Mohon tunggu...
Shinta Dewi28
Shinta Dewi28 Mohon Tunggu... -

Je t"aime mon mari ....

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Apa yang membuat anda tegar? (Kisah ketegaran istri part 1-2)

28 April 2012   14:32 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:00 3078
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa yang membuat anda tegar?

Sebuah pertanyaan simpel yang hanya terdiri dari 5 komponen kata terlontar dalam tulisan oleh salah satu rekan kerja ku. Tegar,,, ahhh sepertinya kata itu tidaklah tepat ataupun pantas untukku. Timbul sebuah pertanyaan untuk rekanku tersebut; apa yang membuat anda berpikiran ataupun berprasangka bahwasanya kata tegar itu cocok disandingkan dengan keadaan ku saat ini? Bukan “tegar’ yang pantas untukku, tetapi kata “berusaha terlihat tegar” mungkin lebih cocok untukku.

………

2x24 jam

Sebuah sub judul dalam buku karangan Asma Nadia dalam bukunya catatan Hati Seorang Istri. Seorang istri yang kehilangan suaminya dalam penantian sakitnya 2x24 jam. Inge sang istri sholehah itu sangat tegar dalam mengahadapi ujian itu. Mungkin muncul suatu perenungan untuk diriku sendiri,, Inge kuat bertahan dalam mengahadapi Ujian Allah itu karena sang istri sholehah memiliki permata hati, buah cinta dengan sang ustad tercinta, sedangkan aku??Akutidak memiliki “kenangan terindah suami” yang bisa dipandangi tiap tumbuh kembangnya maupun “kenangan terindah suami” yang menjadi buah cinta dan bukti nyata dengan suami tersayang.

Aaah,, maafkan aku ya Allah, aku tidak ingin membandingkan oranglain dengan diriku, aku tidak ingin memiliki rasa keirian akan hadirnya seorang permata hati dibandingkan Inge sang istri sholehah. Aku khawatir membandingkan itu akan menjadi wujud rasa tidak pandainya bersyukur kepada-Mu. Aku percaya bahwa belum hadirnya hadiah terindah-Mu itu semua beralasan sangat baik untukku, tidak hanya dibutuhkan kesabaran serta keikhlasan dalam hal itu. Seorang tamu berkata bahwa bila seorang ibu hamil dari sang suami yang mendapat “penghapus dosa; penyakit kanker” , maka biasanya sang anak kelak memiliki potensi yang lebih besar untuk mendapatkan “penghapus dosa” yang sama. Sang anak kelak bisa menderita dari awal hingga akhir hidupnya, karena fase penyakit kanker adalah 10 tahun, dan tiada yang akan bisa mengira kapan datangnya “penghapus dosa” itu pada tubuh sang anak kelak. Ku tak ingin sang anak kelak menderita, merasakan sakit bahkan melihat tubuh yang menurun berat badannya di tiap harinya. Ku yakin, tak kan sanggup melihat kenyataan yang akan terulang kembali ini pada sang anak kelak.Ya Rabb, mungkin ini jawabannya mengapa hamba-Mu belum memiliki permata hati terindah dari-Mu. Lagi-lagi rencana Allah mulai bisa terkuak dan bisa tercerna olehku. Semoga rencana-Mu ini menjadikan ku tambah bersyukur.

Lalu apa yang membuat ku tegar???

Jika Inge sang istri sholehah hanya mempunyai 1 alasan kenapa bertahan dari semua ini, mungkin akan ku tulis alasan “ usaha terlihat tegarku”. Tidak Cuma 1, tapi beberapa. Kalau hanya satu, tidak akan mungkin aku terlihat tegar. Aku butuh beberapa agar bangkit dari kesedihan mendalam ini.

1. Janji…..

Suatu sore, ibunda tercinta menanyakan keseriusanku dalam menikah. “De kamu yakin menikah dengan mas?, Kamu harus siap dengan segala resikonya, termasuk pada saat hari H pernikahan, apakah dia akan kuat berdiri atau hanya bisa bersalaman sambil duduk atau tidak kuat kedua-duanya selama pesta kebahagiaanmu” tanya mama beruntun.

“iya ma” sahutku singkat dan pasti.

“termasuk kesiapanmu dalam merawat mas sejak awal pernikahan?” Mas terkena penyakit yang tidak bisa dikategorikan penyakit ringan lho, De”pertanyaan ini seolah menguji kesiapan mental ku dan melihat apakah terselip keraguan akan menikah atau tidak.

“insyaAllah ma, memang kenapa ma?”

“ada yang ingin mama bicarakan, De” rona muka mama terlihat sangat serius, tidak seperti biasanya. Ku matikan tv dan segera duduk di hadapan mama.

“Sebenarnya ada apa ma?” tanya ku pelan

“Ada tetangga yang menyarankan untuk menunda pernikahan ini, bahkan salah satu keluarga kita pun menyarankan hal yng sama. Pernikahanmu diharapkan diundur mungkin beberapa bulan, 1, 2 atau 3 bulan sampai keadaan mas lebih sehat dan penyakit mas berangsur-angsur pulih. Mereka ingin kita semua fokus kepada pengobatan mas. Tapi Itu hanya usul serta pandangan orang disekitar kita sayang, namun semua keputusan ada ditanganmu.Mama percaya kalau mas itu orang yang baik, sangat baik. “ jelas mama dengan hati-hati.

Ku dengar kata-kata mama dengan seksama. Ada rasa pedih diam-diam menyelinap menusuk hatiku. Tunda, kata yang tak pernah terbesit dalam benakku dan benak mas. Teringat beberapa hari yang lalu ku berpura-pura ngambek dan berpura-pura memikirkan jadi tidaknya pernikahan kami. Rasa sesak pada bagian dada langsung mendera mas. Mas tahu kalau ucapanku bercanda, hanya saja memikirkan bercanda saja, tubuh mas langsung bereaksi menolak atas joke itu. Wajahku berubah pucat panikmelihat sang calon imam merasa sakit. Aku pun langsung meminta maaf berkali-kali dan tidak bercanda seperti itu. Kini tak kubayangkan bila aku mengatakan tunda tuk pernikahan kami dengan nada tidak main-main serta raut wajah yang serius. Bagaimana reaksi tubuhnya saat ku katakan itu!!!

Tidak,buru-buru Ku hapus segera bayangan dari saran serta usulan mereka. Ku hela nafas yang panjang, sambil berucap basmalah dalam hati untuk melanjutkan percakapan ini.

“Ma, ade sepenuhnya tidak ingin menunda, apalagi membatalkan pernikahan karena ini sudah rencana kami sejak lama. Ade yakin mas orang yang tepat tuk ade. Mas orang yang soleh dan sangat mengerti ade. Ade tidak ingin sakit menjadi alasan tertundanya pernikahan. Pihak keluarga mas saja tidak terlihat ingin memundurkan tanggal pernikahan, masa keluarga kita harus memundurkan pernikahan hanya gara-gara sakit?” ujarku membela pendirianku.

Kali ini ku tarik nafas panjang dan menghelanya lebih berat, seakan ada beban berat dijatuhkan di pundakku.

“Ma, sekarang Ade terserah mama, Ade tidak ingin mengundur pernikahan, tetapi ade mau mama memberikan ridho untuk kelangsungan pernikahan Ade dan Ade tidak akan menikah jika tidak memiliki ridho dari mama” ucapku pelan dan pasti. Kutatap lekat-lekat wajah mamaku. Menunggu sebuah jawaban yang menentukan masa depanku.

“Kamu siap merawat mas? Kamu siap dengan segala resiko atas penyakit itu? Kamu janji untuk kesiapan mentalmu jika kemungkinan terburuk terjadi? Apa kamu siap untuk itu semua? tanya mama lebih serius lagi.

“Insya Allah siap dan yakin ma” sahutku mantap.

“Mama restui kalian, dan mama ridho atas pernikahan kalian” ujar mama

Setetes embun pagi laksana penyejuk hati seolah mengalir dalam tubuhku.

“Makasi ma, Ade janji akan siap dengan segala resiko atas penyakit mas. Makasi ridho mama” ucapku sambil ku peluk wanita tengah baya yang berada di hadapanku.

Hingga kini janji itu menjadi penguat atas diriku. Janji yng mampu mengalahkan saat tubuh ini berada di titik lemah saat kehilangan mas. Janji yang mampu menahan pingsansehingga membuatku terjaga dan mengalihkannya menjadi kekakuan bagi kedua tanganku. Ya, tanganku seolah mati rasa atau lumpuh sesaat saat detik-detik jiwa suami solehku dibawa pergi oleh utusan Allah.

---------

Sebongkah batu kesedihan seakan keluar dari sesaknya hati saat selesai menulis part 1 ini, membuatku smakin bernafas lebih lega dari sebelumnya. Kristal-kristal air segera bertumpuk dipelupuk mataku dan berebut untuk keluar dari tempatnya saat membayangkan kejadian itu. Suami solehku, apa kabarmu disana? Semoga Allah meluaskan kuburmu. (Amin ya Rabb)

2. Cerita

Tepat di hari ketiga masa berkabung, dering telepon di pagi hari seolah mengingatkan untuk terbangun dari kesedihan. Selama 5 menit mama menjawab telepon itu. Nampaknya pembicaraan yang serius. Salam diucapkan mama untuk mengakhiri percakapan tersebut.

“Siapa ma?” tanya ku dengan nada penasaran.

“Ibu Tina, kenalan saat menemani mas berobat” jawab mama.

Pikiran ku menerawang, sederet wajah orang-orang menunggu antrian untuk diobati di salah satu pengobatan yang cukup terkenal di bilangan cimanggis. Setiap kali menemani mas berobat, selalu ku coba untuk menyapa orang yang duduk disampingku meski hanya untuk menanya nama dan kabar saja. Tapi setahuku aku belum pernah mengenal bu Tika.

“Bu Tika itu siapa ma?” tanyaku semakin penasaran.

“Waktu itu hari Rabu, mama yang menemani mas berobat, kamu khan kerja, jadi ga ketemu ataupun kenal Bu Tika”. “Bu Tika itu berobat untuk anak dan dirinya sendiri. Anak Bu Tika itu kecil, De. Tapi kakinya ga bisa jalan, trus si Ibu sendiri juga sakit kanker payudara. Tadi dia minta no telp Dr Warsito yang bisa menyembuhkan penyakit Bu Tika. Tau ga, De ternyata suaminya sudah berpulang ke Rahmatullah 40 hari yang lalu. Semoga Allah memberikan kesembuhan untuk dia dan anak tercintanya ya, De” urai mama.

Termenung ku mendengar cerita mama tentang ibu itu. Ya Rabb, betapa berat ujian Bu Tika, dia harus berjuang hidup sendiri setelah kehilangan suami tercinta. Berjuang untuk kesembuhan sendiri agar bisa mencari uang untuk melanjutkan kelangsungan hidup bersama anak serta memenuhi kebutuhan akan obat sang anak. Berjuang demi kesembuhan ananda tersayang,memotivasi agar buah hatinya tetap semangat, tidak putus asa serta senantiasa menemani hari-hari sang permata hati. Berjuang menata hati atas kehilangan seorang imam, teman hidup yang terikat oleh sucinya pernikahan. Tiada lagi ‘teman’ yang akan mengingati setiap kesalahan ataupun membimbing menuju jalan-Mu.

“Iya ma, kasihan banget Bu Tika ujiannya berat sekali” kataku.

……

Ya Rabbi izzati, ujian yang ku terima ini belumlah sebanding dengan ujian yang diterima oleh Ibu Tika. Harusnya hamba bersyukur atas ujian yang berikan ini tidak seberat ujiannya karena hamba yakin bila hamba diposisi dia, maka niscaya hamba tidak akan kuat, pasti hamba akan menyerah. Ya Rahman, maafkan hamba yang tidak pandai bersyukur. Hamba yakin bahwa ujian-Mu itu sesuai dengan kapasitas kemampuan orang yang Engkau uji. Bu Tika saja tidak menyerah akan kesedihan ini, masa aku akan menyerah? Bu Tika saja bisa tegar, masa aku tidak bisa tegar? Bu Tika saja bisa bertahan untuk anaknya walaupun dia sendiri sakit, masa saya tidak bisa bertahan untuk ibuku dan keluargaku padahal Allah telah memberikan ku fisik yang prima?. Perenungan ini menjadikan kesedihan hati ini jauh berkurang, perasaan syukur pun timbul besar dan semakin besar dalam hati ini.

--------

2 hari setelahnya, sebuah sms masuk ke hpku. Ungkapan belasungkawa serta doa tertera pada sms itu. Teman kuliah, duh kangennya bertemu dengan dia. Wanita cantik yang selalu cerita penuh tawa dan canda membuatnya disenangi banyak orang. Seorang teman yang sudah 4 tahun tidak berkomunikasi denganku. Bermula dari sms lalu bertukar pin bb untuk mempererat ukhuwah kami dan berakhir dengan sepenggal kisah yang sedih yang menyadarkan ku akan ujian yang ku terima itu belumlah seberapa jika dibandingkan dengan cerita dari temanku. Sekelumit cerita yang mampu menegarkanku.

Bermuladari rekan kerjanya yang bekerja di sebuah perusahaan swasta terkenal dikawasan elit Jakarta. Adalah seorang wanita berparas manis dan putih bekerja satu instansi dengan teman lamaku. Sebut saja May, May sudah mengenal calon suaminya sudah cukup lama, sekitar 3-4 tahun. Setelah merasa cocok dengan kepribadian masing-masing, merasa mampu melengkapi satu sama lain, akhirnya mereka memutuskan membawa hubungan mereka ke jenjang selanjutnya. Mereka memutuskan menikah setahun yang lalu.

Hari-hari awal merupakan moment yang tidak terlupakan oleh setiap pengantin baru. Namun sayang, kebahagian yang diselingi canda tawa itu berakhir tepat di hari ke 7 pernikahan mereka. Suatu sore, May ingin pergi ke kamar mandi. Sang suami pun menawarkan diri untuk menemaninya, namun May tersenyum manis dan menolak dengan sangat lembut.

“Sayang, aku khan hanya pergi ke kamar mandi sebentar, masa harus ditemani? Lagian letakkamar mandi khan tidak jauh, tidaksampai 15 kaki lho” ujarnya sambil mengerlingkan mata kanan untuk suaminya.

“Baiklah” jawab suami pelan dengan tersenyum manis menyiratkan menangkap kerlingan mata sang istri.

5 menit berlalu, namun May tidak kunjung kembali dari kamar mandi. Sang suami memanggil sang istri dari kamar mandi. Namun suara kran air menyala mengalahkan suaranya. Akhirnya suami pun berhenti memanggil dan memberikan kesempatan May untuk berlama-lama dalam kamar mandi. Suami pun meraih remote tv yang berada disisi kanannya. Channel demi channel pun terus bergulir namun tidak ada yang menarik mata suami May untuk ditonton. Akhirnya di salah satu tv swasta yang sedang berkembang dan meraih rating yang banyak dipilihlah oleh si suami. 10 menit kemudian suami mulai merasa resah akan dengan ketidakmunculan istri tercinta dari toilet. Akhirnya suami May memutuskan untuk menghampiri istrinya. Sebuah ketukan pelan terketuk diatas pintu kamar mandi.

Tok tok…..“Sayang, sudah selesai lum?” tanya suami May.

Gemericik air yang menjawab pertanyaan sang pemimpin rumah tangga baru itu.

“Sayang, koq lama sekali? Sayang aku lapar, ayo kita cari makan” suami bertanya dengan menaikkan nada suaranya beberapa oktaf agar terdengar oleh istrinya yang disertai ketukan yang lebih kencang lagi. Diam dan suara air mengalir yang lagi-lagi menjawab pertanyaan suami. Curiga dengan keadaan yang terjadi di dalam kamar mandi, akhirnya suami memutuskan untuk mendobrak pintu tersebut.

Brakkk!!!

Sebuah tendangan keras dilayang tepat diatas pintu. Pintu pun terbuka. Astagfirullahaladzim, May!!! Teriak sang suami. Aliran air kran yang berwarna merah terus mengalir memasuki celah pembuangan. Kepala May mengeluarkan darah segar. Sebuah luka menganga mengeluarkan darah segar mengalir dari kepala bagian belakang. May pingsan, May tak sadarkan diri. Suami segera mematikan air dan membopong tubuh May yang sudah mulai terasa dingin akibat terkena guyuran air. Handuk kecil segera dibalutkan ke belakang kepala May agar untuk membekukan pendarahan yang terjadi. Dengan sigap suami langsung membawa istrinya ke rumah sakit untuk pemeriksaan kondisi May terutama bagian kepala belakang. Sepanjang perjalanan suami terus mencoba memanggil May, namun May hanya terdiam. Setibanya di Unit Gawat Darurat, dokter segera memeriksa detak jantung, membuka kelopak mata May. Suster segera mengecek tekanan darah May. Lemah, bahkan mulai menurun secara perlahan. Dokter mulai mengeluarkan alat kejut jantung. Sekali dokter mencoba alat itu,, berhasil!!! Ada detak jantung lemah yang terdeteksi oleh kotak hijau pemantau detak jantung seseorang. Namun tak sampai 5 menit, tiba-tiba garis hijau mengarah mendatar nampak pada kotak tersebut. Sekali lagi dokter menggunakan alat kejut jantung, namun kali ini tidak ada reaksi dari tubuh May. Tak putus asa dokter pun mencobanya lagi, namun memang tubuh May hanya diam tanpa reaksi apapun. Dokter membuka mata May sekali lagi serta menempelkan jarinya dipergelangan tangan May. Tidak ada denyut nadi. May telah menghadap Sang Kuasa.

-------

Air mata kesedihan pun mengalir deras mendengar cerita tentang May membayangkan masa-masa indahnya pernikahan yang harus berakhir tepat 1 minggu sesudah pernikahan. Bagaimana perasaan suami yang ditinggal istri dalam waktu sesingkat itu? Bagaimana sang suami dapat menjalani hari-hari kedepannya? Gusti Allah, sekali-lagi hamba nampak begitu kecil dan rapuh bila dibandingkan dengan ujian-Mu untuk hamba-hamba-Mu yang lain. Ya Illahi Rabbi, maafkan hamba yang terus saja belum bisa bersabar dan bersyukur atas ujian-Mu ini…padahal bersabar dan bersyukur itu merupakan salah satu sifat calon penghuni syurga-Mu.

Seuntai doa teriring untuk Bu Tika dan anaknya agar diberi kesembuhan dan Surat Al-Fatihah untuk hamba Allah, May, semoga segala amal ibadah dan kebaikanmu diterima Allah SWT.

To be continued…

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun