Pandemi covid-19 bertepatan dengan penerimaan mahasiswa baru serta penerimaan peserta didik baru dijenjang pendidikan dasar, menengah maupun atas. Di tingkat pendidikan tinggi, biasanya akan di adakan ospek (orientasi studi pengenalan kampus)  setelah tahap verifikasi selesai. Aktivitas turun menurun ini menjadi penanda bahwa calon mahasiswa akan resmi menjadi bagian suatu kampus.
Selain mendapatkan tugas ospek yang unik, ospek juga identik dengan adanya kakak tingkat galak yang tidak akan segan segan memarahi mahasiswa baru apabila ketahuan salah. Tenang, tidak semua kakak tingkat galak, tapi tak jarang juga terdapat kakak tingkat yang melakukan tindakan diluar batas, seperti mempermalukan mahasiswa baru, menghina mahasiswa baru di depan publik dan lain sebagainya. Katanya, sikap seperti itu untuk melatih displin mahasiwa. benarkah ? (Saya kembalikan jawabannya kepada Anda).
Kita membenarkan, bahwa ospek tahun ini memang mengalami banyak penyesuaian akibat pandemi covid yang belum juga selesai. Pelaksanaan ospek tahun ini berbeda dengan tahun tahun sebelumnya, karna ospek tahun ini diadakan secara virtual. Kendati begitu, esensi ospek tidak akan berkurang sedikitpun.Â
Sayangnya, baru baru ini, juga beredar video "aksi bentak-bentak sekaligus tindakan mempermalukan" yang dilakukan oleh oknum senior kepada mahasiswa baru pada momen ospek virtual di sebuah kampus X. Dalam video yang di unggah tersebut, senior nampak membentak sekaligus menyuruh salah satu mahasiswa baru mencoret wajah menggunakan lipst*k, karna secuil kesalahan yang dilakukan. Apakah ada yang menjamin bahwa tindakan yang dilakukan senior tersebut tidak mempermalukan mahasiswa yang bersangkutan ? (Saya kembalikan jawabannya kepada Anda).
Jaman milenial seperti sekarang, tentunya moment seperti itu menjadi agak aneh, geram, lucu , dan sedikit menggelitik, pasalnya peloncoan negative seperti ini masih saja hidup, bahkan membudaya hingga saat ini.
Boleh saja, seorang senior beralasan ingin "menanamkan sikap displin kepada mahasiwa baru", ingin "menanamkan sikap solidaritas" dan lain sebagainya. Tapi apakah caranya harus seperti itu ?Â
Apapun alasan dibalik itu, hal ini tidak bisa dibenarkan, pasalnya hanya akan mewariskan budaya negative, serta stereotip tentang ospek yang akan terus berlanjut.
Belum lagi, kita juga tidak pernah tahu, rasa sakit hati yang di alami korban peloncoaan, bagaimana jika rasa sakit hati itu menjadi satu dendam turun temurun yang akan diwariskan lintas generasi ? Sungguh sangat celaka !!!
Kalau sudah begini, mau seperti apapun bentuknya, pelocoan negative akan tetap ada, meskipun tanpa harus bertatap muka secara langsung.
Jadi tak heran, jika kecerobohan fatal insiden itu langsung viral di berbagai media sosial, khususnya inst*gram dan twitt*r, entah kebetulan atau tidak, kecerobohan yang dilakukan secara virtual itu bisa dengan mudah diviralkan.Â
Nah, kalau sudah begini, kreativitas warganet +62 bisa tidak bisa di ragukan lagi, pasalnya warganet +62 akan menjadikannya bahan bulan-bulanan. Ntah dibuat dalam bentuk meme, komentar pedas sepedas sambal geprek level 15, atau setajam lidah bu tejo yang suka ghibah itu.Â