Mohon tunggu...
shinta dewanti
shinta dewanti Mohon Tunggu... -

Hello. Bagi saya, berbagi ilmu itu barokah :)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Guru dan Orang Tua, Perisai Perilaku Kekerasan Seksual

20 Mei 2014   00:36 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:21 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Anak-anak dibawah umur yang masih polos dan lugu yang membutuhkan proteksi lebih dari orang tua, malah menjadi korban kekerasan seksual. Realita telah berkata demikian. Contohnya yakni kasus JIS yang beberapa waktu lalu menghebohkan masyarakat, terutama para orang tua yang masih mempunyai anak dibawah umur.

JIS merupakan sekolah dasar dan sekolah menegah internasional yang terbesar di Indonesia yang tepatnya berada di ibukota negara kita, Jakarta. Kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan JIS membuat resah para orang tua murid JIS tentunya. Pelaku dalam kekerasan seksual tersebut adalah petugas kebersihan dalam sekolah. Padahal JIS adalah sekolah dengan tingkat pengamanan yang tinggi. Pagarnya yang menjulang tinggi menambah image aman berada di sekolah. Kasus inilah yang menjadi tantangan untuk JIS agar tidak sekedar memberi pengamanan dalam hal teknis tetapi perlu adanya pembinaan psikologis untuk benar-benar dapat mengetahui kesehatan psikis warga JIS. Selain JIS, ada pula kasus yang baru-baru ini terjadi yakni anak dibawah umur yang disodomi oleh teman yang selisih umurnya tidak jauh berbeda.

Menyikapi kasus ini, bagaimana peran guru dan orang tua dalam menangkis tindakan kekerasan seksual? Guru adalah tenaga kependidikan yang mampu mendidik, mengajar, mendampingi, dan membantu anak didiknya dalam menyerap ilmu. Namun, peran seorang guru tidak cukup demikian. Guru dalam pepatah jawa adalah “di gugu lan di tiru”. Anak didik biasanya berpikiran bahwa guru adalah contoh yang baik untuk dicontoh. Maka, setiap perilaku seorang guru harus mencerminkan hal positif. Namun, banyak dijumpai guru yang mencoreng dunia pendidikan. Misalnya, guru yang kasar, guru yang mencabuli anak didiknya sendiri, dan guru yang terlalu membebaskan aktivitas anak didiknya dalam menjelajah dunia maya. Saya pernah menjumpai contoh ketiga tadi ketika masih dalam bangku sekolah pada setiap pelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK). Dalam pelajaran tersebut saya sering melihat rentetan alamat yang berbau porno dalam daftar riwayat internet. Hal itu bisa saja menjadi akar tumbuhnya keinginan yang tidak sebagaimana mestinya dilakukan oleh anak-anak, yaitu mencari tahu dan melakukan tindakan seksual. Jika dari kecil tidak dihentikan dan akhirnya berkelanjutan hingga dewasa, ini bahaya!!

Inilah yang menjadi peran penting seorang guru. Guru tidak hanya mendidik siswa agar pandai tetapi guru juga membentuk sifat dan perilaku siswa. Guru sebagai perisai kekerasan seksual dapat dimulai dengan langkah  preventif, misalnya mengawasi setiap kegiatan anak didiknya di lingkungan sekolah, terutama dalam kegiatan yang berbau teknologi informasi. Ada pula langkah represif yang perlu dilakukan yakni dengan melakukan dialog pada anak didiknya yang berisi penjelasan dan renungan yang dapat menyadarkan psikis si anak bahwa perbuatan yang buruk dapat mencederai masa depannya sendiri dan melukai hati ayah ibunya. Dalam tindakan preventif maupun represif ini perlu bantuan dari orang tua si anak. Orang tua sebagai pihak terdekat si anak harus memberikan pengawasan dan perhatian penuh ketika anak berada dan beraktivitas di luar sekolah ditengah perkembangan iptek yang sangat dinamis karena globalisasi. Orang tua yang perhatian harusnya tidak perlu memberikan alat komunikasi seperti telepon selular yang canggih pada anak dibawah umur karena alat tersebut dapat menyulitkan orang tua dan guru dalam mengawasi aktivitas si anak. Apabila orang tua ingin anaknya tetap berada dalam jangkauan pengawasan walaupun sedang terpisah jarak, sebaiknya gunakan alat komunikasi yang sederhana. Ketika anaknya sudah diatas 18 tahun barulah boleh untuk memiliki alat komunikasi yang canggih. Mengapa demikian? karena usia 18 tahun ke atas sudah dinilai mampu dan mengerti hal mana yang baik dan mana yang buruk untuk dilakukan. Sekian semoga bermanfaat ^^

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun