Setiap garis kerut di wajahnya ibarat guratan pengalaman hidupnya yang tidak mudah dan sudah beliau jalankan beberapa tahun belakangan. Kehilangan suami dan anak serta kesulitan hidup membuatnya harus tetap bekerja di usia senja. 65 tahun usianya, bersahaja, bekerja keras, tidak mengeluh, tersentuh hati saya untuk mengenalnya lebih dekat.
Kala itu saya bersama teman-teman Program Pascasarjana Unika Atmajaya, Jakarta sedang berwisata ke Cirebon, Maret 2017. Kebetulan mampir ke Jl. Lemah Wungkuk, setelah sebelumnya berkunjung ke Keraton Kanoman Cirebon. Tanpa sengaja, saya melihat seorang wanita berumur yang sedang berjualan jeruk nipis dan lemon lokal di depan toko perlengkapan rumah tangga terbuat dari tanah liat, di sebelah Toko Pecinan. Dialah Mak Halimah, demikian beliau menyebut dirinya, ketika saya menanyakan namanya.
Suaranya terdengar pelan seolah tersapu deru kendaraan yang lalu lalang dan banyaknya orang yang sedang berjalan, berjualan, berbelanja ataupun melakukan aktivitas sehari-hari di sepanjang Jl. Pecinan, Cirebon. Entah mengapa, ketika saya melihat sejumput jeruk dagangannya yang mungkin nilainya hanya berkisar kurang lebih Rp 100.000,- dan sosok penjual yang sudah renta; membuat saya tertarik untuk mengenal Mak Halimah lebih dekat.
Mak Halimah sehari-harinya berjualan jeruk nipis dan lemon lokal serta kadang-kadang juga berjualan bunga. Setiap pagi hari Mak Halimah mengambil barang dagangannya yang dia titipkan di toko seberang jalan. Pendapatan dari jualan jeruk ataupun bunga hanya berkisar Rp 20.000 – Rp 25.000,-. Uang hasil jualan, beliau pergunakan untuk membeli makan sehari-hari. Jikalau sedang sepi, terkadang Mak Halimah sama sekali tidak mendapatkan uang. Makanya, hasil dagangannya beliau belanjakan seperlunya saja untuk makan, dan jika ada sisa disimpan untuk membeli makan ketika tidak berhasil menjual apapun.
Suaminya sudah berpulang dan begitu pula salah satu dari dua orang anaknya. Mak Halimah masih harus berjuang mencari uang untuk menghidupi dirinya sendiri. Anaknya dan anak menantunya sudah disibukan dengan keluarga, kehidupan dan tantangan hidup masing-masing. Berjualan jeruk dan atau kembang adalah jalan untuk bertahan hidup. Semuanya dilakukan dengan ikhlas.
Ketika beliau menceritakan sekelumit kisah hidupnya (yang diceritakan dalam waktu yang sangat terbatas, itupun karena saya menanyakannya), beliau tersenyum dan tidak sekalipun saya melihat beliau mengeluhkan apa yang ia alami ataupun apa yang ia tidak punya. Mendengar cerita hidup Mak Halimah, mengingatkan saya untuk selalu besyukur dengan apa yang saya punya dan tidak mengeluh dengan apa yang tidak saya punya.
Jika kebetulan Anda berada di Cirebon, mampirlah ke Jl. Lemah Wungkuk, untuk juga membeli jeruk atau bunga atau barang dagangan lainnya dari Mak Halimah. Persisnya beliau berjualan di seberang Toko Oleh-Oleh “Sinta”, di depan toko peralatan rumah tangga dari tanah liat (saya tidak ingat nama tokonya, di Google Map-pun tidak nampak nama tokonya, di sebelah Toko Manisan “Pecinan” – tidak jauh dari Pasar Kanoman. Andai saja ada paling tidak 5 orang yang datang membeli jeruk atau bunga minimal senilai Rp10.000 setiap hari, tentu ini akan membantu Mak Halimah untuk memenuhi kebutuhan makannya. Apalagi jika ada yang mau berbela rasa, berbagi rejeki dengan Mak Halimah (maupun dengan “Mak Halimah – Mak Halimah” lainnya), saya yakin bukan hanya beliau saja yang akan merasa senang, kitapun juga akan merasakah hal yang sama, senang bisa membantu. What a wonderful world, if that does happen!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H