Mohon tunggu...
Shinta Cahya Utami
Shinta Cahya Utami Mohon Tunggu... -

, suka menulis walaupun masih amatiran :D

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Jangan Remehkan PPL

31 Desember 2013   11:29 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:19 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Benar-benar Belajar Menulis yang Sebenarnya

Walaupun hari itu langit kota Surakarta terlihat tak bersahabat sejak pagi karena terus-terusan tertutup awan mendung namun itu tak menghalangi niatku untuk menemui seorang redaktur yang bekerja disalah satu koran terkenal di Indonesia. Kabun Triyatno, seorang pria dengan wajah menduhkan yang berprofesi sebagai redaktur media cetak(koran) Jawa Pos. Kabun ternyata mengawali kariernya ketika masih berstatus mahasiswa semester 7. Berlatar belakang almameter IAIN(Institut Agama Islam Negeri) Surakarta dengan jurusan KPI(Komunikasi Penyiaran Islam) ternyata membuatnya ‘terdampar’ untuk melaksanakan PPL atau Praktek Pengalaman Lapangan yang harus ditempuh saat masih semester 7 ditempat dimana kabun sekarang bekerja yaitu di koran Jawa Pos, Radar Solo.“Justru waktu PPL itulah saya benar-benar belajar menulis yang sebenarnya karena dibimbing langsung oleh orang-orang yang memang sudah terjun langsung di dunia kepenulisan” tutur kabun.

Menulis Itu Membaca

Kabun mengaku baru mengenal dan menyukai menulis sewaktu duduk dibangku semester 3 dimana waktu itu dia bertemu dengan mata kuliah jurnalistik. Namun pria kelahiran 32 tahun silam tersebut mengaku tidak pernah aktif di komunitas-komunitas kepenulisan ataupun dimajalah kampus semasa kuliah. Dia hanya tidak pernah absen dari membaca koran Jawa Pos setiap hari,karena memang kedua orang tuanya sudah berlangganan sejak lama. Karena bagi Kabun menulis itu adalah membaca. Mustahil orang bisa menulis apabila ia tidak pernah membaca.Sewaktu PPL ,Kabun rajin menulis di koran Jawa Pos tempat dimana dia ber-PPL dan sering dimuat. Dimana ternyata dari tulisan-tulisanny semasa PPL itulah dia mendapat sorotan dari berbagai pihak yang berpengaruh termasuk pihak internal Jawa Pos itu sendiri. Akhirnya setelah 2 bulan menjalani PPL dan sudah saatnya kembali lagi kekehidupan kampus ,Kabun mendapat penawaran yang sempat membuatnya dilematis. Antara bekerja di koran Jawa Pos atau serius menyelesaikan skripsinya dulu. Ternyata itu semua bisa berjalan beriringan asalkan disertai niat yang kuat.

Suka Duka Wartawan

2004, resmilah sudah kabun menjadi wartawan Jawa Pos dengan tak lupa pula namanya berubah menjadi Kabun Triyatno S.Kom.I. Panas ,hujan,suka, duka telah dilaluinya dalam lika-liku dinamika bekerja dimedia massa. Ternyata di media massa itu susah susah senang. Kita sudah sering bukan mendengar tentang wartawan Udin yang mati di bunuh hanya karena gara-gara menulis sebuah berita. Itu ternyata juga terjadi pada sosok Kabun. Memang sih kasusnya tidak se-ekstrim wartawan Udin yang sampai dibunuh. Kabun hanya mendapat serangan mental berupa sms-sms teror karena kasus korupsi yang pernah diungkapnya. Itupun tidak ditakutinya sama sekali karena menurut Kabun ini adalah era kebebasan bersuara dan berpendapat. Selain itu Kabun juga mengaku bahwa resiko menjadi seorang wartawan adalah jarangnya waktu untuk keluarga dan masyarakat sekitar karena memang kesibukan pekerjaan yang memang begitu sangat menyita waktu. Namun pastinya juga ada kebahagiaan yang dirasakan oleh seorang wartawan. Kebahagiaan itu berwujud dalam penerimaan masyarakat kepada dirinya dimana seorang wartawan itu sangat mudah sekali bergaul diberbagai strata,mulai dari strata bawah sampai strata yang diakui. Tak jarang pula Kabun mewawancari orang-orang yang berpengaruh di negeri ini . Megawati,Bibit Waluyo dan Akbar Tanjung merupakan tokoh yang pernah diwawancarainya. Tentu saja itu merupakan sebuah prestasi berkesempatan mewawancari tokoh-tokoh penting tersebut.

Wartawan Tidak Harus dari Komunikasi

Jadi modal utama untuk menjadi wartawan itu sebenarnya memang adalah mentalnya. Apakah dia bisa bekerja keras dengan jujur atau tidak. Lulusan dari program apa sebenarnya tidak begitu menjadi faktor utama. Karena memang banyak sekali wartawan yang berasal dari lulusan diluar ilmu komunikasi. Kemampuan menulispun juga bisa dilatih. Karena yang dipentingkan adalah kemauan untuk bekerja keras dengan jujur.

Amplop Panas yang Membuat Naik Pangkat

Berbicara tentang kejujuran ada satu pengalaman Kabun yang ternyata menjadi pengalaman yang paling berkesan dalam perjalanan kariernya di Jawa Pos. Waktu itu sedang ada kampanye parpol (Partai Politik) di salah satu daerah di Jawa Tengah. Ternyata para wartawan dari berbagai media yang datang untuk meliput mendapat amplop yang isinyapun bervariasi. Kabun menerima saja amplop itu. Sesampai dikantor, dia menyampaikan apa yang terjadi kepada atasannya dengan taklupa pula menyerahkan amplop putih bersih itu yang ternyata isinya cukup bahkan sisa untuk membeli laptop merk Toshiba plus modemnya,hehe.

Kabun tahu bahwa maksud amplop ini adalah untuk mengerem kekritisan wartawan dalam memuat berita mengenai parpolnya. Akhirnya atasan Kabun mengambil jalan amplop ‘panas’ tersebut digunakan untuk iklan parpol tersebut. Jadi Kabun tetap leluasa menulis dan menyajikan fakta kepada masyarakat luas tanpa merasa dibayang-bayangi oleh amplop panas tersebut. Dan ternyata dari kejadian itulah yang membuat karier Kabun ‘naik pangkat’ dari yang awalnya seorang wartawan menjadi seorang redaktur.

Serunya AFTA 2015

Itu tentu saja bukanlah titik puncak dari perjalanan karir Kabun. Justru masih banyak tantangan-tantangan yang menunggunya didepan sana. Seperti misalnya tantangan AFTA atau ASEAN Free Trade Agreement 2015 atau yang sering kita kenal sebagai perdagangan bebas. Dimana Indonesia akan terancam didominasi oleh pekerja-pekerja asingpada era kawasan perdagangan bebas Asean 2015. Namun ternyata menurut Kabun itu merupakan semacam keseruan dimana kita dituntut untuk berpikir kreatifagar kita mampu untuk bersaing dengan pekerja-pekerja asing yang di perkirakan akan menyerbu lapangan Indonesia kelak. Maka dari itu kita juga harus berusaha mengikuti arus. Agar kita tidak tertindas di negeri sendiri. Begitu ungkap Kabun

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun