Mohon tunggu...
Shinta Maharani
Shinta Maharani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Content Creator

Mahasiswi Program Studi Bimbingan Konseling Islam Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Tegas Membangun Batas: Jauhi Toxic agar Tidak "Sick"

10 Juni 2024   13:52 Diperbarui: 10 Juni 2024   14:12 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lyfe. Sumber ilustrasi: FREEPIK/8photo

Sore itu, dikala senggang saya sempatkan membuka sosial media yang sudah jarang saya buka. Sosial media dengan logo berwarna hitam karena transformasinya dari sebutan "aplikasi burung biru". Aplikasi yang sering digunakan orang-orang untuk mengunggah berita terkini yang sedang menjadi trend. Tak jarang pula, pengguna "X" yang merupakan nama dari aplikasi ini, menggunakan X untuk memviralkan kejadian yang sedang terjadi diluar sana. Digadang-gadang dengan "menyebarkan" berita tersebut di X mereka dapat lebih cepat mendapat simpati dari warga pengguna X. 

Ketika itu saya mendapati dua postingan yang menurut saya hampir saya konteksnya. Postingan pertama diunggah oleh sebuah akun yang bernama @gr*f*ll dalam sebuah komunitas yang bernama Komunitas Marah-marah, didalam postingan tersebut diunggah sebuah bukti screenshot chat yang didalamnya terdapat sebuah kata-kata kasar dari pengirimnya. Terlihat sebuah bubble chat yang berisi kalimat "Lah.. dasar l*nte lu, kim*k, cuma disuruh gitu aja gamau". Rupanya, chat tersebut dikirim oleh pacar (cowo) si pengunggah konten karena cewenya tidak mau menuruti keinginan dari si cowonya. Tidak hanya itu, di dalam unggahan postingan tersebut terlihat bahwa si cowo akan mengancam cewenya apabila ia tidak mau mengirimkan sejumlah uang untuk dijadikan saldo dana judi online yang dilakukan oleh cowo tersebut (pacar pengunggah konten). 

Dilain postingan yang diunggah oleh lain akun, ditemukan kesamaan yang terlihat. "Gua cuma minta bantuan lo ege, lagian kan lo juga ada pegangan, lah yaudah gua jg lagi butuh ini", "pelit banget si lu ama temen sendiri", tambah pengirim pesan pada screenshot-an yang diunggah oleh akun yang bernama @belajarikhlas_ . Postingan tersebut diunggah pada (4 Juni 2024 pukul 14.45) sesuai yang terlihat pada room yang ditampilkan. Terlihat sang penerima pesan atau si pemilik akun @belajarikhlas_ merespon pesan tersebut dengan kalimat halus "maaf de, gw emg lagi gabisa bantu" yang dijawab oleh lawan chatnya "ah gblk sia mah",jawab Dea si pengirim chat dengan bahasa Sunda. 

Saya melihatnya merasa miris. Saya sebagai orang tidak tegaan dengan orang lain melihat konten yang demikian langsung merasa kasian dengan pengunggah konten karena mendapatkan perlakuan buruk (toxic) berupa verbal dari orang lain. Dan jika dilihat dari berbagai macam sosial media pada zaman sekarang, orang-orang dalam bertutur kata di sosial media sudah melampaui batas. Seperti di kolom komentar milik selebgram @fuji_an, disana banyak netizen yang menjuluki Fuji (nama dari selebgram ini) dengan kata "maghrib". Kemunculan kata "maghrib" yang disebutkan tersebut rupanya mengacu pada fisik yang dimiliki oleh Fuji yaitu kulit yang cenderung agak gelap. Komentar tersebut diantaranya seperti "oh.. ini maghrib", "dah maghrib nih gaes", "keliatan aura maghribnya keluar ga sii" dan berbagai komentar lainnya. 

Hal semacam ini bukan lagi disebut toxic, namun sudah masuk dalam ranah bullying secara verbal yang dilakukan di sosial media. "Pembiaran" pada perlakuan masyarakat yang seperti ini memang sudah untuk diatasi karena banyaknya pengguna sosial media yang tidak pandang batas usia, membuat orang lain yang melihat kejadian ini justru malah ikut-ikutan melakukan pembullyan yang sama. Namun, apakah dengan bertindak kita akan terbebas dari perilaku toxic dan verbal bullying macam ini? Tentu saja tidak semudah itu untuk menghentikan perilaku toxic, apalagi dari lingkungan luar. Lantas dengan seperti apa kita harus menghindari perilaku toxic? 

Perilaku toxic dapat diatasi dengan sikap tegas terhadap diri sendiri. Pemilihan solusi ini dikarenakan dengan kita tegas terhadap diri sendiri kita akan memiliki pedoman yang kuat untuk diri kita. Contohnya dengan berani menolak hal yang merugikan bagi kita atau dapat menolak kehadiran orang yang hanya memanfaatkan keberadaan kita. Cara lainnya adalah dengan membatasi kontak fisik maupun kontak lainnya, dengan tujuan semakin jarang kita bersinggungan dengan "toxic people" maka semakin damai pula hidup yang kita miliki. Cara tersebut juga dapat dilakukan pada ranah sosial media dengan melakukan penutupan kolom komentar pada sosial media yang kita miliki sehingga orang-orang yang hendak berkomentar negatif pada kita menjadi mengurungkan niatnya. Dan cara yang terakhir adalah dengan mencari bantuan dukungan dari orang lain. Apabila Anda telah menjadi korban dari ke-toxic-an orang-orang disekitar Anda, maka segera lah mencari bantuan untuk mencari solusi atas tindakan yang telah terjadi pada diri Anda. Karena dengan tidak bercerita maka semakin banyak "racun" yang akan merusak mental pada diri Anda. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun