Mohon tunggu...
Inovasi

Dua Dekade Reformasi dan Tantangan Perhutanan Sosial

14 Mei 2018   17:46 Diperbarui: 14 Mei 2018   18:08 484
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dua dekade sudah terlewati , seiring waktu berganti. Nyatanya tidak ada yang benar-benar mengamati. Perubahan hutan kita yang kita alami. Hutan yang berperan besar bagi kehidupan kami. Sadarkah kamu akan deforestasi?

Teringat dua dekade silam, ketika berakhirnya Orde Baru yang ditandai dengan mundurnya Soeharto dari jabatannya. Rezim yeng terkenal dengan pembangunan segala bidang kehidupan adalah proritas utama. Kebutuhan modal pembangunan terus diupayakan, hutan dalam beberapa hal berhasil menopang pembangunan nasional melalui industri hasil hutan, penyerapan tenaga kerja, pendapatan devisa negara.

Keluarnya UU Nmor 5 Tahun 1967 tentang Undang-Undang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan (UUPK), dengan peraturan pelaksanaanya lebih mengutamakan kepentingan ekonomi dibandingkan upaya konservasi lingkungan. Pengusahaan dan pemanfaatnya diberikan kepada pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH), yang ditetapkan oleh pemerintah pusat di Jakarta, pemerintah lokal dan masyarakat setempat hanya menjadi penonton.

Reformasi datang dengan upaya menata kehidupan berbangsa dan bernegara, salah satunya adalah mencabut UU Nomer 5 Tahun 1967 dan diganti UU Nomer 41 Tahun 1999 tentang Undang-Undang Kehutanan (UUK). Era ini memiliki kesadaran pengelolaan hutan yang berkelanjutan juga untuk kesejahteraan masyarakat. Diatur tegas mengenai hutan negara, hutan hak, hutan produksi, hutan lindung, hutan konsevasi dan hutan adat.

Tahun 2001 Perhutani merubah Perhutanan Sosial yang dibentuk Orde Baru menjadi program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) untuk merefleksikan dan mewujudkan konsep comunity foresty (Kehutanan Masyarakat) dikenalkanlah dengan Hutan Kemasyarakatan (HKm).

Legalisasi hak dan akses yang masyarakat untuk kawasan hutan negara , skema perhutanan sosial disambut baik. Sisi lain skema perhutanan sosial memberikan keleluasaan masyarakat dalam pengelolaan, menjaga hutan serta menahan serangan pihak lain yang ingin merambah hutan.

Perhutanan sosial memiliki tujuan meningkatkan standar kehidupan masyarakat sekitar hutan dengan melibatkan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan yang sesuai dengan keadaan. HKm memiliki harapan besar bagi peningkatan kesejahteraan ekonomi dan melestarikan lingkungan hutan, nyatanya mulai jauh dari tujuan awal.

Namun faktanya ancaman terhadap pelindungan kawasan hutan dan perampasan hak masyarakat sekitar hutan masih terus terjadi. Banyak fakta yang mengakibatkan arus deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia terus berjalan. Pengalaman lapangan yang mengajakku memahami keadaan HKm di kawasan Gunung Kidul Yogyakarta. Berkenalan dengan nasi jagung khas Gunung Kidul ditemani obrolan seputar mitos kematian, ya pulung gantung istilahnya. Bagi warga Gunung Kidul pasti tidaklah asing dengan istilah ini, yang artinya adalah kematian yang disebabkan oleh bunuh diri secara menggantung. Salah satu masalah utama yang sering dijadikan alasan adalah masalah ekonomi.

Kemiskinan masyarakat sekitar hutan dianggap sebagai tolak ukur di aspek lainnya seperti sosial dan budaya. Proses pengolahan nasi jagung yang panjang dari mulai pemanenan, pengeringan, pemisahan biji dengan batang, penggilingan hingga menjadi nasi jagung tidaklah mudah seperti hasil tanaman agro forestri lainnya, seperti kacang, singkong ataupun ketela.

Ibarat HKm dengan skema rancangan pengelolaan hutan yang sudah ditetapakn dengan jarak pemanenan yang harus menuggu bertahun-tahun, ketika panen hasilnya tidak banyak memberi keuntungan masyarakat seperti halnya nasi jagung yang hanya membuat kenyang hari itu. Jumlah penduduk yang semakin meningkat menjadi faktor pendapatan yang dihasilkan petani hutan, pasalnya semakin banyak penduduk itu artinya lahan garapan HKm semakin sedikit tetapi dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga semakin tinggi.

Dampak sosialnya adalah meningkatnya pengangguran dalam lingkungan petani hutan, sehingga masyarakat memilih bekerja di kota. Faktor lain adalah minimnya pendidikan, ketrampilan dan pengetahuan petani hutan menyebabkan produktivitas lahan hutan menurun. Sebabnya tidak ada perbaikan atau perubahan pengelolaan hutan yang disesuaikan IPTEK dan kebutuhan pasar.

Munculnya gangguan sosial yang menimbulkan kerusakan hutan karena berbagai masalah perhutanan sosial. Kabutapen Gunung Kidul yang memiliki kurang lebih dua puluh kelompok tani HKm merasakan pencurian hutan. Pencurian kayu dilakukan secara individu ataupun kelompok kecil diluar HKm miliknya. Beberapa narasumber kami ketahui memiliki alasan mencuri kayu adalah karena perizinan penebangan hutan yang ditetapakan KPH terlalu rumit. Petani hutan merasa memiliki hak penuh dalam penanaman, perawatan, tetapi ketika memanen kenapa susah.

Pertanyaan utamanya adalah jika pengelolaan perhutanan sosial tidak meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat sekitar hutan, justru menimbulkan berbagai permasalahan kerusakan hutan. Bagaimana kelanjutan perhutanan sosial yang katanya ingin meningkatkan kehidupan rakyat, mengurangi tingkat deforestasi agar tidak cepat dan peraturan hutan yang dianggap terlalu ketat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun