Kalau tidak salah waktu itu tanggal 8 Maret sekitar jam setengah empat minggu pagi. Saya mendapati beberapa sms di telfon genggam saya yang kurang lebih sudah beberapa hari tergeletak di pojok kamar. Salah satu SMSnya berisi permintaan kepada penulis untuk menulis tentang Caknur. Tulisan itu nantinya digunakan untuk kebutuhan mengisi salah satu kolom (baca: kolom Caknur) buletin baru Pers Mahasiswa Universitas Paramadina -PARMAGZ yang akan diterbitkan akhir maret nanti. Sekarang edisi pertamanya ada di tangan pembaca.
Karena ini adalah tulisan yang pertama kali dalam edisi ini. tentunya memiliki tantangannya tersendiri. Pertama, bahwa setiap tulisan pada edisi pertama secara psikologis “menanggung beban” untuk memberikan pengantar menuju isu pada tulisan-tulisan selanjutnya. Terkhusus kolom ini. Kedua hal itu kemudian menjadi tidak mudah ketika dimana orang yang akan kita tulis adalah orang yang memiliki mozaik yang cukup kaya dan begitu kompleks baik dari segi konten maupun isu. Padahal harus ditulis secara singkat juga terbatas. Dan Terakhir, adalah tentunya kesulitan penulis untuk memikirkan apa sebenarnya hal yang tak kalah penting yang perlu diangkat lagi dari ratusan tulisan-tulisan tentang Caknur yang pernah ditulis oleh generasi setelahnya. Dan masih memiliki relevansi dengan generasi kita ini.
2014. Tentunya sudah dimengerti oleh semua bahwa tahun ini adalah tahun perhelatan besar di negara kita. Pesta demokrasi sebentar lagi akan diadakan untuk yang kelima kalinya semenjak reformasi. Di tengah sibuknya kasak-kusuk politik di tingkat elit, seluruh masyarakat justru cenderung bingung akan menggantungkan nasib baik kehidupan jangka pendeknya apalagi jangka panjangnya pada siapa. Sebab masih juga ada kesan ketidak jelasan akan kemana nahkoda bangsa ini kelak di arahkan. Belakangan harapan itu ruapanya muncul di hati masyarakat kepada salah satu sosok bernama Jokowi dengan gaya “politik-blusukan”nya dalam memimpin Jakarta. Meskipun tentunya tidak lepas dari segala kontroversinya. Seperti yang paling terakhir adalah pro-kontranya pencalonannya sebagai presiden justru di tengah-tengah masa kepengurusannya belum selesai.
Terlepas dari hiruk pikuk itu semua. Belum lama sebelum tulisan ini dibuat. Beberapa mahasiswa Paramadina sempat mencegat Jokowi-Anis untuk menandatangi “Petisi peradaban” setelah mengadakan diskusi publik di Auditorium Universitas Paramadina. Setelah ditelisik, gagasan mereka sederhana tetapi menurut penulis begitu penting. Yang intinya. Bahwa kedua orang yang di gadang-gadang sebagai aktor “muda” dalam bursa politik 2014 disuruh menandatangi Petisi yang berisi harapan akan bangkitnya Anak muda untuk turut serta membongkar kebuntuan peradaban di negara kita. Petisi itu berisi tentang panggilan kepada generasi baru Indonesia untuk mengawal itu semua. Sebagaimana semangatnya pernah dilakukan oleh Caknur semasa muda pada masa dan konteksnya. Petisi itu kemudian pada akhirnya juga di tandatangani oleh 50-an mahasiswa Universitas Paramadina dari berbagai jurusan.
Caknur dan perjuangan wacana polemik keagamaan
Menggunakan kerangka Taufik Abdullah dalam tulisannya yang berjudul (-gelombang) “Pemikiran islam di nusantara dalam perspektif sejarah.” Islam masuk ke Nusantara (-sampai pada generasi Caknur) adalah merupakan gelombang yang kelima.
Gelombang pertama terjadi pada abad 13-an akhir yang diindikasikan oleh penemuan arkeologis di Pasai berupa batu nisan. Berita-berita dari Marcopolo dan Ibnu Batutah dan beberapa hikayat-hikayat seperti hikayat raja pasai dsb. Gelombang pertama dipenuhi oleh warna-warna yang di dominasi oleh cerita-cerita kepahlawanan dan pembentukan-pembentukan komunitas islam dsb.
Gelombang kedua terjadi terjadi sekitar abad 15-an yang memiliki corak Tasawuf sebagai konsekwensi lanjutan dari corak gelombang penyebaran islam pertama sebelumnya. Corak ini hadir untuk menanggapi konteks Animistik dan Hinduistik yang memiliki penekanan kepada perenungan-mistis terhadap realitas atau hakekat tertinggi. Puncak gelombang kedua ini terjadi pada abad 17-18an.
Gelombang ketiga sekaligus mengakhiri gelombang kedua muncul dengan gejala kecenderungan Fiqh yang semakin menguat. Kecenderungan ini tidak menghendaki berbagai macam bentuk Khurafat yang pernah bisa diakomodir oleh kecenderungan tasauf. Pertentangan antara kalangan syareat dan tasauf. Bergesernya bentuk sufisme pribadi kepada sufisme tarekat juga menjadi. Pertentangan antara kalangan tarekat ortodoks dan heterodoks. Berdirinya pesantren-pesantren dengan kurikulum yang hampir serempak di seluruh Nusantara juga menjadi beberapa ciri dari generasi pada gelombang ini.
Gelombang keempat hadir dalam wajah politik yang diawali oleh wajah “pan-islamisme” dan mulai muncul islam bercorak global sebagai respon pertama terhadap gejala kolonialisme yang dilakukan oleh Barat terhadap dunia timur terkhusus islam. Benih-benih ini memang muncul melalui adanya fakta kebangkrutan politik dalam dunia islam secara keseluruhan dan perjumpaan kembali dengan peradaban barat yang mengalami kemajuan pesat terutama di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Kecenderungan “ideologisasi-islam” sebagai landasan “sitematis” sebagai strategi menghadapi peradaban barat menjadi dominan pada abad 19-an. Meskipun berbagai macam respon hadir dan berkonstelasi disana dengan segala macam variannya. Dari mulai seruan kembali kepada akar ortodoksi islam yang paling asal sebagaimana yang diperjuangkan oleh Abdul Wahhab. Sampai yang bercorak modernisasi total seperti apa yang dilakukan oleh Mustafa kemal di Turki.
Pada lanjutan fase inilah gelombang kelima hadir dalam bentuk/warna “wacana pembaruan agama” di bidang intelektual yang merupakan respon islam secara kebudayaan dalam menghadapi kebangkrutan peradaban islam tersebut. Wajah Gelombang kelima inipun memiliki babakannya tersendiri dalam perjalanannya apabila kita melihatnya dengan lebih rinci lagi. Babak pertama adalah babak yang kasusnya hampir “meniru” kejadian ditingkat globalnya. Yaitu wajah “polemik-keagamaan” antara kaum modernis dan ortodoks yang terjadi sepanjang empat-puluhan tahun pra kemerdekaan indonesia sampai dua-puluhan tahun setelah kemerdekaan indonesia. sedangkan pada babak kedua terjadi setelahnya sampai pendirian ICMI pada tahun 80an sebagai bentuk kristalisasi pemikiran dalam bentuk institusi. Babak kedua ini dicirikan dengan kasadaran kritis baik kepada “modernisme juga kepada ortodoksi tradisi” baik kebudayaan maupun agama. Kesadaran generasi ini membuat mereka mampu meninjau secara kritis tradisi yang mereka miliki serta sekaligus mampu mengelaborasinya dengan penemuan-penemuan modern dengan tidak hanya sekedar membebek.
Dari serangkaian penjelasan di atas. Sosok Caknur sendiri tentunya memiliki posisi eksistensial dalam seluruh pergulatan tersebut. sudah barang tentu bahwa Caknur adalah salah satu aktor yang ikut berbaris bukan di gerbong intelektual. Sebagaimana dikatakan di atas jugas bahwa generasi Caknur adalah generasi yang telah menyadari secara kritis apa itu modernisme dan juga tradisionalisme kelebihan-kekurangannya. Pada posisi ini generasi muda zaman Caknur berdiri pada tiga kaki. Selain kawan-kawan segenarasinya yang bergerak dibidang advokasi praksis sosial-ekonomi dan kerja-kerja intelektual murni. Setiap posisi sudah pasti memiliki tantangan kreativitasannya tersendiri. Termasuk bagamana pola hubungan dengan politik dalam pengertian khususnya adalah negara. Caknur berdiri melakukan advokasi kesadaran pemikiran keagamaan, kemoderenan dan kenegaraan (baca:indonesia). Posisi yang dipilih caknur adalah posisi dimana ketiga cita-cita ideal tersebut kebangsaan-kenegaraan, kemoderenan dan keagamaan bisa berjalan sejalan tanpa saling meniadakan.
Caknur dan perjuangan basis sosial pada masanya
Secara sosial dan ekonomi, generasi Caknur adalah generasi dimana umat islam sudah mulai memiliki kesadaran untuk “mengambil” bahkan “merebut” peranan pentingnya gerakan ekonomi dalammembangun kondisi umat islam yang tertinggal. Hal ini memang bukan hal yang baru di mana pernah juga ada beberapa gerakan ekonomi seperti sarekat dagangnya Tjokro (1911) sampai Nahdatut Tujjarnya kalangan tradisionalis (1918). Tetapi generasi ini memiliki ciri khasnya tersendiri yaitu berupa gerakan ekonomi dalam kerangka pembangunan negara-bangsa Indonesia yang modern yang itu dikawal oleh kekuatan negara itu sendiri (baca: orde baru).
Kesadaran yang dipelopori anak-anak muda ini muncul dalam kondisi dimana pemerintahan Orde-baru pada awalnya lebih mementingkan kalangan asing dan juga pemodal-pemodal besar dalam kebijakannya pada tahun 1968-67 yang dimaksudkan untuk menghimpun seluruh potensi ekonomi dalam negri. Kekecewaan ini berpuncak pada pristiwa MALARI 1974 dan di akhiri dengan kebijakan Pelita 2 yang lebih berpihak pada industri kecil dan pertanian daerah yang merupakan basis sosial-ekonomi mayoritas umat islam di Indonesia. Ditambah lagi pada era orde-lama, kalangan islam baik yang modern maupun Tradisional dituduh oleh negara sebagai gerbong “ekonomi-kapitalis” yang diwakili oleh Masyumi dan benteng “ekonomi-feodal” yang diwakili oleh NU. Propaganda ini berasal dari kalangan PKI yang “membisiki” orde-lama yang hendak mengusung corak ekonomi-Komunistik untuk indonesia. Hal ini disampaikan oleh Dawam Raharjo dalamJurnal Prisma edisi Maret 1991 dalam tulisannya yang berjudul “basis sosial pemikiran islam di indonesia sejak orde baru.”
Caknur, lahir sebagai sosok intelektual pada fase kesemuanya ini. Dan sekarang, pertanyaannya adalah. Kita sebagai generasi yang lebih muda lagi sudah berada di fase mana dan sudah melanjutkan perjalanan bangsa ini sampai mana? Apakah sudah semakin maju, atau justru sebaliknya. Semakin mundur. -sekian
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI