Mohon tunggu...
Shintya Dewi Arini
Shintya Dewi Arini Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

Mahasiswi jurusan Sejarah Peradaban Islam yang memiliki ketertarikan di bidang kepenulisan dan jurnalistik. Menjadi kontributor di Kompas Muda dan freelancer di beberapa situs.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Fenomena Silent Majority: Ketika Generasi Z Memilih Mundur dari Panggung Demokrasi

21 Desember 2024   14:58 Diperbarui: 21 Desember 2024   14:58 13
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Generasi Z adalah sebuah istilah untuk menyebut mereka yang lahir antara 1997 sampai 2012. Mereka tumbuh di era pesatnya informasi global dengan akses tanpa batas untuk memperoleh berbagai hal hanya dengan internet. Hal tersebut tentu saja berbeda dengan generasi sebelumnya, mereka tidak hanya sekadar menerima informasi, mereka mengolahnya dengan kritis yang tidak jarang justru melahirkan sikap skeptisme terhadap mekanisme demokrasi di Indonesia.

Dalam gerak sejarah demokrasi di Indonesia, terdapat suatu fenomena yang perlahan mulai mengubah sedikit demi sedikit pondasi dari partisipasi politik, salah satunya yaitu keengganan para Generasi Z untuk ikut berpartisipasi dalam proses pemilihan umum. Mungkin tidak semua Generasi Z seperti itu, akan tetapi seperti inilah fenomena yang marak terjadi sekarang ini. Bilik suara yang seharusnya menjadi ruang penyaluran aspirasi, kini berubah menjadi sebuah momen yang penuh dengan keheningan dari generasi muda. Terdapat banyak remaja yang turut serta berkontribusi dalam memilih, namun tidak sedikit pula yang memilih untuk bungkam tanpa suara.

Rangkaian pengalaman mereka memperlihatkan suatu realitas politik yang bisa dibilang jauh dari kata ideal. Janji para calon pada saat kampanye terkadang berubah menjadi omong kosong, membuat para generasi muda berpikir apakah benar janji tersebut akan terlaksanakan?

Selain itu kasus korupsi yang sudah merajelela di kalangan para petinggi dan menjadi budaya, serta representasi politik terkadang hanya mementingkan kepentingan pribadi saja daripada kepentingan publik. Semua ini kemudian membentuk semacam trauma kolektif bagi para generasi muda.

Informasi terkait demokrasi juga dapat ditemukan melalui media sosial, bahkan saat ini media sosial juga sering dianggap sebagai ruang demokratisasi. Namun, bagi Generasi Z, hal tersebut justru menjadi bukti sebuah kerapuhan sistem, dimana mereka melihat bagaimana sebuah informasi dapat dimanipulasi, kemudian opini yang bisa dibentuk secara artificial, dan adanya debat politik yang berubah menjadi arena pertarungan yang tidak bermartabat. Platform digital yang seharusnya menjadi sebuah sarana partisipasi politik justru menghadirkan sebuah pengalaman yang sangat mengecewakan. Dimana algoritma kemudian membentuk sebuah polarisasi, buzzer yang semakin mendominasi, dan praktik politisasi identitas telah mencederai harapan terhadap ruang dialog yang sehat dan konstruktif.

Fenomena golput atau memilih untuk tidak memilih bagi Generasi Z bukan merupakan sebuah tindakan yang apatis, melainkan sebuah pernyataan protes diam-diam terhadap sistem yang dianggap tidak kredibel. Ketika para generasi muda ini memutuskan mundur dari bilik suara, sebenarnya mereka sedang mengirimkan sebuah sinyal bahwa sistem ini perlu direformasi secara menyeluruh. Bahkan statistik memperlihatkan semakin banyaknya fenomena viral di sosial media terkait politik yang semakin mengkhawatirkan. Partisipasi para pemuda dalam beberapa periode pemilu terakhir ini menunjukkan penurunan yang cukup signifikan. Bukan hanya karena mereka tidak peduli, akan tetapi karena mereka terlalu peduli untuk sekadar menjadi bagian dari permainan politik yang dianggap tidak bermartabat.

Di balik sikap mundur ini, tersimpan potensi perubahan yang luar biasa. Generasi Z adalah generasi terdidik dan melek teknologi. Mereka juga memiliki kemampuan untuk membayangkan sistem politik yang jauh lebih baik. Sehingga diperlukan adanya pendekatan baru untuk mengembalikan kepercayaan mereka. Reformasi politik bukan hanya sekadar bagian dari seni retorika belaka, hal demikian adanya kebutuhan mendesak. Transparansi, akuntabilitas, dan representasi yang asli harus menjadi prasyarat utama terlaksana politik yang demokratis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun