnya dinyatakan bersih. Dokter ahli ginjal yang sudah sangat berumur, namun berdedikasi tinggi itu, secara lisan menyatakan bahwa kemungkinan penularan dapat terjadi dari proses transfusi yang ayah lakukan sebelumnya ketika memeriksa bapak sewaktu dirawat di RS itu.
Beberapa hari setelah bapak dinyatakan membaik, bapak saya didampangi oleh saya dan adik ipar saya, dr. Ofan Nunos, melakukan kontrol dan konsultasi tentang tindakan medis selanjutnya bagi penanganan hepatitis ini. Bisa dibayangkan kekhawatiran keluarga rasakan dengan “tambahan” penyakit Hepatitis yang berkontradiksi dengan penyakit diabetes menahun ayah. Bahkan bapak sempat berekspressi, “mau cari sembuh kok ditambahi penyakit lagi”. Dalam sesi konsultasi ini, kami menyampaikan kekecewaan dan keprihatian terhadap kondisi ini.
Secara mengejutkan, kami mendengar sang dokter berdedikasi itu dengan nada tanpa daya menyatakan tingkat 40% sebagai gambaran kemungkinan tertularnya para pasien HD di RS ini terhadap virus Hepatitis ini. Penularan ini, selain dari proses transfusi, bisa juga akibat sanitasi mesin HD. Ya, kami sebelumnya memang sering mendengar keluhan dan melihat tentang kondisi tua dan standard perawatan mesin-mesin HD itu. Dokter berusia itu pun, menunjukkan ekspresi tanpa daya ketika sedikit didesak tentang kondisi “mesin-mesin” itu. Sebuah bahasa tubuh yang penuh arti bagi saya dan adik ipar saya tentang ketidakberdayaan dia terhadap mengatasi manajemen dan quality control RS ini. Bahkan di RS ini, tidak ada pemisahan antara para pasien HD mengidap Hepatitis dan Non-Hepatitis.
Ya, ayah saya memang “masih” diperbolehkan menerima pelayanan HD di RS ini sejak dinyatakan positif Hepatitis sekitar tanggal 12 Oktober 2013 hingga meninggal 10 Desember 2013 kemudian. Walaupun, ibu saya sempat merasakan “resah” dan ketakutan untuk mengakui ayah terjangkit virus mematikan ini. Bahkan karena desakan ibu dan ayah, kami, anak-anak memutuskan untuk meredam emosi dan menahan diri untuk tidak protes dan menuntut apa-apa saat itu untuk minta penjelasan dan pertanggungjawaban lanjutan. Kedamaian ibu dan bapak menjadi lebih penting bagi kami waktu itu. Walaupun rasa sesak di dada dan penyesalan masih menghantui kami, seluruh anak-anak, waktu itu.
Pada tanggal 6 Desember 2013, seperti biasa ayah melakukan proses HD ini. Jadwalnya memang setiap Senin dan Jumat. Siang itu, saya bersama kakak dan keponakan, mengantar bapak dan ibu ke RS hari ini. Bapak masih bisa jalan, walaupun rasa lemah dan lelah memang terpancar dari dirinya. Sekitar sore jam 5, ibu mengirimkan sms mengatakan bahwa selesainya mungkin agak lama. "Biasa mesin error lagi". Baru sekitar jam 8 malam, saya menjemput bapak. Saya sangat terkejut ketika melihat kondisi bapak yang jauh menurun dari siang harinya. Bapak terlihat sangat lemah dan tidak bisa jalan bahkan mengerakkan kedua kaki dan tubuhnya. Seorang perwat terpaksa mendorongnya dengan kursi roda untuk membawa ke mobil.
Sejak malam itu, kondisi bapak terus menurun hingga akhirnya terpaksa dirawat inap kembali di RS yang sama pada hari Senin, 9 Desember 2013. Di rumah, secara mengejutkan ibu bercerita kondisi bapak melemah setelah beliau menelan obat “paracetamol” yang diterimanya dari seorang perawat yang berinisiatif sendiri ketika bapak mengeluh demam. Ya Allah, masak penderita Hepatitis C diberikan paracetomal yang bersifat kontradiksi untuk penyakit hati? Saya dan saudara-saudara sempat “menyalahkan” ibu mengapa membiarkan kejadian ini bisa terjadi.
Banyak pertanyaan yang muncul ketika itu, mengapa seorang perawat tanpa konsultasi dokter bisa memberikan obat? (walaupun itu obat bebas yang bisa gampang dibeli). Apakah perawat-perawat tidak punya pengetahuan umum mendasar tentang jenis obat? Padahal dengan mudah kalau kita beli obat jenis paracetamol, di belakang kemasan tertera informasi indikasi kontradiksi dengan penyakit hati.
Hari Sabtu dan Minggu, kondisi bapak semakin memburuk. Bapak mengeluh badan berat dan tidak bisa bergerak. “Badan bapak kayak besi, rasanya”, ujarnya tanpa daya waktu itu. Kami tidak ada pilihan, karena sabtu-minggu tidak ada jadwal praktek dokter tua berdedikasi itu.
Baru di hari senin pagi, saya, ibu dan adik saya membawa bapak ke RS. Hari itu, kami sempatkan mampir untuk memeriksa tingkat bilirubin bapak selain keratinin nya. Ya, setelah divonis mengidap Hepatitis C, keluarga memutuskan membawa Bapak ke dokter ahli hati di Jakarta sebagai “second opinion” dalam mengatasi kemungkinan komplikasi yang terjadi. Harapan selalu ada karena penyakit hepatitis bisa disembuhkan dengan menyuntikkaan semacam “interveron” beberapa kali.
Sebelum melakukan itu, harus dilakukan semacam test untuk menentukan tingkat stadium penyakit ini. Ya, penyakit Hepatitis C mungkin sudah bisa digolongkan sebagai “kanker hati”, sehingga bapak sempat menjalani biopsi. Hasilnya, positif di stadium 2, artinya bisa dilakukan terapi inteveron ini. Namun, suntikan ini hanya bisa dilakukan jika tingkat bilirubbinnya sesuai. Jika tidak, “bisa mati dia”, begitu ekspressi ahli hati itu, ketika saya dan adik saya sedikit mendesak bertanya kepadanya mengapa bapak tidak bisa cepat-cepat diberikan suntikan ini paska hasil biopsi telah kami terima. Ya, memang, hingga meninggalnya, bapak belum sempat menjalani terapi ini karena kadar bilirubin nya yang selalu tinggi. Obat tidak mampu menurunkannya.
Kembali kepada peristiwa hari Senin, 9 Desember 2013, kondisi bapak memang sudah sangat memburuk. Sama sekali tidak bisa mengerakan badan. Badanya demam. Setelah konsultasi, dokter tua berdedikasi itu langsung memutuskan rawat inap setelah memeriksa kondisi bapak. Oh ya, hari itu, Kami bertemu Pak Tommi yang mendampingi kakaknya yang ingin mulai proses HD juga. Kakak Pak Tommi inilah yang akhirnya menggunakan "jatah" Bapak untuk diterima proses HD kemudian hari. Saya bertemu dengan Pak Tommi di RS PMI ketika mengurus rekam medis untuk asuransi Bapak. Dan kini, Pak Tommi dan kakak-nya pun telah meninggal. Mungkin mereka bertiga sudah ber-reuni sekarang :-).
Kembali kepada cerita bapak, intervensi medis hanya akan dilakukan USG untuk melihat kondisi hatinya. Bahkan, bapak terpaksa diinfus, yang sempat membuat kami khawatir karena penderita ginjal harus membatasi konsumsi cairan yang masuk. Sekitar sore harinya, adik saya sempat beradu argumen dengan seorang perawat yang hendak memberikan “kembali” paracetamol kepada bapak untuk membantu menurunkan panas tubuhnya. Ya, Allah, gimana ini RS?, batin saya dalam hati saat itu. Dengan kesal adik saya menjawab, “bukan menolak, tapi memang “TIDAK BOLEH”, ketika perawat itu mengatakan “berarti ibu menolak ya”.
Saya benar-benar “awam” dengan segala prosedur dan sistem pelayanan kesehatan dan rumah sakit. Tapi logika saya hanya berpikir tentang hirakri otoritas pemberian obat berdasarkan data rekam medis pasien, bagaimana diagnosa dilakukan, kondisi gawat darurat, kesinambungan sistem perawatan jika berganti unit perawatan bahkan dokter dan lain sebagainya. Apalagi pro-kontra tentang dokter Ayu dan demo dokter tengah marak dikupas oleh media saat itu. Ah, gambaran sistem kesehatan yang “menakutkan” di negeri tercinta saya, Indonesia. Bagaimana jaminan kualitas kontrol dilakukan dalam sistem pelayanan kesehatan?
Peristiwa ini tentu mengugah memori saya kembali, dan bertanya dengan kualitas kontrol stok darah-darah di RS PMI itu. Bagaimana screen anti HIV dan Hepatitis dilakukan? Apakah berhenti berdasarkan “pengakuan” calon donor ketika mengisi formulir atau ditanya petugas donor darah, atau test lab lanjutan tetap dijadikan standar umum quality control di setiap Unit Donor Darat PMI seluruh Indonesia?
Menurut info seorang teman dokter, biaya test lab untuk memeriksa keberadaan virus HIV/Hepatitis sekitar Rp.100.000 – Rp. 150.000 (entah untuk satu item atau keduanya). Ya, biaya “perawatan” yang sangat besar memang untuk memastikan mendapatkan stok darah transfusi yang bersih. Pertanyaan-pertanyaan itu terus menghantui pikiran saya hingga kini, apalagi sebelumnya telah ada pemberitaan di media tentang kontaminasi stok darah transfusi yang tidak bebas virus HIV. Semoga Kepada UDD PMI bisa selalu memastikan tingginya quality control stock darah-darah tersebut.
Keesokan harinya, kondisi bapak makin buruk, bahkan mengalami sesak nafas. Suhu tubuhnya hingga 38 C, padahal bapak harus menjalani proses rutin HD setiap selasa. Bantuan oksigen sudah dilakukan. Bicaranya makin tersenggal-senggal. Proses HD tidak bisa dilakukan jika suhu tubuh masih tinggi, mungkin bisa fatal akibatnya. Karena desakan keluarga terutama ibu, akhirnya bapak disempatkan untuk dibawa ke ruang HD, walaupun diputuskan tidak bisa dilakukan karena demamnya pada akhirnya.
Ya, bapak sempat bertemu Bapak Tomi, sahabatnya, saat itu. Seperti sudah tanda-tanda, jika saya memahami dari masa sekarang melihat ke belakang, Bapak seperti berpamitan dengan ruangan dan para sahabat sesama pasien yang telah menjadi bagian hidup dan rutinitasnya selama lebih dari satu tahun terakhir. Mungkin saat ini, Bapak dan Pak Tommi sudah bersapa ria dan bincang seperti biasa mereka berdampingan tempat tidur ketika melakukan melakukan proses HD. Ketika melayat ke rumah, Pak Tommi sempat menyatakan kesedihan mendalam dan kehilangan Bapak.
Saat itu, adik saya yang dokter, sempat berbisik, “Pak Tommi sudah kelihatan kuning juga ya”. (Tanda-tanda fisik penderita Hepatitis karena tingginya kadar bilirubin). Bahkan dia mengakui bahwa darahnya sempat “muncrat” ketika dia secara tidak sadar ingin menyapa atau mengejar bapak yang kala itu didorong keluar dari ruang HD. Ah, Pak Tommi.
Ya, akhirnya Bapak menghempuskan nafasnya yang terakhir sekitar pukul 21.45 malam itu. Selasa, 10 Desember 2013. Tepat di usia 65 tahun 2 bulan dari tanggal lahirnya 10 Desember 2013. Hari itu bapak dirawat di ruang Silver 10. Salah satu “amanat” bapak terakhir, adalah tentang akad nikah pernikahan adikku pada jam 10, tanggal 11 bulan 12 tahun 2013. Untaian angka-angka yang indah mewarnai hari-hari terakhir bapak. Seorang om, bahwa sempat berkata kepada saya “angka keramat bapakmu itu, 10111213”.
Ya, adikku yang beradu argument dengan sang perawat di malam sebelumnya, memang sedang menyiapkan pernikahannya yang semula direncanakan tanggal 12 Januari 2014. Akhirnya amanat terakhir bapak bisa kami jalankan. Sebelum pemakaman bapak di esok harinya, adik saya melaksanakan akad nikah di depan jenazah bapak pada jam 10, tanggal 11 bulan 12 tahun 2013 itu, dengan wali, adik bapak dari Cilacap.
Ya, memori yang sangat menyayat hati memang, ketika bapak mulai memejamkan mata, seperti tidur pulas dengan senyum, ketika malam itu, bapak telah melihat adik kandungnya hadir. Seperti tanda, bahwa perasaannya yang menganjal dirinya lenyap karena beban tugasnya untuk mewalinikahkan anaknya, adik saya, dapat dilimpahkan ke adik kandungnya.
Adik saya yang mau nikah itu, sempat pingsan. Kakak dan salah satu adikku tidak "memenangi" kepergiaan Bapak. Mereka menangis sejadinya keketika tiba di rumah sakit setelahnya. Keesokan harinya, setiap orang yang akan menghadiri pemakaman Bapak pasti terkejut dan menangis, ketika tiba-tiba, om saya, adik bapak yang lain, mengumumkan bahwa sebelum sholat jenasah dan pemakaman, ada proses akad nikah adikku.
Berita kematian Pak Tommi hari ini sungguh sudah mengoyak luka dan memori saya pribadi tentang bapak. Sebuah rasa resah dan ketidakberdayaan yang rasa alami selama ini tentang kondisi layanan kesehatan di Indonesia. Saya akui, saya “lemah” atau bahkan “munafik” ketika itu saya dan keluarga diam. Kakak saya sempat menerima sms berduka cita dari perawat yang memberikan bapak obat “paracetamol” itu, dan saya turut membacanya. Sekali lagi, ibu dengan kerendahan hatinya dan hanya ingin kedamaian, meminta kami tidak “memperpanjang” masalah obat itu lagi.
Lemah karena tidak bersuara tegas dan munafik karena pura-pura tetap tersenyum menerima pelayanan mereka ketika saya dan kakak saya kembali ke koridor dan ruang-ruang RS PMI Bogor ketika harus mengurus surat keterangan kematian dan berkas rekam medis bapak untuk klaim asuransi. “Kita masih butuh mereka”, begitu selalu kata ibu. Kami memang tidak ingin membawa pengalaman kami, kasus ini, ke ranah hukum sebagai delik hukum yang akan menguras tenaga, pikiran, hati, bahkan mungkin keuangan kami. Membayangkan untuk menjalani proses hukum di Indonesia sudah merupakan mimpi buruk sendiri.
Ya, itulah lemahnya dan munafiknya saya. Tapi saya dan keluarga tetap ingin keadilan. Mungkin “kedamaian” yang ayah dan ibu selalu inginkan harus kami dapatkan melalui “diamnya” kami. Tanggal 18 Maret 2014 kemaren, kami baru mendoakan 100 hari kematian bapak. Kadang terdengar suara justifikasi konyol, “Orang Jawa emang harus jaga harmoni, tidak suka cari masalah”. Tapi berita kematian pak Tommi dan beberapa pasien lainnya kembali mengusik rasa keadilan saya. “Kedamaian” yang kami rasakan seakan tergoyak lagi dengan rasa penyesalan, “Kita membuang kesempatan untuk mencegah sesuatu yang buruk” di masa depan.
Terus terang, saya tidak tahu pasti penyebab kematian pasien lain teman bapak itu. Namun, saya pun tidak ingin merasakan penyesalan lagi karena tidak MAMPU BERSUARA LEBIH KERAS. Saya tidak menuntut apa-apa, hanya perhatian, perbaikan bahkan peningkatan standar kualitas pelayanan di RS PMI Bogor. Kontrol ketat tentang kualitas darah, mesin-mesin HD, pemisahan pasien yang terjangkit Hepatitis/HIV atau pasien “bersih” lainnya, kapasitas dan kualitas Doktor yang mumpuni, standar pemberian obat terhadap pasien atau bahkan kenaikan gaji dan fasilitas bagi para tenaga medis di pelayanan HD RS PMI Bogor. Slogan “ORANG MISKIN TIDAK BOLEH SAKIT” seakan begitu nyata dalam menggambarkan kualitas layanan kesehatan di Indonesia.
Semoga Ketua Umum PMI dan Kepala UDD tergerak hatinya untuk melakukan evaluasi ulang kepada sistem pelayanan HD nya, atau bahkan mampu meningkatan kualitas pelayanannya. Mesin-mesin HD itu adalah penompang hidup para penderita gagal ginjal karena mampu meningkatkan kualitas hidup mereka. Atas dasar kemanusiaan, mereka mempunyai hak hidup yang sama dengan orang lainnya. Ketergantungan mereka terhadap mesin-mesin jangan hanya dinilai sebagai subjek yang direpresentasikan dari deretan angka biaya operasional yang hanya bisa menghasilan keuntungan RS atau tidak.
Saya dengar status RS PMI Bogor adalah swasta dan bukan milik pemerintah (mungkin bisa diklarifikasi ulang). Mendengar kata swasta, ideologi “kapitalis” sudah menghantui relung pikiran saya tentang “semangat” pelayanan yang berdasarkan cost-analyis “untung-rugi”. Aah, mungkin pikiran saya terlalu menyederhankan sebuah ideologi dan cenderung “stigma”. Di tengah hiruk pikuk perta demokrasi di Inonesia yang menghargai suara setiap warga negaranya, saya masih menaruh harapan bagi perbaikan di Indonesia.
Semoga surat terbuka ini mengugah semua orang yang berwenang dan mampu membuat perubahan untuk bisa mewujudkan peningkatan kualitas pelayanan kesehatan sebagai pemenuhan hak asasi setiap manusia Indonesia. Kronologis yang saya sampaikan hanya berdasarkan pengalaman pribadi dan materi pembicaraan yang berkembang dalam keluarga. Tidak ada “bukti” tertulis, rekaman atau dokumen lainnya sebagai referensi, selain kartu pasien PMI, kartu ASKES, beberapa hasil check lab rutin, hasil biopsi dan tagihan rumah sakit selama perawatan.
Saya putuskan untuk menulis surat terbuka ini hanya untuk memenuhi kebutuhan atas rasa keadilan saya tanpa maksud menjelekkan pihak manapun sebagai salauran yang saya tahu. Semoga saya tidak terjerat kasus "pencemaran nama baik" di kemudian hari dan hanya berkeinginan dan bermimpi tentang perubahan radikal tentang sistem pelayanan kesehatan di Indonesia secara struktural dan menyeluruh atau bukan sekedar "jualan program" di kala masa-masa pemilu saya.
Shiskha Prabawaningtyas
Berlin, Jumat, 4 April 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H