Hari-hari selanjutnya berjalan seperti biasa lagi. Datar saja tapi sibuk. Sampai aku lupa sosok itu. Hingga suatu hari aku melihat seorang anak lelaki sebaya denganku, tengah berjalan dengan kakeknya.Â
Tiba-tiba saja pikiranku melayang dan mengenang Opungboru. Menyusup bersamaan, rasa rindu yang sedih disertai rasa haru kehilangan. Andai Opungboru masih hidup.. pikirku. Untuk pertama kalinya airmataku menetes karena Opung.
Tentang Opungdoli (kakek), aku punya. Beliau adalah suami dari Opungboruku ini. Ia bisa juga disebut sebagai manusia Indonesia tiga jaman; yaitu jaman perjuangan, masa kemerdekaan dan era pembangunan.Â
Beliau orang sibuk, hingga pada masa tuanyapun tidak tahan berdiam diri, selalu bepergian dan kurang akrab dengan cucu.
Tetapi kuakui beliau, orangnya pintar, berpendidikan tinggi pada jamannya serta menguasai dengan sangat baik; bahasa Inggris, Belanda dan tentu saja bahasa Batak.Â
Selain seorang veteran, ia juga mantan pegawai pemerintahan dari departemen sosial, namun yang nasibnya kurang beruntung pasca runtuhnya pemerintahan Soekarno setelah penumpasan PKI. Beberapa tahun kemudian setelah kepergian Opungboru, Opungdoli pun menyusul.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H