Pada awalnya maaf sangat bermakna. Tak mungkin pula aku berkeras hati. Â Manusia secara umum tak lepas dari khilaf dan kesalahan. Secara pribadi akupun tak lepas dari salah dan khilaf.
Sejatinya manusia itu harus bisa saling memaafkan. Kemudian bersama menata kehidupan selanjutnya dengan lebih baik.
Berharap ada perubahan dalam sikap selanjutnya yang mendukung tujuan awal kebersamaan dalam bahtera ini. Kita inginkan bahagia mewarnai hari-hari selanjutnya.
Peristiwa yang telah berlalu selayaknya menjadi pengalaman yang berharga. Pembelajaran yang sangat mahal dan jangan sampai terulang lagi. Kejadian yang berulang dan jelas merugikan serta menyakitkan kembali kamu lakukan. Maaf pun berulang pula kamu ucapkan kembali dengan bumbu janji tak mengulang lagi.
Kata permohonan maaf itupun jadi terlalu sering keluar dari mulutmu. Aku pun tak lagi dapat menemukan keseriusan artinya. Akupun tak lagi dapat memahami diriku sendiri. Alasan apa yang memberikanku kekuatan untuk terus menerima kata yang sama itu terus menerus.
Awal bahtera ini terbentuk, kata maaf itu mengobati hati yang masih banyak perlu belajar penyesuaian. Saat mulai hadir sulungku, menjadi alasan selanjutnya ku bertahan. Dilanjut dengan hadirnya bungsuku. Entahlah apakah mereka alasan yang tepat untuk bertahan.
Memberikan sebuah keutuhan keluarga adalah tekadku. Ada banyak kisah dan pengalaman tak nyaman mengenai ketidak utuhan sebuah keluarga. Aku mau memberikan keutuhan keluarga bagi anak-anak ku. Â Waktu berjalan perlahan membuka mata mereka juga pada akhirnya.
Seberapa kokohnya kesatuan yang bertahan sampai kini, jangan lah ditanyakan. Kali ini aku yang minta maaf pada kalian anak ku. Bertahan ku selama ini bagi kalian mungkin bukanlah alasan yang tepat. Tuhan pasti menolong setiap kita temukan damai sejahtera bagi  setiap kita.
Bandung. 17 Oktober 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H